TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Sepanjang Januari hingga Juni 2024, sebanyak 13.800 pekerja industri TPT dari 10 perusahaan dipecat atau diberhentikan (PHK).
Berikut 10 perusahaan tekstil: PT S. Dupantex di Jawa Tengah merumahkan sekitar 700 pekerja. PT Alenatex di Jawa Barat memberhentikan sekitar 700 pekerjanya. PT Kusumahadi Santosa di Jawa Tengah telah memberhentikan sekitar 500 pekerjanya. PT Kusumaptura Santosa di Jawa Tengah memiliki kurang lebih 400 karyawan. Spinning Mills PT Pamor di Jawa Tengah memberhentikan sekitar 700 pekerjanya. PT Sai Apparel di Jawa Tengah telah memberhentikan sekitar 8.000 pekerjanya. PT Sinar Panca Jaya memberhentikan sekitar 2.000 pekerjanya. PT Bitratex di Semarang mempunyai kurang lebih 400 karyawan. PT Johartex di Magelang memberhentikan sekitar 300 pekerjanya. PT Pulomas di Bandung memiliki kurang lebih 100 karyawan.
Baca Juga: Rupee Tak Berdaya, Terancam PHK Besar-besaran
Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPN) Ristadi mengatakan, PHK massal ini sebenarnya sudah dimulai pada tahun 2021 dan masih berlangsung.
“Sejak awal tahun 2021, entri kami kurang lebih 70.000. Ini hanya data KSPN saja. Banyak yang tidak melapor,” kata Ristadi, Rabu (19 Juni 2024).
Perusahaan yang memutuskan melakukan PHK, mulai dari skala kecil hingga besar, kata dia, mayoritas berada di Banten, Jawa Barat, dan Jawa Tengah.
Untuk perusahaan tekstil raksasa, Ristadi mengatakan daftarnya bisa dilihat dari beberapa emiten tekstil yang terdaftar.
Dia mengatakan, PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex dan PT Pan Brothers Tbk (PBRX) termasuk di antaranya.
“Iya, merekalah raksasa-raksasa yang sedang berjuang. Mereka semua berjuang untuk bertahan hidup, tapi sejauh ini banyak dari raksasa-raksasa ini yang efektif mem-PHK puluhan ribu pekerjanya. Sekarang masih puluhan ribu,” kata Ristadi. .
Dia mengatakan, perusahaan TPT akan tetap memberikan pemotongan gaji pekerjanya secara bertahap, hal ini tidak lepas dari terbatasnya kemampuan perusahaan dalam membayar pesangon.
Ia meyakini gelombang PHK ini akan terus berlanjut hingga September.
“Iya, sampai akhir September kita lihat apakah masa sulit ini bisa kita lewati. Kalau tidak, maka perusahaan tekstil raksasa itu akan hilang,” kata Ristadi.
Ia kemudian membeberkan alasan mengapa pabrik-pabrik tersebut ditutup. Untuk pabrik yang memiliki pasar dalam negeri, pesanan yang diterimanya dari pasar tekstil seperti pasar Tanah Abang mengalami penurunan.
Yang patut disalahkan adalah tekstil dan sepatu impor yang lebih murah telah membanjiri pasar Tanah Abang.
Konsumen pun dikatakan lebih menyukai produk tersebut.
Di saat yang sama, pabrik-pabrik yang memiliki pasar luar negeri, atau dengan kata lain mengekspor produknya, juga kesulitan mendapatkan pesanan dari luar. Perusahaan-perusahaan ini juga kesulitan mencari pasar baru. Melemahnya rupee membuat para pebisnis pusing
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani mengatakan melemahnya nilai tukar rupiah ke level Rp 16.400 terhadap dolar AS sangat tidak menguntungkan bagi dunia usaha.
“Depresiasi rupee secara umum melemahkan produktivitas dan daya saing suatu industri. Sebab, dampak depresiasi rupee terhadap berbagai industri relatif sama sehingga menambah tekanan terhadap produksi yang ada,” kata Shinta.
Menurutnya, perusahaan yang memiliki kemampuan finansial terbatas atau memiliki pasar yang “rapuh” atau dalam artian pangsa pasarnya akan berkurang secara signifikan atau hilang sama sekali akibat persaingan di pasar akan berisiko jika harga produk manufakturnya. barang meningkat). PHK. , mengurangi kapasitas produksi dan bahkan menutup usaha.
“Jadi PHK sangat terbuka. Namun kami tidak memperkirakan PHK akan terjadi secara masif dalam jangka waktu dekat, bisa saja PHK justru dilakukan secara bertahap seiring dengan melemahnya kinerja korporasi akibat depresiasi perusahaan. rupee,” kata Shinta.
Tentu saja, industri yang paling terancam oleh PHK adalah industri yang sudah kesulitan bertahan di pasar, terutama industri padat karya dan berorientasi ekspor.
“Di satu sisi, permintaan pasar mereka tidak banyak akibat melemahnya pertumbuhan ekonomi global,” jelas Shinta.
Faktanya, biaya operasional atau beban operasional terus meningkat seiring dengan kenaikan upah, bunga, dan biaya operasional lainnya. Menurut Shintu, devaluasi rupee semakin menambah beban operasional dan menyebabkan penurunan daya saing industri di pasar ekspor.
“Untuk industri lain, yang juga sensitif terhadap dampak negatif terhadap produktivitas adalah industri manufaktur yang sebagian besar bahan baku atau bahan penolongnya diimpor, seperti makanan dan minuman, otomotif, elektronik, dan lain-lain.” ujar Shinta.
Shinta mengatakan kemungkinan terjadinya PHK pada industri-industri tersebut jauh lebih kecil dibandingkan industri berorientasi ekspor dan padat karya karena basis pasar industri-industri tersebut umumnya adalah pasar dalam negeri yang pertumbuhannya relatif stabil.
“Walaupun depresiasi nilai tukar rupee akan terus berlanjut dan berdampak pada inflasi kebutuhan pokok masyarakat, tentunya potensi pasarnya juga akan semakin berkurang, sehingga sektor manufaktur dalam negeri yang menyasar pasar dalam negeri pun akan mampu menopang tenaga kerja yang ada dalam negeri. merosot,” tambahnya. dia berkata . dia berkata. DĽR meminta pemerintah untuk mengambil tindakan
Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Said Abdullah meminta pemerintah mengambil tindakan seiring nilai tukar rupee terhadap dolar AS yang terus melemah hingga kisaran Rp 16.400.
Said mengatakan dibandingkan tahun lalu, posisi rupee justru minus 5,25 persen.
“Kecenderungan stagnannya rupee disebabkan oleh kondisi eksternal dan internal. Belakangan ini investor mundur, terutama yang berperan sebagai pembeli Surat Berharga Negara (SBN),” kata Said.
Menurut dia, investor asing sudah menerbitkan SBN sejak pandemi Covid-19. Pada 2019, pangsa SBN asing sebesar 38,5 persen, setahun kemudian hanya 25,1 persen, dan pada akhir Mei 2024 berada di level 14 persen.
“Kepergian investor asing ke SBN juga menyebabkan berkurangnya kepemilikan USD,” kata Said.
Alasan lainnya, kata Said, harga ekspor utama Indonesia seperti batu bara dan CPO atau minyak sawit pada tahun 2023 dan 2024 tidak akan setinggi tahun 2022.
“Dari pertengahan tahun 2023 hingga saat ini, harga batu bara hanya berkisar $120/ton. Padahal, sejak awal kuartal II-2022 hingga kuartal I-2023, harga batu bara sudah berada di angka $400/ton. ton,” katanya.
Di sisi lain, harga CPO tidak sama dengan tahun 2022 yakni 4.200-4.400 Ringgit/ton. Sementara kini hanya 3.800-3.900 Ringgit/ton.
Said menjelaskan, penurunan dua komoditas utama Indonesia tersebut belum mendongkrak devisa negara.
Ia juga mengatakan, pemerintah telah membuka keran impor sehingga menyebabkan banyak industri dalam negeri seperti industri tekstil yang tutup dan melakukan PHK.
Dari luar, perekonomian AS perlahan pulih dari badai inflasi tahun 2022. Ia mengatakan penguatan perekonomian AS memaksa investor meninggalkan Indonesia sehingga mengakibatkan hilangnya dana devisa baru.
Akibat situasi di atas, defisit neraca perdagangan Indonesia pada tahun lalu saja mencapai 1,6 miliar dolar AS. Bahkan, defisit perdagangan pangan Indonesia akan mencapai 5,3 miliar dolar AS pada tahun 2023, yang merupakan angka tertinggi selama keberadaan republik ini. ” kata Sağdi.
Said juga mengingatkan pemerintah agar tidak berpuas diri dengan rendahnya angka inflasi sebesar 3 persen.
Inflasi yang rendah tidak bisa dipahami sebagai pergerakan harga-harga kebutuhan pokok masyarakat.
Menurut dia, konsumsi rumah tangga pada tahun 2023 dan 2024 tidak akan setinggi tahun 2022 jika dibandingkan dengan banyak data lainnya, seperti keputusan PHK yang masih tertunda.
“Survei BI tingkat penjualan pakaian dari masa pandemi pada tahun 2020 hingga saat ini masih belum pulih, masih berada di level 51,8-57 poin, sedangkan pada periode sebelum pandemi berada di kisaran 150-240. Data ini menunjukkan belanja masyarakat kurang baik,” jelas Said.
Oleh karena itu, Said meminta seluruh elemen bangsa untuk bersatu mengatasi situasi ini.
“Pemerintah harus bisa meningkatkan kepercayaan masyarakat. Ucapan dan tindakan pemerintah dan pemimpin nasional harus menjadi contoh untuk membangun kepercayaan masyarakat. Sungguh menyedihkan jika para pemimpin dan elit politik menghadapi situasi sulit semakin banyak memantau perenang,” ujarnya. .
Ia berharap para politisi berkomunikasi seobjektif mungkin tanpa memberikan kesan bahwa humas di Indonesia baik-baik saja.
Dari sisi teknokratis, Said meminta pemerintah memastikan pengelolaan devisa dari ekspor sumber daya alam berjalan maksimal untuk memperkuat cadangan devisa.
Kemudian melaksanakan reformasi di sektor keuangan agar lebih inklusif dan mendorong pertumbuhan aliran modal asing.
Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa arus masuk investasi portofolio kembali positif pada kuartal kedua tahun 2024 (sampai 30 Mei 2024) dengan basis bersih sebesar $3,3 miliar.
Artinya pemerintah dan BI harus terus menjaga peluang ini, kata Said.
Said juga meminta pemerintah memperketat kebijakan impor, terutama pada sektor-sektor yang melemahkan devisa negara dan merugikan sektor industri dan tenaga kerja.
“Impor harus ditargetkan sebagai strategi jangka pendek untuk mengisi kekurangan pangan dan energi yang sedang berlangsung,” katanya.
Menurut dia, pemerintah harus memastikan SBN menarik investor asing dengan imbal hasil yang moderat sehingga tidak menjadi beban bunga.
“Pemerintah juga harus memastikan SBN ada di pihak pembeli karena SBN menjadi sumber pendanaan penting bagi kelangsungan APBN,” kata Said.
Menurutnya, berbagai kebijakan BI yang mengurangi USD sebagai pembayaran internasional dengan banyak menggunakan mata uang lokal belum membuahkan hasil.
Untuk itu, kata dia, BI perlu memastikan kebijakan tersebut dapat diandalkan agar ketergantungan terhadap USD perlahan berkurang.
“Pemerintah dan Bank Indonesia harus mengantisipasi kebutuhan likuiditas valuta asing untuk memenuhi kebutuhan utang pemerintah, BUMN, dan swasta dengan meningkatkan kebijakan lindung nilai agar tidak semakin membebani sektor keuangan,” tambah Said.