Pasien Hemofilia di Indonesia Kurang Terdiagnosis, Kenali Gejalanya

Laporan dari reporter Tribunnews.com Rina Ayu

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Plt Ketua Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI), Dr. Novie Amelia Chozie, SpA(K), menegaskan penanganan pasien hemofilia di Indonesia masih kurang optimal. 

Hemofilia sendiri merupakan kondisi dimana pendarahan sulit dihentikan. 

Kasus hemofilia di Indonesia diperkirakan mencapai 27.000.

Namun sayangnya, pada tahun 2021, hanya sekitar 3.000 pasien yang terdiagnosis dan tercatat dalam laporan Federasi Hemofilia Dunia 2021.

Hemofilia tergolong kurang terdiagnosis di Indonesia, karena pasien biasanya baru terdiagnosis setelah mengalami pendarahan hebat, yang tentu saja memiliki risiko komplikasi, kecacatan, dan bahkan kematian yang lebih tinggi. 

Saat ini baru sekitar 11 persen yang terdiagnosis hemofilia di Indonesia. Banyaknya permasalahan dalam diagnosis dan pengobatan hemofilia tentunya berdampak pada terjadinya komplikasi dan menurunnya kualitas hidup pasien, ujarnya dalam keterangannya. diterima, Selasa (16/7/2024).

Salah satu komplikasi serius yang dapat terjadi adalah terbentuknya inhibitor. 

Inhibitor dapat meningkatkan risiko perdarahan serius serta gangguan sendi yang progresif.

Berdasarkan data studi inhibitor di Indonesia pada tahun 2022, prevalensi inhibitor pada anak penderita hemofilia di Indonesia sebesar 9,6 persen.

Penyakit ini memerlukan pengobatan yang cepat dan tepat agar penderita dapat hidup normal. 

Semakin cepat hemofilia didiagnosis dan diobati, maka pengobatan yang dapat diberikan akan semakin optimal.

Oleh karena itu, masyarakat dan pasien harus lebih mewaspadai gejala-gejala hemofilia seperti: kecenderungan mudah terbentuk di permukaan kulit, pendarahan yang sulit dihentikan, adanya darah pada urin dan feses. 

Berangkat dari kondisi tersebut, maka dilaksanakanlah Kongres Nasional HMHI (KONAS) ke-7 pada tanggal 13-14 2024. pada bulan Juli.

Tema kegiatan tahun ini adalah “Pemerataan akses untuk meningkatkan diagnosis dan perawatan optimal penyakit hemofilia dan gangguan perdarahan lainnya di Indonesia”.

Ketua Panitia Kongres Nasional HMHI, Dr. Elmi Ridar, SpA(K) menjelaskan tujuan pembahasan kongres tahun ini adalah untuk mencapai pemerataan akses dalam meningkatkan diagnosis dan pengobatan yang optimal bagi pasien hemofilia dan gangguan perdarahan lainnya.

“Di Riau sendiri, ada 142 pasien yang tersebar di seluruh kabupaten/kota, 50 persen di antaranya menderita hemofilia berat. Sayangnya, saat ini di Riau masih belum ada fasilitas skrining inhibitor hemofilia. Jadi kita masih harus mengirim ke Jakarta untuk skrining inhibitor, kata dokter Elmi.

Dr. Elmi menambahkan, penatalaksanaan atau pengobatan hemofilia yang utama meliputi pencegahan perdarahan dengan profilaksis pada pasien hemofilia berat atau dengan indikasi tertentu dan pengobatan perdarahan akut. 

Penanganan yang tepat dan komprehensif akan mengurangi frekuensi perdarahan dan risiko komplikasi lainnya. 

Misalnya saja memberikan akses yang lebih besar terhadap pengobatan hemofilia melalui JKN.

Pihaknya berharap dapat meningkatkan pengetahuan dan kapasitas petugas kesehatan dalam diagnosis, pengobatan, dan rehabilitasi pasien hemofilia.

Head of Patient Value Access PT Takeda Indonesia Shinta Caroline menyatakan, pihaknya sadar bahwa hemofilia berdampak besar pada kehidupan pasien dan masyarakat. 

“Kami berkomitmen memberikan pengobatan berkualitas bagi pasien hemofilia di Indonesia dengan membuka seluas-luasnya akses terhadap obat-obatan inovatif kami. Salah satunya dengan mendukung penyelenggaraan KONAS HMHI ke-7,” kata Shinta.

Pada KONAS HMHI ke-7 ini, Dr.dr. Novie Amelia Chozie, SpA(K) selaku Ketua HMHI 2024-2027 sepanjang tahun.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *