Picu Kematian Tertinggi, Siapa Saja yang Perlu Skrining Kanker Paru?

Reporter Tribunnews.com Rina Ayun melaporkan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Berikut dua kelompok pemeriksaan kanker paru-paru.

Semakin dini kanker paru terdeteksi, semakin baik pengobatannya.

Kanker paru-paru masih menjadi penyebab utama kematian akibat kanker di dunia.

Kebiasaan merokok merupakan faktor risiko yang signifikan terhadap kanker paru-paru.

Faktor lainnya termasuk kerentanan genetik, polusi udara, paparan bahan kimia dan zat radioaktif, serta riwayat tuberkulosis (TB).

Dokter bedah toraks lulusan Universitas Indonesia, Dr. Sp.BTKV, Hariadi Hadibrata mengatakan, pihaknya menyarankan kedua kelompok tersebut menjalani skrining kanker untuk mendeteksi penyakit sebelum gejala muncul.

Yang pertama adalah perokok atau mantan perokok.

Mereka akan disaring untuk kanker paru-paru dengan CT scan. CT scan secara teratur dianjurkan, terutama bagi perokok berusia di atas 50 tahun atau mereka yang masih merokok.

CT scan ini dapat membantu menemukan sel kanker pada tahap awal

Yang kedua adalah kanker paru-paru, apalagi jika didiagnosis pada usia muda.

“Di Indonesia, angka kematian akibat kanker paru sangat tinggi dan sebagian besar menyerang pasien laki-laki. Hal ini disebabkan oleh kurangnya edukasi mengenai rokok dan kesadaran masyarakat untuk melakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala. “Jika Anda memiliki faktor risiko seperti merokok dan berusia di atas 50 tahun, penting untuk melakukan pemeriksaan kesehatan secara teratur,” kata Dr. Senin (22/7/2024) Hadibrata di Jakarta.

Di sisi lain, pengobatan kanker paru-paru juga semakin beragam dan modern, salah satunya adalah bedah torakoskopi berbantuan video (VATS), yaitu bedah toraks invasif minimal berbantuan video atau dikenal dengan operasi toraks invasif minimal berbantuan video.

 Bedah toraks dilakukan dengan memasukkan kamera video kecil dan instrumen bedah melalui lubang di dinding dada, berukuran sekitar 5 milimeter. Tujuan penggunaan video ini adalah untuk membuka pandangan selama operasi, meski dengan sayatan kecil, kata dokter yang bekerja di RS MRCCC Siloam Semanggi itu.

Prosedur ini hanya memerlukan sayatan kecil (sekitar 1-2 cm), sehingga nyeri pasca operasi dan risiko infeksi luka berkurang secara signifikan.

 Dengan demikian, dokter bedah toraks, dokter bedah jantung, dan dokter bedah vaskular dapat melakukan prosedur yang lebih tepat.

“Prosedur ini menggunakan kamera video yang mengirimkan gambar bagian dalam payudara secara real-time melalui endoskopi, sehingga dokter dapat melihat dan melakukan manuver secara tepat di dalam rongga dada tanpa membuat sayatan besar,” ujarnya.

Tidak semua kanker paru-paru dapat menerima pengobatan berbasis teknologi ini, kata Dr. Hadibrata. 

Setiap pasien berbeda-beda, dan dokter akan mengevaluasi setiap kasus secara individual, termasuk lokasi dan stadium kanker, sebelum memutuskan apakah prosedur ini tepat untuk pasien tersebut.

Ada banyak kriteria yang perlu dipertimbangkan ketika menentukan apakah seseorang merupakan kandidat yang baik untuk prosedur ini, termasuk lokasi dan ukuran tumor, jenis kanker, kondisi fisik pasien, dan riwayat kesehatan pasien.

“Kami berdedikasi untuk menyediakan perawatan dan prosedur kanker paru-paru paling inovatif melalui kerja tim multidisiplin dan teknologi terkini dalam perawatan kanker paru-paru,” kata Dr. Hadibrata.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *