TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Produsen Tembakau Indonesia (DPN APTI), Agus Parmoji menilai pemerintah dalam merumuskan arah kebijakan cukai semakin asal-asalan dan tidak memperhatikan aspek kebijakan cukai. aspek kelangsungan hidup petani tembakau.
Diketahui, pemerintah diwakili Menteri Keuangan Sri Mulani memaparkan Pengenalan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Kerangka Ekonomi Makro 2025 (KEM PPKF) pada rapat paripurna DPR RI pada 20 Mei 2024.
Dalam dokumen ini, pemerintah merumuskan arah kebijakan cukai, antara lain: tarif tahun jamak; kenaikan tarif moderat; penyederhanaan tarif cukai; dan menghilangkan perbedaan tarif antar tingkatan.
“Arah ke arah cukai mendekatkan ujung dunia kepada para petani tembakau. Oleh karena itu, niat pemerintah untuk mencekik nafas para petani tembakau ketika pilar-pilar pendidikan di negeri ini semakin nyata,” tegas Agus Fermoji. pada Selasa (28/5/2024).
Agus Fermoji mengatakan kenaikan cukai sebesar 10% yang berlaku pada tahun 2023 dan 2024 akan menjadi pukulan telak bagi petani tembakau. Pasalnya, selama lima tahun berturut-turut kondisi petani tembakau kurang baik bahkan semakin buruk dengan menurunnya hasil panen tembakau, baik dari segi harga maupun lambatnya penyerapan.
Menurut Agus Fermoji, kenaikan cukai cukup berlebihan dalam 5 tahun terakhir. Tahun 2020 tarif cukai naik 23%, tahun 2021 naik 12,5%, tahun 2022 naik 12%, tahun 2023 dan 2024 naik 10%.
“Kenaikan pajak yang berlebihan dalam 5 tahun terakhir membawa petani tembakau di ambang kematian,” jelasnya.
Bagi petani tembakau, salah satu krisis perekonomian dalam 5 tahun terakhir adalah dampak kenaikan cukai yang sangat tinggi. Tingginya tarif cukai hasil tembakau (CHT) akan memaksa pabrik mengurangi produksinya, yang secara tidak langsung membatasi pembelian bahan baku. Faktanya, 95 persen tembakau yang dihasilkan petani digunakan sebagai bahan baku rokok.
“Pembelian tembakau industri oleh petani terus menurun sejak tahun 2020. Sebab, tarif cukai terus naik dan pasar rokok legal tergerus oleh rokok ilegal. Penurunan pembelian setiap tahun berkisar 20-30 persen,” kata Agus Fermoji.
Agus Fermoji menambahkan, dengan kenaikan harga, penyederhanaan tarif cukai, dan semakin besarnya diferensiasi tarif antar tingkatan, maka harga rokok akan semakin mahal sehingga perokok berpotensi beralih ke rokok yang lebih murah dan harga termurah. hanya bisa dicapai dengan rokok terlarang.
Penyederhanaan (simplifikasi) tarif cukai dan pendalaman diferensiasi tarif antar tingkatan juga menimbulkan risiko harga rokok legal semakin tidak terjangkau, dan perokok akan beralih ke rokok ilegal, jelasnya.
Agus Fermoji menegaskan, penyederhanaan tersebut jelas akan menguntungkan perusahaan tembakau dengan merek internasional, yang produknya hanya menggunakan sedikit tembakau lokal yang dikumpulkan oleh petani. Jika diterapkan, hal ini bisa menjadi kiamat ekonomi bagi petani tembakau.
“Kami menolak arah kebijakan penyederhanaan cukai, dan perkiraan disproporsionalitas tarif antar tingkatan akan berdampak negatif bagi perusahaan tembakau yang menjual produk Kartek. Struktur tarif cukai yang ada saat ini harus dipertahankan,” ujarnya.
Petani tembakau, kata Agus, juga mempunyai pengaruh besar terhadap situasi tersebut. Dibandingkan dengan industri rokok legal, produsen rokok ilegal tidak memiliki pola yang jelas dalam membeli tembakau. Mulai dari standar harga, waktu, dan kuantitas yang pada akhirnya hanya merugikan petani dan model penyerapan bahan bakunya pun tidak jelas.
Ketika rokok ilegal menjadi populer di pasaran, maka akan menyebabkan tergerusnya produk rokok resmi, yang akan mengurangi siklus produksi rokok resmi, dan otomatis produsen juga akan mengurangi pembelian bahan baku, dalam hal ini tembakau.
Sederhananya, ketika harga produk rokok resmi semakin mahal maka penjualannya akan berkurang karena rokok terlarang, dampak negatifnya adalah pembelian bahan baku juga akan berkurang dan petani akan rugi karenanya, ujarnya.
Penurunan pembelian tembakau ini, lanjut Agus, turut berkontribusi pada rendahnya semangat petani untuk menanam tembakau. Sebab kebijakan paling ampuh yang bisa mematikan atau menghidupkan kembali perekonomian petani tembakau adalah kebijakan mengenai struktur cukai.
“Kebijakan cukai semakin ketat sehingga kiamat bagi petani tembakau semakin dekat,” tegasnya.
Agos juga melihat dari sisi makro, situasi saat ini tidak menentu bahkan penuh ketidakpastian akibat resesi global. Situasi ini tentu saja menimbulkan ketidakstabilan daya beli, termasuk produk tembakau.
“Para pemasar tembakau masih belum benar-benar bisa pulih dari krisis akibat epidemi. Beban krisis dan resesi yang sudah berat semakin diperparah dengan arah kebijakan cukai tahun 2025. Jangan sampai lahan subur tanaman kearifan lokal hanya menjadi cerita dan kenangan,” ujarnya.
DPN APTI berharap di akhir masa jabatan Presiden RI Jokowi mampu memberikan “hadiah emas” berupa kebijakan yang melindungi ekosistem petani tembakau di seluruh Indonesia sehingga dapat menjaga ekosistem petani tembakau di seluruh Indonesia. menjadi pedoman bagi kepemimpinan berikutnya.
Harapan terakhir para petani tembakau adalah Pak Jokowi sebagai presiden rakyat. Semoga beliau mempunyai itikad baik dalam membuat kebijakan yang dapat menjaga keberlangsungan perekonomian para petani tembakau, pungkas Agus.