Laporan reporter Tribunnews.com, Ashri Fadilla
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Tim penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung terus mendalami persoalan korupsi penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) di wilayah Kabupaten Kutai Barat. . melibatkan yang pertama. Anggota DPR, Ismail Thomas.
Kasus korupsi tersebut masih didalami dengan mengumpulkan berbagai alat bukti, termasuk keterangan saksi.
Pada Selasa (30/4/2024), tim penyidik memeriksa para saksi.
Kejaksaan Agung melalui Tim Penyidik Direktorat Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung sedang memeriksa saksi terkait kasus korupsi dugaan tindak pidana korupsi penerbitan izin usaha pertambangan di Kabupaten Kutai Barat. ,” kata Direktur Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana dalam keterangannya.
Saksi yang dimaksud hari ini adalah seorang broker berinisial BS.
Melalui analisis broker, tim peneliti menyelidiki penjualan saham terkait kasus tersebut.
“Saksi yang bersangkutan berinisial BS dan merupakan broker perdagangan saham terkait penyidikan kasus penipuan penerbitan Izin Usaha Pertambangan di Kabupaten Kutai Barat,” kata Ketut.
Tn. Jaksa Agung Puspenkum untuk saat ini belum mau membeberkan detail kasus yang sedang didalami.
Meski demikian, Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Dirdik Jampidsus) Kejaksaan Agung membenarkan kasus ini merupakan pengembangan dari kasus yang menjerat mantan anggota DPR Ismail Thomas.
Menurut Kuntadi, pihaknya menemukan tak hanya Ismail Thomas yang melakukan pemalsuan izin pertambangan PT Sendawar Jaya.
Sepertinya ada yang memalsukan hal lain juga. Ternyata bukan sekedar sinyal, kata Dirdik Jampidsus di Kejaksaan Agung, Kuntadi, Kamis (29/2/2024).
Mulai saat ini, tim peneliti terus mengerjakan apa yang terjadi.
Diantaranya adalah lokasi pertambangan yang izinnya dipalsukan oleh mantan wakil PDIP.
Nanti kita lihat, memang benar dia tidak bersalah, ada kasus hukum yang masih didalami, buktinya ada, makanya dilanjutkan, kata Kuntadi.
Ismail Thomas sendiri dalam kasus ini divonis satu tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Selain itu, ia juga divonis membayar denda Rp50 juta dan menjalani hukuman tiga bulan penjara.
Vonis yang dijatuhkan Majelis Hakim lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU), yakni 5 tahun penjara dan denda Rp200 juta dengan tambahan 6 bulan penjara.