TRIBUNNEWS.COM – Kuasa hukum Henry Yosodiningrat meminta Panglima Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menghentikan proses penyidikan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyant terkait kasus dugaan berita bohong atau juggling.
Polda Metro Jaya dilaporkan oleh dua orang bernama Hendra dan Bayu Setiawan.
Hasto diduga melakukan penghasutan dan menyebarkan berita bohong melalui dugaan penipuan pemilu 2024 di salah satu stasiun televisi swasta.
Usai laporan tersebut, Hasto sempat diperiksa penyidik polisi selama hampir tiga jam pada Selasa (4 April 2024).
“Saya meminta Kapolri menghentikan penyidikan dan tidak meningkatkannya ke tingkat penyidikan dugaan tindak pidana terkait pemanggilan dan pemeriksaan Hast Kristiyant.”
Hal ini untuk menjaga harkat dan martabat Polri dalam menegakkan hukum secara profesional dan adil agar tidak terkesan hanya menjadi alat pemerintah atau sekadar menjalankan ‘perintah tertentu’. , Rabu (6 Mei 2024).
Henry menilai tudingan terhadap Hast tidak berdasarkan landasan hukum, melainkan sarat muatan politik saja.
“Pemanggilan dan pemeriksaan sarat muatan politik dibandingkan persoalan hukum,” ujarnya.
Menurut Pak Henry, peristiwa yang dimaksud tidak mengandung unsur tindak pidana seperti yang dituduhkan.
Hasto sendiri diduga melakukan tindak pidana penghasutan pemberontakan dan/atau penyebaran informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memuat berita bohong dengan tujuan menimbulkan keresahan masyarakat, juncto Pasal 160 KUHP dan/atau UU No. terkait Pasal 28 ayat (3). . dengan Pasal 45A ayat (3) UU No. 1/2024 tentang ITE.
Dia menilai, tak ada satu pun kata atau tulisan Hasta yang mengandung hasutan.
“Dari seluruh isi wawancara yang saya perhatikan, dengan pengetahuan hukum yang biasa saya miliki, saya tidak menemukan satupun kata atau pasal Pak Hast yang memuat kalimat-kalimat yang menghasut orang untuk melakukan kejahatan atau menghasut orang untuk melakukan kejahatan. oleh seorang pelaku. Kekerasan terhadap otoritas publik atau menghasut orang “untuk tidak menaati atau tidak menaati ketentuan hukum atau perintah dari suatu jabatan yang diberikan oleh hukum,” jelas Henry.
Hal senada juga diungkapkan Henry soal tudingan menyebarkan berita bohong.
Henry melihat tidak ada unsur kesengajaan menyebarkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang diketahuinya mengandung informasi palsu.
Sebab menurut undang-undang yang dimaksud dengan “sengaja” adalah pelaku dengan sengaja dan sadar akan akibat yang ditimbulkan dari perbuatannya (dalam hal ini menimbulkan kegaduhan di masyarakat),” jelasnya.
Selain itu, menurut dia, istilah kelainan juga harus dibuktikan.
“Masih harus dibuktikan apakah kerusuhan tersebut disebabkan oleh informasi yang disampaikan oleh pelaku dalam hal ini Hasto Kristiyanto,” ujarnya. Masalah dengan duduk
Hasto diduga melontarkan pernyataan yang dinilai provokatif di salah satu media nasional.
Pernyataan saya tersebut dinilai sebagai bentuk hasutan yang berujung pada tindakan kriminal dan menimbulkan berita bohong yang kemudian menimbulkan kerusuhan, kata Hasto, Selasa.
Padahal, menurutnya, sebagai pengurus partai politik, hal itu merupakan bagian dari penyampaian suara.
“Partai politik mempunyai tugas untuk menginternalisasi aspirasi dan menyampaikan pandangannya, termasuk apa yang akan terjadi pada pemilu 2024.
Hasto menjelaskan: “Dan itu dibuktikan oleh para ahli, termasuk adanya perbedaan pendapat (dissenting opinion) dari 3 orang hakim MK, semua keterangan yang saya sampaikan menjadi dasar proses hukum yang dilakukan di MK.”
Apalagi, lanjut Hasto, pernyataannya merupakan produk jurnalistik karena diwawancarai oleh media nasional.
“Apa yang saya sampaikan mengenai produk jurnalistik yang diatur dalam UU Pers dan Kemerdekaan Pers merupakan bagian dari misi reformasi yang telah kita perjuangkan dengan keras oleh kami para mahasiswa,” jelas Hasto.
Hasto meyakini ada pihak yang memerintahkan atau memerintahkan di balik laporan tersebut terhadap dirinya.
(Tribunnews.com/Milani Resti/Galuh Widya Wardani/Abdi Ryanda Shakti)