Respons Putusan MA, Dua Mahasiswa Ajukan Gugatan ke MK Soal Syarat Usia Calon Kepala Daerah

Laporan reporter Tribune News, Ibriza Fasti Efami

TRIBUNNEWS.COM, Jakarta – Dua profesor hukum mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap batasan usia minimal pejabat negara.

Huruf E pada Pasal 7 ayat 2 UU Nomor 10 Tahun 2016 adalah Fahrur Rozi, mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, dan Anthony Lee, mahasiswa Universitas Podamoro. ).

Teks tersebut berbunyi: “Calon gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, walikota dan wakil walikota harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1): e. Usia calon gubernur dan wakil gubernur sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun. berusia tahun dan calon bupati dan wakil walikota serta calon walikota dan wakil walikota harus berusia paling sedikit 25 (dua puluh lima) tahun.

Kuasa hukum pemohon, Abdul Hakeem, dan pihaknya mengajukan perkara tersebut menanggapi putusan Mahkamah Agung Nomor 23 P/HUM/2024 yang menetapkan kriteria usia calon gubernur mulai dari lulus.

Dua mahasiswa mengajukan petisi kepada Mahkamah Konstitusi untuk menerapkan kembali persyaratan usia bagi calon kepala daerah, dimulai sejak mereka terpilih, bukan setelah lulus.

“Mengapa kita perlu melakukan tes? Padahal, hal ini menanggapi putusan MA dalam PKPU Nomor 9 Tahun 2020 tentang persyaratan usia 30 tahun yang awalnya dibuat setelah “memutuskan menjadi calon” itu. diterjemahkan dengan jelas sebagai “Sejak pengangkatan mereka.”

Sebagaimana tertuang dalam putusan MA tentang penerapan kriteria usia untuk pencalonan Kepala Negara, kedua pemohon menegaskan ada pedoman mengenai hak untuk bersiap dan dipilih, karena mereka bertekad pasti secara hukum. .

“Oleh karena itu, kami meminta Mahkamah Konstitusi untuk menegaskan bahwa Pasal 7(2) yang dimaksud adalah ‘setelah pengangkatan’.

Selain itu, jika hakim menerima permohonan tersebut, dua keputusan terpisah akan diambil antara hakim dan Mahkamah Agung.

Namun Abdul Hakim menilai, keputusan MK harus berdasarkan hukum yang berlaku bagi penyelenggara pemilu.

Sebab, UU Pilkada yang diadili di Mahkamah Konstitusi mempunyai tingkatan yang lebih tinggi dibandingkan peraturan KPU yang diadili di Mahkamah Agung.

Kuasa hukum para pemohon meminta Mahkamah Konstitusi segera memutus permohonannya dengan mempertimbangkan penerapan standar pemilukada 2024.

“Suatu masalah yang kritis dan mendesak harus diputuskan,” kata hakim.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *