Laporan jurnalis Tribunnews.com Ismoyo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Produktivitas industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri dikhawatirkan akan semakin terdampak oleh melemahnya nilai tukar rupiah dan derasnya arus impor tekstil di tengah melemahnya permintaan di pasar ekspor. .
Namun, industri ini akan berada di bawah tekanan yang semakin besar di masa depan. Bhima Yudhishthira, kolumnis ekonomi dan direktur Pusat Studi Ekonomi dan Hukum (Celios), mengatakan demikian.
Bhima mengatakan produktivitas industri TPT dalam negeri, khususnya industri garmen, masih bergantung pada melemahnya daya saing.
“Hal ini terlihat dari banyaknya pabrik merek pakaian global yang berpindah ke Vietnam, Bangladesh, bahkan Ethiopia. Karena kami melihat berbisnis di Indonesia relatif mahal,” kata Bhima kepada Tribunnews, Sabtu (22/6/2024).
“Dari segi biaya logistik, Indonesia dinilai masih tantangan,” lanjutnya.
Bhima mengatakan, industri manufaktur mendapat tekanan dari impor barang baik melalui jalur legal maupun ilegal.
“Barang impor yang dijual baik secara retail maupun online atau e-commerce harganya sangat murah sehingga menimbulkan kerugian bagi pelaku usaha di dalam negeri,” kata Bhima.
Hal lainnya adalah adanya kondisi makroekonomi seperti suku bunga tinggi, rendahnya daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah.
Selain itu, adanya permasalahan melemahnya nilai tukar rupiah membuat harga bahan baku yang sebagian besar masih diimpor menjadi sangat mahal.
Bhima juga menegaskan, pemerintah masih meragukan keberadaan industri manufaktur.
“Hal ini terlihat dari kurang konsistennya dan cenderung “melompat-lompat”. Makanya, kita belum selesai mendorong industrialisasi di sektor sandang dan alas kaki, lalu kita langsung beralih ke pengolahan nikel. Jadi kurang fokus dan manufaktur termasuk sektor yang kurang mendapat insentif dari pemerintah,” kata Bhima.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor tersebut menyebabkan runtuhnya banyak cabang industri manufaktur dan gelombang PHK massal.
“Menurut perkiraan, hal ini akan terus terjadi dalam 2 tahun ke depan, kecuali ada perbaikan yang signifikan dari kebijakan pemerintah yang berpihak pada industri dalam negeri,” tutupnya.