TRIBUNNEWS.COM – Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengusulkan pembentukan aliansi yang mencakup Israel, Amerika Serikat (AS), dan negara-negara Arab.
Aliansi ini dijuluki “Aliansi Abraham” ala Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
Tujuan dari aliansi ini adalah untuk “menahan ancaman Iran yang semakin besar”.
Namun, Dr. Ia menilai usulan Netanyahu itu nyata. Mehran Kamrava, pakar pemerintahan di Universitas Georgetown, Qatar.
Tak hanya itu, Kamrava menyebut gagasan “perjanjian Abrahan” itu konyol.
“Saya kira [aliansi antara Israel dan negara-negara Teluk] bukanlah hipotesis yang realistis karena Arab Saudi sedang menormalisasi hubungannya dengan Iran,” kata Kamrava, Rabu (24 Juli 2024), seperti dikutip Sputnik News.
Ia juga menyebutkan Bahrain dan Iran telah membahas normalisasi hubungan timbal balik.
“Dan Uni Emirat Arab, selain menjaga hubungan dengan Israel, juga menjaga hubungan dengan Iran,” tambahnya.
Netanyahu menyampaikan proposalnya untuk “pakta Abraham” dalam pidatonya di parlemen AS pada hari Rabu.
Saat membentuk NATO tipe Timur Tengah, ia mengutip “visi Timur Tengah yang lebih luas.”
Menurut Netanyahu, aliansi tersebut harus mencakup AS dan Israel, serta semua negara yang berdamai dengan Israel atau ingin berdamai dengan Israel.
Kamrava mengatakan, gagasan Netanyahu bukanlah hal baru. Dia mengatakan Netanyahu melontarkan gagasan ini bertahun-tahun yang lalu.
Menurut Kamrava, upaya Israel dalam menormalisasi hubungan dengan negara tetangga di Timur Tengah merupakan langkah besar menuju pembentukan aliansi.
Pakar tersebut mengatakan bahwa Israel sekarang hanya dapat mengandalkan senjata dan dukungan lain dari Komando Pusat AS dan Washington.
Karena lobi Israel sangat kuat di AS, khususnya di parlemen, kata Kamrava.
Ia mengatakan setiap partai dan tokoh besar di AS, termasuk Joe Biden, Donald Trump, dan Kamala Harris, telah menyatakan diri mereka Zionis atau menyatakan dukungan kuat terhadap Israel.
Sementara itu, Netanyahu masih terperosok dalam “kekacauan politik yang mendalam dan tanpa harapan.”
“[Netanyahu] menghadapi tekanan dari [sayap] kiri untuk mendapatkan kembali para sandera, tekanan dari tentara Israel, yang mengatakan pada saat ini bahwa mereka tidak dapat memulangkan sandera yang tersisa dengan terus menggunakan kekerasan dan melanjutkan perang,” katanya. . dia berkata
Namun di sisi lain, Netanyahu juga mendapat tekanan dari kelompok sayap kanan Israel yang ingin membasmi habis-habisan warga Palestina.
Menurut Kamrava, yang bisa menyelamatkan Netanyahu saat ini adalah kelanjutan perang dan mempermainkan isu ancaman Iran. Perpanjangan dari perjanjian Abraham
Netanyahu mengatakan, “Pakta Abraham” nantinya akan menjadi perpanjangan dari Abraham Accords, yaitu perjanjian untuk menormalisasi hubungan antara Israel dan beberapa negara Arab.
“Setelah Perang Dunia II, Amerika membentuk aliansi keamanan di Eropa untuk melawan ancaman Soviet yang semakin besar. “Selain itu, Amerika dan Israel kini dapat membentuk aliansi keamanan untuk melawan meningkatnya ancaman Iran di Timur Tengah,” kata Netanyahu dalam pidatonya di parlemen AS.
Dia mencontohkan serangan rudal dan drone Iran terhadap Israel pada April lalu.
Menurut Netanyahu, pesawat Amerika, Inggris, Prancis, dan Yordania telah dikerahkan untuk membantu Israel. Negara-negara Teluk kemudian memberikan dukungan intelijen.
Perdana Menteri Israel mengatakan bahwa inilah potensi aliansi dalam perang melawan Iran.
“Perjanjian baru ini menurut saya akan menjadi kelanjutan alami dari perjanjian Abraham,” katanya.
Abraham Accord ditandatangani pada tahun 2020 dengan AS bertindak sebagai mediator. Dengan perjanjian tersebut, Israel menormalisasi hubungan dengan Uni Emirat Arab, Maroko, dan Sudan.
Netanyahu kemudian menyebut usulannya sebagai “Perjanjian Abraham”.
(Tribunnews/Februari)