Dompet Dhuafa dan WALHI Dorong Perlindungan dan Pemulihan Wilayah Pesisir dari Ancaman Bencana Iklim

TRIBUNNEWS.COM – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) telah menandatangani kerjasama dengan Disaster Management Center (DMC) Dompet Dhufa untuk perlindungan, restorasi dan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil di seluruh Indonesia yang dilaksanakan di Pulau Pari di selatan. Kecamatan Kepulauan Seribu, Kabupaten Kepulauan Seribu, Jakarta, Senin (8/7).

Agenda perlindungan, pemulihan, dan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil di seluruh Indonesia ini diawali dengan penanaman 1000 pohon mangrove di Pulau Pari di Jakarta dan berlanjut ke pesisir utara Pulau Jawa dan berlanjut ke provinsi lain di Indonesia. 

Kolaborasi tersebut dibangun untuk melancarkan gerakan kolaboratif penguatan dan penguatan kampanye advokasi lingkungan hidup agar dapat menjangkau masyarakat seluas-luasnya.

Isu utama yang menjadi arus utama dalam kolaborasi ini adalah perlindungan dan restorasi lingkungan, khususnya di wilayah pesisir kecil; mitigasi dan adaptasi krisis iklim; dan konservasi alam di Indonesia.

Wakil Direktur Program Sosial Budaya Dompet Dufa 1 Jupartha Panji Uthama turut serta dalam kesempatan ini. Menurutnya, Pulau Pari dekat dengan pusat kota Jakarta, bekas ibu kota Indonesia, tempat seluruh kekuasaan, pusat politik, dan keputusan negara Indonesia berada.

“Jika kebijakan-kebijakan yang lebih dekat dengan pusat politik tidak mendukung kepentingan masyarakat, bisa dibayangkan hal serupa akan terjadi di tempat lain,” tegasnya.

Panji mengatakan erosi pantai di Pulau Pari sangat tinggi. Selain itu, masyarakat Pulau Pari juga berjuang untuk mengelola lingkungannya secara mandiri. Panji mengatakan, pihaknya telah bekerja sama dengan Walhi selama lima tahun untuk mengendalikan erosi di pantai utara Laut Jawa.

“Setiap tahun kalau bisa kita evaluasi untuk terus bekerja sama, tapi kita tidak boleh dibatasi oleh waktu, tapi bagaimana kita mencapai tujuan yang ingin kita capai,” kata Panji.

Dompet Duafa berharap dapat bekerja sama dengan banyak pihak, terutama masyarakat dan pihak-pihak yang terkena dampak kerusakan lingkungan dan krisis iklim, ujarnya.

Semua pihak harus bermitra, semua pihak harus bersatu, ini musuh kita bersama, ujarnya.

DMC Dompet Dhufa sendiri berupaya membantu suatu daerah agar tahan terhadap bencana baik alam maupun dampak krisis iklim.

Bantuan akan diberikan pada salah satu daerah dalam program Kawasan Tanggap dan Ketahanan Bencana (KTTB) meliputi wilayah Lebak (Banten), Silivung (Jakarta), Gunungkidul (DIY), Demak (Jawa Tengah), Pasitan (Timur). Jawa). ), Lombok (NTB) dan Ternate (Maluku Utara).

Seperti halnya di Pasitan (Jawa Timur), DMC telah melakukan berbagai upaya untuk menjaga kelestarian lingkungan dan mengurangi risiko bencana yang mengancam Wilayah Desa Sidomulyo, Kabupaten Pasitan. Penanaman mangrove di sana dilatarbelakangi oleh kekhawatiran masyarakat akan ancaman erosi air laut yang terus mengikis wilayah pesisir dan mengancam rusaknya habitat warga sekitar pantai.

Dalam sambutannya, Direktur Eksekutif Nasional Walhi Jenji Suhadi mengatakan kolaborasi tersebut merupakan penyatuan dua gerakan yang menggerakkan nilai-nilai kemanusiaan dan etika serta gerakan yang melindungi dan memajukan hak asasi manusia atau lingkungan hidup.

Genji mengatakan filosofi Dompet Dhua yang dirangkumnya adalah menghimpun dan mengarahkan sumber daya manusia untuk menjunjung tinggi dan memajukan nilai-nilai moral kemanusiaan, termasuk lingkungan hidup.

Ia mengatakan, pertemuan kedua gerakan ini kemungkinan besar akan menjadi awal dari pembangunan nilai-nilai universal dan moralitas kemanusiaan di masa depan. “Ketika kita berhasil menerjemahkan apa yang kita tandatangani hari ini, maka itu bukan sekedar pertemuan coretan dua pimpinan lembaga,” ujarnya.

“Pertemuan kedua organisasi ini kita pahami sebagai perkawinan antara dua anggota gerakan yang menyatukan nilai-nilai dan moral kemanusiaan serta gerakan yang melindungi dan memajukan hak asasi manusia atau lingkungan hidup, sehingga kita melahirkan satu hal. Dimanapun berada. lahir, di pulau manapun seseorang berdiri, ia berhak atas segala sesuatu yang ada di muka bumi ini,” imbuhnya.

Genji mengatakan, kehancuran bumi disebabkan oleh kesewenang-wenangan segelintir orang yang mengancam hak asasi manusia terhadap lingkungan hidup. Ia menyebutkan, sudah hampir 30 tahun seluruh negara anggota PBB membahas perubahan iklim.

“Ketika para pemimpin dunia bertemu selama 30 tahun, pada saat itu emisi meningkat, perubahan iklim meningkat, suhu rata-rata harian bumi meningkat,” ujarnya.

Artinya, kata Genji, masyarakat tidak bisa hanya mengandalkan nasib demi keselamatan bumi dan hak generasi penerus. Masyarakat hanya bisa menaruh harapannya terhadap keamanan bumi dan hak generasi pada kesadaran masyarakat luas.

Menurutnya, pertemuan Walhi dan Dompet Dufa akan menjadi jembatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam penyelamatan alam. Ia berharap kerja sama ini terus berlanjut.

“Saya usulkan kita ulangi pertemuan di tempat yang sama tahun depan, pada tanggal yang sama, namun dalam skala yang lebih besar,” ujarnya.

Mengapa memulai dari Pulau Pari?

Ketua Kelompok Perempuan Pulau Pari Asmania mengatakan, pemeliharaan pantai dan taman di Pulau Pari merupakan salah satu bentuk perjuangan masyarakat. Dulu, ketika masyarakat membuka lahan menuju Pantai Rengg (kawasan yang ditanami bakau), warga kerap mendapat ancaman.

Beliau menyampaikan bahwa perjuangan kami sudah berlangsung sejak tahun 2014 hingga saat ini, kami masih memperjuangkan kehidupan dan penghidupan kami disini dan yang bisa kami lakukan hanyalah beraktivitas seperti dulu.

Asmanian juga menambahkan, saat ini kita sedang mengalami dampak krisis iklim yang sangat parah. Menurutnya, krisis iklim telah menyebabkan erosi di perairan Renge. Pohon-pohon di pantai tumbang.

Katanya sedih melihat keadaan yang terjadi di sini.. Mungkin sama saja sekarang, tapi kita tidak tahu apa yang akan terjadi 10 atau 15 tahun ke depan.

Ia mengucapkan terima kasih atas dukungan banyak pihak termasuk Wahi dan DMC Dompet Dufa. “Terima kasih kepada teman-teman yang membantu penanaman mangrove hari ini. “Terima kasih telah mempercayai kami warga Pulau Pari,” ujarnya.

Asmania menekankan perjuangan kelompok perempuan di Pulau Pari menghadapi gencarnya ancaman krisis iklim terhadap keadilan dan perlindungan alam. Ia menegaskan, pengelolaan lingkungan hidup Pantai Renge dan Pulau Pari secara keseluruhan yang dilakukan oleh kelompok perempuan tidak hanya bermanfaat bagi warga, namun juga bagi generasi penerus anak cucu mereka.

“Kami ingin hidup damai dan tenteram di Pulau Pari. Karena laut kita sudah kaya. Indonesia,” ujarnya.

Pulau Pari merupakan salah satu pulau terkecil di Kepulauan Seribu dengan luas lebih dari 42 hektar. Lebih dari 400 keluarga tinggal di pulau ini, sebagian besar bekerja sebagai nelayan atau pekerja pariwisata.

Pulau Pari sudah lama terkena dampak krisis iklim. Pulau Pari sangat terkena dampak banjir rob, naiknya permukaan air, cuaca ekstrem, dan air pasang. Semuanya memperburuk kehidupan sosial ekonomi masyarakat Pulau Pari.

Krisis iklim juga mempersulit penemuan berbagai jenis ikan laut, termasuk ikan bass dan bonito, karena suhu laut menghangat. Selain itu, krisis iklim menyebabkan banjir rob semakin sering terjadi di Pulau Pari. Karena itu, banyak wisatawan yang membatalkan perjalanannya.

Ketua Forum Peduli Pulau Pari Mustaghfirin mengatakan, situasi ini merupakan pukulan telak bagi perekonomian kita yang bergantung pada sektor perikanan dan pariwisata yang merupakan pendapatan utama Pulau Pari, dan Holsim pun menggugat.

Oleh karena itu, kami berharap kerjasama Walhi dan DMC Dompet Duafa dapat memperkuat masyarakat Pulau Pari dalam menghadapi krisis iklim dan ancaman perampasan lahan pemukiman,” lanjutnya.

Terkait banjir rob, Arif Pujianto (warga Pulau Pari di Pantai Bintang), pulau tersebut kerap terserang banjir rob pada malam hari.  Ia mengatakan, banyak anak-anak yang terluka akibat banjir rob yang semakin parah sejak tahun 2020.

Bahkan sebagian anak-anak di Pulau Pari tidak mengalami ketakutan dan trauma akibat banjir rob. Mereka tidak bisa bersekolah karena terganggu kesehatan fisik dan mentalnya, ujarnya.

Banjir malam merusak rumahnya secara permanen. Ia harus memperbaiki rumahnya sendiri dan mengeluarkan dana sekitar Rp 3.000.000 untuk memperbaiki kerusakan rumahnya.

Tak hanya itu, keluarga Arif juga harus membeli air lebih banyak karena air sumur di rumahnya tercampur air laut. “Untuk mencuci, berpakaian, membersihkan diri, air sumur sudah berhari-hari tidak bisa kami manfaatkan karena banjir. Sejak itu kami harus membeli air lagi dari tempat penyulingan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,” tegasnya.

Sementara itu, Eddy Mulyono, seorang nelayan dan operator pariwisata, mengatakan dirinya dan teman-teman lainnya kerap mengalami kerugian ekonomi akibat banjir rob. Ratusan wisatawan yang seharusnya datang ke Pulau Pari tiba-tiba membatalkan rencana berkunjung karena situasi tidak memungkinkan.

ED Mulyono mengatakan pendapatan dari homestay dan pendapatan pariwisata hilang. Wisatawan membatalkan perjalanannya karena takut banjir. “Saya rugi Rp5.500.000 akibat banjir rob pada November dan Desember 2021,” kata Edi.

Ia bahkan tidak bisa menangkap ikan karena banjir rob dan harus membersihkan pulau. Akibatnya, ia kehilangan pendapatan sekitar Rp1.750.000.

Asmania, seorang perempuan nelayan dan ketua Dewan Pulau Pari, mengatakan krisis iklim telah memaksa perempuan di Pulau Pari untuk bekerja lebih keras demi menafkahi keluarga mereka. Diakuinya, sektor perikanan budidaya mengalami kerugian besar akibat pemanasan air laut.

“Dulu saya panen 30-50 juta, tapi sekarang hasil panen ikan bass saya tidak bisa sebanyak itu karena air laut saat ini panas sekali sehingga banyak ikan yang mati. Perekonomian keluarga saya terpuruk,” ujarnya.

Upaya untuk mencapai keadilan iklim 

Seperti diketahui, dampak krisis iklim global telah menyebabkan suhu bumi melebihi 1,5 derajat Celsius dibandingkan masa pra revolusi industri dan memicu bencana iklim di Indonesia yang semakin parah dari waktu ke waktu. Apa yang terjadi di Pulau Pari juga terjadi di tempat lain.

Berdasarkan kajian WALHI, krisis iklim di wilayah pesisir telah menyebabkan hal-hal berikut:

Pertama, tenggelamnya desa-desa pesisir di Indonesia. Setiap tahunnya, 1 hektar lahan hilang di kawasan pesisir Demak, Jawa Tengah akibat naiknya permukaan air laut. Desa Tambakshari merupakan desa pertama yang mulai tenggelam akibat erosi dan desa ini mulai mengalami kemunduran pada tahun 1997.

Saat ini kepala keluarga bertambah 9 orang, sehingga total yang masih hidup berjumlah 45 orang. Desa lain yang mulai mengalami kerusakan adalah Desa Rezosari Senik yang mulai terendam sejak tahun 2000. Ketika warga mencari pemukiman kembali pada tahun 2005, mereka dipindahkan ke Desa Gemulak dan Sidogema di Kecamatan Sayung.

Namun kepala keluarganya masih ada dengan total 5 orang yang hidup hingga saat ini. Desa ketiga, Bedono, juga terkena banjir pada tahun 2005, dua desa terendam banjir pada tahun 2010, yaitu Desa Mondolico yang berjumlah 95 KK dan Desa Timbuloko yang berjumlah 150 KK.

Di masa depan, lebih dari 12 ribu desa pesisir di Indonesia berisiko tenggelam akibat naiknya permukaan air laut akibat krisis iklim.   Sepanjang 2017 hingga 2020, Walhi mencatat 5.416 desa pesisir terendam akibat banjir bandang.

Kedua, tenggelamnya kota-kota pesisir di Indonesia. Sebanyak 199 kota atau bupati di wilayah pesisir Indonesia akan terkena dampak banjir rob tahunan pada tahun 2050. 

Akibatnya, area seluas sekitar 118.000 hektare terendam air laut. Berdasarkan catatan Pusat Penelitian dan Pengembangan (Litbang) KompAS, ada 23 juta orang yang terkena dampaknya. Bahkan, kerugian finansial diperkirakan mencapai Rp 1,576 triliun. Terdapat 567 wilayah pesisir di 515 kota atau kabupaten di Indonesia.

Ketiga, kehidupan ekonomi nelayan hancur dan jumlah nelayan yang mati di laut semakin bertambah. Berdasarkan catatan WALHI, nelayan hanya boleh melaut hanya 6 bulan dalam setahun. Selama 6 bulan tersisa, Anda harus mengubah pekerjaan Anda menjadi porter atau pedagang keliling yang tangguh.

Setiap tahun (rata-rata) 100 nelayan hilang/meninggal di laut karena melaut dalam suasana yang tidak menentu. Jumlah nelayan yang meninggal di laut pada tahun 2010-2020 terus meningkat. Jumlah nelayan yang meninggal pada tahun 2010 sebanyak 87 orang. Namun pada tahun 2020, jumlah tersebut meningkat menjadi 251 orang. 

Sulitnya situasi akibat krisis cuaca ini memperlihatkan kehidupan masyarakat pesisir, khususnya nelayan tradisional dan/atau nelayan skala kecil, serta kehidupan perempuan nelayan di Indonesia.

Dalam jangka panjang, dampak negatif dari krisis cuaca ini akan mengakibatkan lebih dari 23 juta komunitas pesisir harus meninggalkan kampung halamannya pada tahun 2050. Ini dikenal sebagai cuaca sebagai Pengungsi.

Peluncuran kerja sama ini merupakan ajakan kepada seluruh lapisan masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam menjaga keadilan iklim, perlindungan, restorasi, dan pengelolaan wilayah publik.

Sekaligus, kerja sama ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dan agar berbagai pihak lebih peduli terhadap lingkungan di sekitarnya. Hal ini dapat menciptakan masyarakat elastis yang bebas dari ancaman bencana dan mampu menghadapi krisis cuaca.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *