Gagasan pembatasan penggunaan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi kembali mendapat momentum menyusul pernyataan dua menteri di pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Namun perbedaan perkataan kedua petinggi tersebut membuat publik bertanya-tanya.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pihaknya masih mendiskusikan rencana pembatasan pembelian BBM bersubsidi mulai tahun 2024. 17 Agustus
Kita akan bertemu lagi, kata Airlangga di kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu (07-10), seperti diberitakan Kompas.com.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan mengatakan pembelian BBM bersubsidi akan dibatasi mulai 17 Agustus dengan alasan efisiensi, untuk meningkatkan penerimaan negara dan mendistribusikan BBM bersubsidi secara lebih luas
Media tersebut mengutip Luhut dari akun Instagram pribadinya @luhut.pandjaitan, namun postingan tersebut sudah tidak ada lagi.
Bhima Yudhistira, Pengamat Ekonomi Center for Economic and Legal Studies (CELIOS), mengatakan narasi pembatasan BBM bersubsidi hampir sama selalu dilontarkan setiap kali ada pergantian presiden.
“Setiap ada pergantian kepemimpinan, hal pertama yang harus dilakukan adalah memotong subsidi dengan narasi yang bisa dibilang sama. Bedanya mungkin sekarang narasinya berpindah ke makan siang gratis [misalnya]. “Tetapi intinya adalah menjalankan program pemerintah lainnya,” kata Bhima dalam wawancara telepon.
Bhima merujuk pada program makan siang gratis atau kini disebut makanan bergizi gratis yang merupakan program Presiden terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang akan resmi diresmikan pada tahun 2024. 20 Oktober
“Karena kalau dia tidak mempersiapkan diri dengan memotong subsidi, banyak program Pak Prabowo yang tidak bisa berjalan.
Bahan bakar yang disubsidi pemerintah adalah solar dan pertalite (RON 90).
Pada tahun 2024 Juli 1 Solar Rp 6.800 per liter dan Pertalite Rp 10.000 per liter.
Harga ini mungkin berbeda-beda di wilayah terpencil di Indonesia atau sulit dijangkau.
Komaidi Notonegoro, pengamat energi lembaga ReforMiner, mengatakan kebijakan pembatasan bahan bakar bersubsidi sudah dilakukan sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
“Tetapi efektivitasnya hingga saat ini masih menjadi tanda tanya, efektif atau tidak?” jelas Komaidi.
Komaidi menyarankan agar pemerintah memberikan subsidi langsung kepada masyarakat, bukan memberikan subsidi barang, dalam hal ini bahan bakar.
“Jika subsidi hanya untuk barang, apalagi pembatasan, Anda mungkin akan lelah.”
Agus Sujatno, pengurus harian Yayasan Konsumen Indonesia (YLKI), mengatakan pembatasan pembelian bahan bakar bersubsidi merupakan kebijakan pemerintah yang ambigu.
Agus menilai kebijakan pembatasan pembelian BBM bersubsidi akan berdampak pada daya beli konsumen pengguna Pertalita dan solar.
“Di satu sisi [pemerintah] tidak mau menggunakan terminologi kenaikan harga, namun dalam praktiknya harga akan naik bagi konsumen yang menggunakan pertalite dan solar [karena] harus beralih ke non-subsidi. BBM,” tegasnya. Mekanisme pembatasan BBM bersubsidi seperti apa yang akan diumumkan Agustus nanti?
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan mengatakan pembelian BBM bersubsidi akan dibatasi mulai 17 Agustus dengan alasan efisiensi, meningkatkan pendapatan negara, dan mendistribusikan BBM bersubsidi secara lebih tepat.
Media pada Rabu mengutip Luhut dari Instagram pribadinya @luhut.pandjaitan. Namun saat BBC News Indonesia mengakses laman tersebut, unggahan dimaksud sudah tidak ada lagi.
“Sekarang Pertamina sudah siap, kita berharap tanggal 17 Agustus sudah bisa mulai dimana kita bisa mengurangi jumlah masyarakat yang tidak berhak menerima subsidi,” kata Luhut, seperti dilansir Kompas.com.
Secara terpisah, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pihaknya masih membahas rencana pembatasan pembelian BBM bersubsidi mulai tahun 2024. 17 Agustus
Kita akan bertemu lagi, kata Airlangga, Rabu (07-10) di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta.
BBC News Indonesia menanyakan kepada perusahaan minyak dan gas negara Pertamina tentang mekanisme yang akan diterapkan untuk membatasi bahan bakar bersubsidi pada 17 Agustus.
Wakil Presiden Komunikasi Korporasi Pertamina Fadjar Djoko Santoso mengatakan, “Pada dasarnya, setelah itu Pertamina akan mengikuti instruksi pemerintah.”
Di sisi lain, Fajjar menegaskan, secara paralel, Pertamina melakukan upaya pengalihan subsidi.
Pertama, Pertamina memanfaatkan teknologi informasi untuk memantau pembelian BBM bersubsidi di SPBU secara real time untuk memastikan konsumen yang membeli berhak mendapatkannya, kata Fadjar kepada BBC Indonesia, Kamis.
“Pertamina telah mengembangkan sistem kewaspadaan yang mengirimkan sinyal pengecualian dan dipantau langsung dari pusat komando Pertamina. Melalui sistem ini, data transaksi ilegal seperti pengisian solar lebih dari 200 liter per kendaraan bermotor atau pengisian BBM bersubsidi pada kendaraan yang tidak melakukan hal tersebut. pendaftaran plat nomornya akan diawasi langsung oleh pihak pertamina”.
Fadjar mengatakan, sejak peninjauan ini dimulai pada 2022. 1 Agustus hingga 2024 pada kuartal I, Pertamina berhasil menurunkan risiko penggunaan BBM bersubsidi sebesar 281 juta. dolar AS atau sekitar Rp 4,4 triliun.
Selain itu, Fadjar mengatakan, Pertamina telah melaksanakan program penguatan fasilitas dan peralatan digitalisasi di lebih dari 8.000 SPBU milik Pertamina, termasuk wilayah 3T (tertinggal, perbatasan, dan terluar).
“Sejauh ini 82% SPBU sudah terkoneksi secara nasional,” jelasnya.
Terakhir, Fadjar mengatakan, Pertamina terus memperkuat kerja sama dengan otoritas hukum untuk memperkuat pengawasan dan mengambil tindakan guna mencegah penyalahgunaan BBM bersubsidi yang tidak sesuai peruntukannya. Akibat pembatasan BBM bersubsidi
Pembatasan bahan bakar bersubsidi sebenarnya bukan wacana atau kebijakan baru.
Misalnya, pada tahun 2012 pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meluncurkan rencana tersebut di tengah kenaikan harga minyak dunia.
Saat itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyatakan akan menerapkan pembatasan bahan bakar bersubsidi dan mengubah bahan bakar tersebut menjadi gas alam (BBG) untuk angkutan umum.
Pada tahun 2014 pembatasan BBM bersubsidi menyebabkan antrian panjang di berbagai Stasiun Layanan Umum (SPBU) di berbagai wilayah Indonesia.
Terakhir, pada tahun 2022 Upaya menyasar BBM bersubsidi dengan mendorong masyarakat menggunakan aplikasi digital MyPertamina juga mendapat kritik karena tidak semua masyarakat, terutama masyarakat kelas bawah, memiliki akses yang sama terhadap teknologi dan Internet.
Bhima Yudhistira, Direktur Pusat Studi Ekonomi dan Hukum (CELIOS), mengatakan salah satu tantangan utama dalam memastikan distribusi bahan bakar bersubsidi tepat sasaran adalah pengumpulan data.
“Pengumpulan data penduduk miskin di Indonesia sangat buruk,” kata Bhima.
“Banyak yang benar-benar miskin, namun data kemiskinan belum terdata.”
Bhima menganalisis, rencana pemotongan subsidi yang dilakukan pemerintahan Jokowi dilakukan untuk membuka APBN atau ruang fiskal guna membiayai program prioritas pemerintahan baru, pemerintahan Prabowo-Gibran.
“Peningkatan defisit APBN pada akhir tahun ini patut dikhawatirkan. Bahkan bisa lebih dari 2,7 persen, mendekati batas atau ambang batas 3 persen,” kata Bhima.
“Setiap ada pergantian kepemimpinan, hal pertama yang harus dilakukan adalah memotong subsidi dengan narasi yang bisa dibilang sama. Bedanya mungkin sekarang narasinya berpindah ke makan siang gratis [misalnya]. “Kalau dia tidak mempersiapkan diri dengan memotong subsidi, banyak program Pak Prabowo yang mungkin tidak berhasil.
Bhima merujuk pada Program Makan Siang Gratis atau kini disebut Makan Bergizi Gratis yang merupakan program pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka yang akan resmi diluncurkan pada tahun 2024. 20 Oktober
Berdasarkan informasi Menteri Keuangan Sri Mulyani tahun 2024 pada konferensi pers bulan Juni, program makan siang gratis atau yang kini dikenal dengan makanan bergizi gratis bagi pelajar rencananya akan disertakan pada tahun 2025.
Bhima mengatakan, ia harus dikritik. Daripada menggunakannya untuk mempolitisasi masyarakat yang terkena pembatasan bahan bakar bersubsidi, sebaiknya pemerintah fokus memberikan kompensasi kepada masyarakat kelas menengah yang rentan karena menggunakan Pertalite, katanya.
Faktanya, masyarakat kita menderita sindrom ingatan pendek. Jadi, setiap kali tokoh utama berganti, Anda akan melupakan ceritanya. Mereka akan memakan narasi pemerintah seolah-olah itu bagus, katanya. Akan selalu ada distorsi. “
Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, memperkirakan berdasarkan apa yang telah terjadi, distorsi dalam penerapan pembatasan bahan bakar bersubsidi akan terus berlanjut.
Komaidi mengatakan, kebijakan pembatasan BBM bersubsidi sudah dilakukan sejak masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
“Tetapi efektivitasnya saat ini masih menjadi tanda tanya apakah efektif atau tidak,” jelas Komaidi yang menyarankan pemerintah memberikan subsidi langsung kepada masyarakat dibandingkan memberikan subsidi barang, dalam hal ini BBM.
Menurut Komaidis, jika pemerintah serius, maka subsidi harus diberikan langsung kepada mereka yang membutuhkan, bukannya mensubsidi barang – dalam hal ini bahan bakar.
“Apalagi kalau ada filosofi dibalik subsidi BBM. Yang namanya subsidi adalah bantuan bagi mereka yang tidak mempunyai daya beli. Artinya, siapa pun yang daya belinya paling kecil, seharusnya mendapat bagian atau saham yang lebih besar dibandingkan mereka yang sudah punya daya beli, kata Komaidi.
– Namun subsidi bahan bakar dibatalkan.
Komaidi memberi gambaran seseorang yang memiliki mobil berjenis SUV dengan kapasitas tangki 70 liter. Dengan menetapkan subsidi sebesar Rp 2.000 per liter, pengemudi SUV akan menerima lebih banyak bahan bakar bersubsidi dibandingkan pengendara sepeda motor (yang tangki terbesarnya tujuh liter) atau bahkan pengguna angkutan umum.
“Ini berarti subsidi besar bagi masyarakat kaya.” “Yang tidak punya uang atau miskin tidak mendapat subsidi,” ujarnya.
Komaidi menilai subsidi harus diberikan langsung kepada masyarakat berpenghasilan rendah.
“Jadi masyarakat miskin, berpendapatan rendah dapat subsidi. Dan terserah pada mereka untuk mengalokasikan bahan bakar dan membeli beras. Untuk membiayai anak sekolah dan lain-lain. Itu hak mereka sepenuhnya. bahkan mobil pun tidak boleh menerima subsidi.
Tapi kenapa selama ini masih bisa diakses? “Karena pemerintah belum siap menerapkan kebijakannya,” jelas Komaidi.
Secara terpisah, Agus Sujatno, pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), mengatakan pembatasan pembelian bahan bakar bersubsidi merupakan kebijakan pemerintah yang ambigu.
“Di satu sisi [pemerintah] tidak mau menggunakan terminologi kenaikan harga, namun dalam praktiknya harga akan naik bagi konsumen yang menggunakan pertalite dan solar [karena] harus beralih ke non-subsidi. bahan bakar,” tegasnya.
Agus mengatakan, pihaknya menunggu mekanisme pembatasan pembelian untuk tahun depan. Sebab, model yang dikembangkan terbukti tidak efektif dalam mengendalikan penjualan BBM bersubsidi.
“UU Energi secara implisit menyatakan bahwa subsidi merupakan hak masyarakat kelas bawah. “Tetapi dalam konteks bahan bakar, yang memakan subsidi sebenarnya adalah kelas menengah atas,” katanya.
“Kebijakan pembatasan pembelian akan mempengaruhi daya beli konsumen pengguna Pertalita dan solar jika harus beralih ke BBM nonsubsidi.” Apa mekanisme terbaik untuk mengurangi subsidi bahan bakar?
Uka Wikarya, Ketua Kelompok Kajian Sumber Daya Alam dan Energi Lembaga Penelitian Masyarakat dan Ekonomi (LPEM) Universitas Indonesia, mengatakan subsidi harus disalurkan kepada konsumen yang benar-benar berhak dan tepat sasaran.
“Tidak boleh ada konsumen yang mampu secara ekonomi mendapatkan BBM bersubsidi,” kata Uka.
“[Subsidi] tidak boleh diberikan secara tunai. Subsidi dapat diberikan secara tertutup. Contoh: Pertalite hanya boleh dijual di SPBU kepada pelanggan yang memiliki Kartu Penerima Subsidi Pertalite.
Agus Sujatno, pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), menyatakan pendapat serupa, dengan alasan bahwa pengendalian biaya bahan bakar akan lebih rasional jika subsidi tertutup diterapkan.
Komaidi mengatakan, pemerintah belum siap dengan kebijakannya yang mengizinkan siapa pun, termasuk masyarakat menengah dan atas, mendapatkan bahan bakar bersubsidi selama ini.
“Kalau memang mau menyelenggarakannya, berikan subsidi langsung. “Kalau subsidinya untuk barang, apalagi pembatasan, kemungkinan besar akan melelahkan,” tegasnya.
Sementara itu, Bhima mengatakan pemerintah juga harus terus mendorong pengembangan angkutan umum dan membatasi produksi mobil baru jika ingin mengurangi konsumsi bahan bakar bersubsidi. Menurutnya, produksi mobil listrik hanya dinikmati oleh kelompok kaya.
Masyarakat miskin yang dulunya menikmati subsidi kini diminta untuk membeli bahan bakar yang lebih mahal dan tidak ada alternatif lain. “Alternatifnya adalah menyuruh mereka menggunakan mobil listrik yang mahal? Katanya.