Sudan: Perang Saudara Mendekati Level Genosida

Waktu hampir habis bagi jutaan orang di Sudan, tulis PBB, PBB dan organisasi kemanusiaan internasional dalam pernyataan bersama yang baru.

Ancaman kelaparan meningkat drastis di tengah berkecamuknya perang saudara.

Selama setahun terakhir, negara di Tanduk Afrika itu dilanda pertikaian antara dua jenderal yang tak segan-segan menghentikan atau membajak pengiriman bantuan kemanusiaan kepada warga sipil.

Bencana ini terjadi di seluruh wilayah Darfur, kata Alice Nderitu, Utusan Khusus PBB untuk Pencegahan Genosida.

Menurutnya, apa yang terjadi di Sudan bagian barat mencapai dimensi pembersihan etnis, kata Nderitu, dalam pernyataannya di hadapan Dewan Keamanan PBB, beberapa hari lalu.

“Warga sipil diserang dan dibunuh karena warna kulit mereka, karena asal etnis mereka.”

Gambaran yang sama juga dilaporkan oleh organisasi kemanusiaan Doctors Without Borders, MSF, “kami melihat dengan mata kepala sendiri pertumpahan darah yang terjadi,” kata Claire Nicolet, salah satu pejabat tinggi MSF.

Menurut organisasi yang memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 1999, setidaknya 145 orang telah tewas dan 700 lainnya terluka sejak 10 Mei. Kini, organisasi bantuan internasional tidak bisa lagi bekerja di dalam negeri karena risiko serangan bersenjata. Ini buruk di al Fashir

Situasi dramatis dilaporkan terjadi di al Fashir, ibu kota negara bagian Darfur Utara. Ada jutaan warga sipil yang mencari perlindungan dari perang di pedalaman.

Kota berpenduduk setengah juta jiwa ini masih dikuasai militer Sudan, SAF, di bawah pimpinan Jenderal Abdel Fattah al Burhan.

Al Fashir merupakan benteng pertama SAF yang dikepung dan diserang secara berkala oleh Pasukan Dukungan Cepat, RSF, di bawah pimpinan Mohamed Hamdan Daglo alias Hemeti.

“Kelaparan memang terjadi,” kata Marina Peter, direktur Forum Sudan dan Sudan Selatan, sebuah organisasi kemanusiaan di Eropa. Penangkapan Al Fashir oleh RSF akan memicu gelombang pengungsi baru. Kekurangan pangan dan inflasi harga juga melanda kota-kota yang dikuasai milisi Hemeti.

“Orang yang punya sedikit uang bisa keluar kota jika beruntung. Tapi orang miskin akan dibantai,” kata Marina Peter. Aliansi yang rapuh

Menurutnya, RSF menggunakan taktik brutal untuk mengintimidasi warga sipil agar berpartisipasi.

“Al Fashir pada dasarnya adalah mata rantai terakhir yang menyatukan Sudan. Jika diambil alih oleh RSF, Sudan akan terpecah dua, yang berarti bencana politik,” tambahnya.

Kebrutalan militer Sudan dan RSF berkontribusi terhadap percepatan tersebut, menurut analisis lembaga penelitian International Crisis Group, ICG. Menurut para analis, semakin lama konflik berlarut-larut, semakin rapuh pula aliansi antara kedua jenderal dan milisi lokal.

Kerapuhan ini menyulitkan SAF dan RSF untuk mengendalikan milisinya yang kini lebih leluasa menebar kekerasan. “Konflik ini telah memasuki fase baru yang lebih berbahaya, di mana Sudan semakin terkoyak,” tulis organisasi yang berbasis di Brussels, Belgia tersebut. Intervensi internasional

Bantuan untuk militer Sudan datang dari luar negeri. Menjelang akhir tahun lalu, Jenderal al-Burhan melobi Iran untuk mengirimkan senjata. Sejak saat itu, SAF rajin menerbangkan drone tempur untuk menyerang posisi RSF.

Pengakuan juga diumumkan Mesir dan Arab Saudi terhadap pemerintahan junta di Khartoum.

“Orang seperti dialah yang ingin dilihat oleh Mesir dan Arab Saudi sebagai kepala pemerintahan suatu negara,” kata analis Sudan Marina Peter.

Mesir dan Sudan juga dihubungkan oleh ideologi yang sama, kata pakar politik Afrika Hager Ali dari GIGA Research Institute, Jerman, yang baru-baru ini merilis analisis situasi di Sudan. “Mesir tidak bekerja sama dengan RSF karena mereka tidak dianggap sebagai aktor negara.”

Oleh karena itu, pentolan RSF Hemeti memposisikan dirinya sebagai pemberontak kemerdekaan. Dengan cara ini, ia bisa mendapatkan dukungan dari Uni Emirat Arab, termasuk Rusia, yang dijanjikan hak penambangan cadangan emas Sudan. Destabilisasi Sudan

Namun Moskow kini mulai menjangkau SAF, dan akan membangun pangkalan angkatan laut di Port Sudan. Selain itu, delegasi Rusia juga bertemu dengan petinggi junta pada akhir April lalu.

“Baik UEA maupun Rusia tidak ingin memperluas pengaruhnya di Sudan,” kata Hager Ali. Di Sudan, kedua negara menggabungkan kepentingan ekonomi atas cadangan sumber daya alam. Apalagi Sudan letaknya strategis dan bisa menjadi pelabuhan bagi negara asing untuk mendaki ke Afrika.

“Akses dicari melalui kerja sama, baik dengan aktor non-negara seperti pemberontak Hemeti, namun juga dengan aktor negara melalui saluran diplomatik resmi.”

Patut dipertimbangkan bahwa aktor internasional tidak tertarik pada penyelesaian konflik atau perdamaian di Sudan. “Bagi semua negara yang terlibat, Sudan adalah pintu gerbang menuju Laut Merah, dan dari Laut Merah menuju Afrika,” kata Ali.

Oleh karena itu, akan baik bagi aktor internasional jika Sudan tidak memiliki pemerintahan yang berfungsi penuh, karena hal ini membuka jalan bagi pengaruh asing. “Prosesnya akan lebih cepat melalui jalur tidak resmi, seperti penyelundupan senjata, seperti yang saat ini terjadi di Sudan.”

“Dalam hal ini, aktor asing tidak tertarik pada perdamaian jangka panjang, namun pada ketidakstabilan yang terkendali.”

Rzn/yf

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *