Alarm Industri Indonesia ‘Menyala’, Kemenperin Sebut Sumbernya

Dilansir reporter Tribunnews.com Lita Febriani

TRIBUNNEWS.COM, Jakarta – Pertumbuhan manufaktur tidak akan meningkat hingga Juni 2024, ungkap firma analis S&P Global.

Hal ini disebabkan oleh lambatnya pertumbuhan output, pesanan baru, dan penjualan. Situasi ini juga membebani kepercayaan terhadap produksi selama 12 bulan ke depan, yang belum berhasil mencapai titik terendahnya di bulan Mei dan merupakan salah satu yang terendah dalam sejarah.

Sementara itu, di dalam negeri, Juru Bicara Kementerian Perindustrian Febri Hendri Antoni Arif mengatakan, sektor industri saat ini berada dalam situasi berbahaya.

Febri di Jakarta, Senin, mengatakan, “Pelaku industri kurang optimis terhadap perkembangan bisnis ke depan. Hal ini dipengaruhi oleh lemahnya pertumbuhan pesanan baru yang dipengaruhi oleh kondisi pasar, pembatasan perdagangan dari negara lain, dan peraturan yang tidak mendukung.” /7/2024).

Aturan tersebut adalah Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Ketentuan Impor.

Aturan tersebut memudahkan kemudahan mengimpor barang dari luar negeri yang sejenis dengan yang diproduksi di dalam negeri.

Hal ini menyebabkan menurunnya optimisme pelaku industri sehingga berdampak pada penurunan Purchasing Managers’ Index (PMI).

Berbeda dengan beberapa negara yang PMI manufakturnya meningkat, PMI Indonesia turun signifikan. Penyesuaian kebijakan harus dilakukan untuk meningkatkan optimisme pelaku industri, tegas juru bicara Kementerian Perindustrian.

Perubahan kebijakan yang diperlukan antara lain mengembalikan peraturan impor ke Peraturan Menteri Perdagangan. Nomor 36 Tahun 2023, serta penerapan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) dan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) terhadap beberapa barang.

Industri manufaktur diperkirakan masih akan menunjukkan kinerja positif pada Juni 2024, dengan indeks manajer pembelian (PMI) manufaktur berada di angka 50,7 selama 34 bulan berturut-turut.

“Manufaktur terus menunjukkan kinerja positif hingga Juni 2024. Kami berterima kasih kepada para pelaku industri atas kerja kerasnya dalam menjaga produktivitas dan prospek usaha yang berkelanjutan selama 12 bulan ke depan, khususnya dari sisi kondisi bisnis. Permintaan membuat Slow down,” kata Febri.

Meski masih mengalami ekspansi, namun situasi PMI Indonesia tidak sama dengan negara-negara manufaktur global seperti China, India, Taiwan, Korea Selatan, Thailand, dan Vietnam.

Di kawasan ASEAN, PMI manufaktur Thailand meningkat dari 50,3 pada Mei 2024 menjadi 51,7 pada Juni 2024, dan Vietnam meningkat tajam dari 50,3 pada Mei 2024 menjadi 54,7 pada Juni 2024.

Keadaan darurat yang dialami industri manufaktur terlihat pada pengangguran akibat berkurangnya permintaan di pasar global dan pembatasan perdagangan yang berujung pada “dumping” produk impor dalam jumlah besar ke pasar dalam negeri. oleh negara lain.

Febri mengatakan, jika Indonesia tidak mengatur hal ini, maka akan semakin banyak produk impor yang membanjiri pasar dan produk lokal akan tertunda.

Orang dalam industri juga menyatakan perlunya mengubah peraturan yang ada saat ini.

Harrison Silaen, Departemen Sumber Daya Manusia Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), mengatakan pemerintah harus memiliki arah yang jelas untuk menyelesaikan permasalahan di industri TPT jika industri tersebut dianggap penting.

“Saat ini, sulit bagi pengusaha lokal untuk bersaing dengan masuknya produk tekstil,” kata Harrison.

Trevor Balchin, direktur ekonomi di S&P Global Market Intelligence, mengatakan PMI masih di atas tren rata-rata jangka panjang, namun ekspektasi indeks output di masa depan tidak berubah dari level Mei dan merupakan bagian dari posisi terendah dalam sejarah.

Hal ini mencerminkan kurangnya lapangan kerja pada bulan Juni dan penurunan lapangan kerja pertama dalam tujuh bulan. Tren menunjukkan penurunan tajam dalam pesanan baru pada awal paruh kedua tahun ini, yang merupakan kontraksi kedua sejak pertengahan tahun 2021.

“Peringatan dini ini harus kita harapkan dari para ekonom S&P agar Indonesia tidak kehilangan kecepatan pertumbuhan manufaktur seperti negara-negara industri maju lainnya di dunia,” jelas Febri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *