TRIBUNNEWS.COM – Beberapa media Israel menyebut puluhan tentara cadangan Israel yang kembali dari dinas menolak kembali ke Jalur Gaza.
Mereka trauma karena mengingat apa yang mereka alami dan pengalaman ini cukup bagi mereka untuk mengambil keputusan.
Apalagi, mereka memilih dihukum karena penolakannya, dibandingkan kembali menjalani wajib militer di Jalur Gaza.
“Puluhan tentara cadangan mengatakan mereka tidak akan kembali bertugas militer di Gaza, meskipun mereka diperkirakan akan dihukum,” lapor surat kabar Israel “Calcalist” pada Selasa (25/6/2024).
Bahkan, ratusan tentara cadangan Israel memilih pergi ke luar negeri untuk menghindari wajib militer di Jalur Gaza.
“Ratusan tentara cadangan Israel pergi berlibur ke luar negeri tanpa memberi tahu komandan mereka, meskipun mereka tunduk pada perintah penarikan darurat nomor 8,” kata Calcalist dalam laporannya.
“Calcalist” juga mengungkap skandal baru di mana pasukan cadangan tentara Israel menawarkan penjualan sekelompok senjata dan peralatan militer melalui situs web untuk menghasilkan uang.
“Hal ini terjadi karena sulitnya kondisi perekonomian yang dialami pendudukan Israel akibat perang di Gaza,” lapornya.
Dalam laporan lain, pasukan cadangan Israel terpaksa menjual senjata dan peralatan militer mereka untuk mendapatkan uang.
“Mereka tidak mempunyai sumber keuangan karena agresi yang sedang berlangsung di Jalur Gaza, yang sangat merugikan kondisi kehidupan tentara Israel,” kata laporan tersebut.
Laporan tersebut menunjukkan bahwa terjadi kekurangan peralatan tempur di pasar Israel sejak Oktober lalu, yang menyebabkan beberapa kelompok menjual peralatan militer Israel.
Kelompok tersebut dipimpin oleh tentara cadangan Israel, yang memiliki akses terhadap senjata dan peralatan tempur militer.
Mereka menawarkan peralatan tersebut untuk dijual kepada orang-orang yang membutuhkannya. Penurunan partisipasi tentara Israel
Pakar militer Mayor Jenderal Vasaf Erekat menilai pemberitaan penolakan tentara cadangan Israel untuk kembali ke Jalur Gaza merupakan cerminan dari kenyataan di lapangan.
Menurutnya, perlawanan faksi-faksi Palestina menunjukkan dirinya mampu menghadapi Israel dan melemahkannya.
“Ketika pasukan cadangan Israel dipanggil untuk berpartisipasi dalam perang di Jalur Gaza, tingkat partisipasi mencapai 120 persen, namun sekarang, setelah lebih dari 263 hari, tingkat partisipasi tersebut berkurang hampir setengahnya,” kata pakar tersebut kepada Al Jazeera.
Ia mengklaim hal ini merupakan pukulan telak bagi tentara Israel secara umum, termasuk terkurasnya energi dan psikologi tentara Israel. Korban tewas
Saat Israel masih melancarkan agresinya di Jalur Gaza, jumlah korban tewas warga Palestina meningkat menjadi lebih dari 37.551 orang dan 85.911 lainnya luka-luka pada Sabtu (7/10/2023) hingga Sabtu (22/06/2024), dan 1.147 orang. kematian di wilayah Israel, Seperti dilansir Anadolu.
Sebelumnya, Israel mulai melakukan pengeboman di Jalur Gaza setelah gerakan perlawanan Palestina, Hamas, melancarkan Operasi Banjir Al-Aqsa pada Sabtu (7/10/2023) untuk melawan pendudukan Israel dan kekerasan di Al-Aqsa sejak tahun 1948.
Israel memperkirakan ada sekitar 120 sandera, baik hidup maupun mati, yang masih ditahan Hamas di Jalur Gaza, setelah menukar 105 sandera dengan 240 tahanan Palestina pada akhir November 2023.
Sementara itu, lebih dari 8.000 warga Palestina masih berada di penjara Israel, menurut laporan The Guardian pada bulan Desember 2023.
(Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)
Berita lainnya terkait konflik Palestina x Israel