TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Perekonomian Perumahan Rakyat (Tapera).
Dalam pasal 7 PP tentang Tapera, jenis pekerja yang wajib ikut serta antara lain pekerja atau pegawai swasta, tidak hanya ASN, pegawai BUMN, dan aparat TNI-Polri.
Dalam PP ini, besaran simpanan dana Tapera yang ditarik setiap bulannya sebesar 3 persen dari gaji atau upah pekerja. Setoran dana Tapera dibayarkan secara tanggung renteng oleh pemberi kerja yakni sebesar 0,5 persen dan pekerja sebesar 2,5 persen.
Menanggapi hal tersebut, para tenaga kesehatan Indonesia melalui Ketua APKSI (Gabungan Tenaga Kesehatan Seluruh Indonesia) Sepri Latifan menyatakan penolakannya terhadap Program Ekonomi Perumahan Rakyat (TAPERA) yang baru saja dilaksanakan oleh pemerintah.
Penolakan ini didasari oleh beberapa alasan utama yang dinilai merugikan tenaga kesehatan, terutama dalam perjuangannya melawan pandemi dan berbagai tantangan kesehatan lainnya. 1. Biaya keuangan lainnya
Sepri Latifan menegaskan, program TAPERA mengharuskan pemotongan sebagian gaji pekerja untuk ditabung sebagai tabungan perumahan.
“Dalam kondisi perekonomian yang sulit saat ini, pemotongan tersebut dianggap memberikan tambahan beban yang signifikan bagi para tenaga kesehatan yang sebagian besar sudah menghadapi tekanan finansial,” kata Sepri Latifan kepada wartawan, Kamis (30/5/2024). 2. Manfaat yang tidak jelas
Sepri mengatakan, banyak tenaga kesehatan yang merasa manfaat program TAPERA tidak jelas dan tidak sesuai dengan pemotongan gajinya.
Mereka bertanya-tanya apakah program ini benar-benar memberikan solusi perumahan yang layak dan terjangkau bagi mereka atau tidak. 3. Proses Administrasi yang Rumit
“Tenaga kesehatan mengeluhkan proses penyelenggaraan TAPERA yang dinilai berbelit-belit dan memakan waktu. Dalam situasi pandemi, nakes perlu fokus penuh pada tugas medisnya tanpa terjebak birokrasi tambahan,” ujarnya. 4. Tidak melibatkan dialog dengan pekerja
Petugas kesehatan merasa bahwa program ini dilaksanakan tanpa dialog yang memadai dengan pekerja yang terkena dampak. Partisipasi dan konsultasi yang lebih baik diperlukan agar kebijakan dapat ditanggapi dengan serius.
Oleh karena itu, berdasarkan alasan di atas, partai menolak keras program TAPERA yang melibatkan tenaga kesehatan. Standar gaji tenaga kesehatan masih jauh di bawah standar gaji tenaga kesehatan di negara tetangga.
Sepri Latifan mengatakan, “Selain itu, APKSI juga menyuarakan dan membela kesejahteraan gaji dan status tenaga kesehatan yang bukan ASN.