Hari Tanpa Tembakau Sedunia, Akademisi Ingatkan Pemerintah Lindungi Industri Rokok Nasional

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Setiap tanggal 31 Mei, Hari Tanpa Tembakau Sedunia diperingati di seluruh dunia. Tak terkecuali di Indonesia.

Rektor Universitas Jenderal Ahmad Yani (UNJANI) Cimahi, Prof. Hikmahanto Juwana meyakini tujuan Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS) pasti baik untuk hidup sehat tanpa tembakau.

“HTTS merupakan pengingat bagi mereka yang mengkonsumsi rokok. Namun konsumsi rokok tidak bisa dihilangkan dengan peringatan tentang HTTS,” kata Prof. Hikmahant dihubungi pada Jumat (31/5/2024).

Peringatan HTTPS menurut Prof. Hikmahant juga mengingatkan bagaimana dampaknya terhadap Industri Hasil Tembakau Nasional (IHT) yang mempekerjakan sekitar 5,5 juta tenaga kerja Indonesia dan beberapa tahun lalu penerimaan cukai hasil tembakau dan pajak pertambahan nilai (PPN) lebih dari Rp 350 triliun. hanya dalam satu hari.

“Jika konsumsi rokok di Indonesia masih tinggi dan industri tembakau ditutup, bisa dibayangkan berapa banyak tenaga kerja Indonesia yang akan kehilangan pekerjaan dan berapa pendapatan negara yang hilang. Tidak menutup kemungkinan industri tembakau di luar negeri akan merasakan manfaatnya.” , baik secara legal maupun ilegal”, kata Prof. Hikmahant

Menurutnya, produksi tembakau di Indonesia tidak hanya berdampak pada sektor kesehatan, namun juga sektor ekonomi, sosial, dan budaya. Jika produksi tembakau dihentikan, terdapat kekhawatiran besar bahwa Indonesia akan bergantung pada pasokan tembakau dari luar negeri, meskipun Indonesia memiliki sumber daya tembakau yang melimpah dan banyak perokok aktif di Indonesia.

Prof mengomentari topik ini. Hikmanto mengingatkan, IHT di Indonesia merupakan warisan generasi bangsa Indonesia, sehingga masyarakat tidak bisa lepas dari tembakau. Ia menegaskan, Indonesia punya kedaulatan termasuk pengaturan IHT.

“Politisi harus memahami betul tujuan mulia di balik HTTS jika pada akhirnya hanya akan mematikan industri tembakau di Indonesia. Jangan sampai pengambil kebijakan mematikan industri tembakau dalam negeri di tengah konsumsi rokok masyarakat Indonesia,” jelasnya.

Direktur Persatuan Pondok Pesantren dan Pembinaan Masyarakat (P3M), KH Sarmidi Husna menilai HTTS dinilai tidak tepat. Penyebabnya adalah kebiasaan mengonsumsi barang berbahan baku tembakau. Oleh karena itu, tidak perlu adanya pernyataan berupa penolakan terhadap produk ini.

“Merokok bisa dihentikan kapan saja, misalnya dalam keadaan perut kosong. Perokok bisa berpantang rokok selama 12 jam tanpa merasa ketagihan,” kata KH Sarmidi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *