TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Anggota Komisi 6 DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan yang juga Wakil Ketua Asosiasi Kongres dan Konferensi Indonesia (INCCA), Evita Nursanti menolak rencana pengumpulan sumbangan dana pariwisata melalui tiket pesawat. Dengan mendirikan Yayasan Organisasi Pariwisata Berkelanjutan atau Indonesia Tourism Foundation.
Upaya-upaya tersebut kini diyakini justru akan membebani maskapai penerbangan atau industri, wisatawan, dan bahkan dapat menghancurkan pariwisata itu sendiri.
Rencana tersebut (memungut pajak tiket pesawat) saat ini belum bisa dilanjutkan. “Waktunya tidak tepat dan ini bukan waktunya untuk memperkenalkan biaya baru yang akan menjadi beban berat bagi industri penerbangan, wisatawan atau masyarakat, dan pariwisata.” Jadi tolong berkreasi: ‘Jangan ambil sedikit dan ambil dari masyarakat’, kata Evita Norsanti di Jakarta, Kamis (25 April 2024).
Evita mengatakan, jika tarif ini disetujui, maka tidak hanya tiket pesawat saja yang akan naik, namun juga akan diberlakukan tarif ganda yang akan semakin memberatkan wisatawan, apalagi jika berbicara wisatawan mancanegara.
Sebab sebelumnya, mulai 14 Februari 2024, Bali memberlakukan tarif wisatawan asing (PWA) yang mengenakan Rp 150.000 untuk setiap wisatawan asing yang berkunjung ke Bali. Belum lagi biaya yang harus dikeluarkan untuk Visa on Arrival (VoA) sebesar Rp 500k setelah visa waiver dibatalkan.
Selain PWA dan VoA, terdapat banyak jenis biaya di berbagai destinasi pariwisata khususnya di setiap lokasi pariwisata, di antaranya adalah penetapan pajak dan retribusi yang menjadi tanggung jawab daerah.
Menurut Evita, kondisi seperti itu menyebabkan semakin sedikitnya wisatawan yang datang ke Indonesia. Sebaliknya, di negara tetangga yang bersaing dengan Indonesia, wisatawan menikmati berbagai fasilitas, termasuk bebas visa.
Saya melihat di Bali akan lebih sulit lagi karena akan ada double fee atau biaya untuk wisatawan, yaitu biaya untuk wisatawan asing dan biaya ini. Ini sama sekali tidak bagus untuk citra Bali. “Saya khawatir pariwisata kita semakin tertinggal dibandingkan negara tetangga kita,” kata Oita.
Industri pariwisata Indonesia semakin tertinggal, mencerminkan kegagalan Indonesia dalam menarik lebih banyak wisatawan dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand.
Data menunjukkan, hanya 11,68 juta wisman yang berkunjung ke Indonesia pada 2023, jauh lebih sedikit dibandingkan 20,14 juta wisman asal Malaysia (28,9 juta wisman) dan Thailand 28 juta wisman.
“Jadi saya sangat khawatir pelecehan semacam ini benar-benar akan mematikan pariwisata kita,” katanya.
Lebih lanjut, lanjut Evita, jika pungutan biaya tersebut dipercayakan kepada maskapai penerbangan atau perusahaan angkutan lain seperti kapal feri atau bus.
Tujuan pembentukan dana pariwisata berkelanjutan atau dana dukungan pariwisata belum jelas.
Jika tujuannya untuk mendukung kelestarian lingkungan, maka fokusnya harus pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Evita mengatakan, dulu biaya tersebut digunakan untuk mendukung periklanan dan pemasaran pariwisata. Namun, akhirnya dibubarkan karena banyak faktor, termasuk buruknya akuntabilitas dan efisiensi.
Nah, kalau mau ngotot agar dana ini disalurkan, maka saran saya tolong diperjelas dulu apa tujuannya. Jadi sumbernya jangan biaya gratis di industri, tapi langsung di APBN atau APBD. Ini adalah akuntabilitas. Ini menjadi jelas.”