Laporan reporter Tribunnevs.com Fransiskus Adhijuda
TRIBUNNEVS.COM, Jakarta – Dosen kriminologi FISIP Universitas Indonesia (UI) dr. Nurudin Lazuardi menggambarkan penyerangan yang menewaskan seorang pengusaha rental mobil berinisial BH di Sukolil, Fathi, Jawa Tengah, merupakan serangan langsung. Ketidakpuasan masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan penegakan hukum.
Menurut Nurudin, tindak kekerasan yang terjadi dalam proses main hakim sendiri bisa terjadi karena berbagai sebab.
“Ada banyak variabel yang melekat dalam proses main hakim sendiri, salah satunya adalah ketidakpuasan terhadap tekanan keadaan, baik ekonomi, politik, atau hukum.” “Yang kita lihat di Sucolil adalah mereka acuh tak acuh terhadap hukum dan tidak puas lagi dengan keadaan saat ini,” kata Nuruddin kepada wartawan, Rabu (6/12/2024).
Penganiayaan terhadap pemilik rumah bermula saat tiga orang, antara lain BH (pemilik rental mobil), SH (28), KB (54), dan AS (37), sedang mencari mobil sewaan yang hilang.
Berdasarkan penelusuran GPS yang mereka lakukan, kendaraan tersebut berada di kawasan Sukolil. Mereka kemudian menuju lokasi untuk mencari kendaraan tersebut dan pada Kamis (6 Juni 2024) sekitar pukul 13.00 VIB tiba di Sukolilo dan menemukan kendaraan yang mereka cari.
Penyewa mencoba mengambil mobil tersebut dengan kunci cadangan. Sayangnya, warga yang lewat mengira BiH dan tiga orang lainnya adalah sekelompok pencuri.
Warga berteriak hingga massa datang. Akibatnya, keempat pria tersebut dihajar massa hingga mukanya membiru. Selain itu, perusuh membakar habis mobil yang ditumpangi empat orang dari Jakarta menuju pesta.
Nurudin juga menyoroti lambannya polisi dan pemerintah dalam membenahi kawasan Sukolilo yang dikenal sebagai ‘sarang kejahatan’.
“Mengutip sosiolog Jerman Johann Goltung, saya berani mengatakan bahwa hal ini sudah memasuki konsep kekerasan budaya.” Lihat video TikTok yang katanya, ‘Ini Pak Sukolil, jangan main-main,” jelasnya.
Menurut Noorudin, jika Sucolilo merupakan desa persatuan, hal itu tidak terjadi secara tiba-tiba.
“Katanya Sucolilo kota geng, tapi itu harus melalui proses tertentu,” jelasnya.
Nuruddin mengatakan, perlu ada upaya untuk memperbaiki stempel atau “tanda” yang menempel di kawasan Sucolilo sebagai “sarang kriminalitas”.
“Segelnya macet karena belum ada upaya untuk memperbaiki atau menguranginya agar kawasan menjadi lebih baik,” jelasnya.
Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah suatu kawasan yang dikenal sebagai tempat nongkrong kriminal telah diabaikan.
“Adalah wewenang aparat penegak hukum dan pejabat terkait lainnya untuk mendiskusikan apa yang harus dilakukan aparat penegak hukum, apa yang harus dilakukan pemerintah, dan pencegahannya,” kata Perdana Menteri Nooruddin.
Selain itu, Nooruddin juga menyoroti fenomena media sosial yang menimbulkan rasa kehati-hatian di masyarakat.
“Jika menonton video aksi kekerasan yang dilakukan, sekilas terlihat ada rasa tidak bersalah saat mereka melakukannya. “Mereka bekerja dengan penuh semangat karena mereka bekerja dengan penuh semangat, mereka bisa terlihat tidak bersalah atau bahkan memaknainya sebagai kebaikan atas kejahatan yang dilakukannya,” jelasnya.
Di era media baru, lanjut Nurudin, setiap orang mempunyai akses terhadap tontonan kekerasan.
“Yang menonjol kemarin adalah Mario Dundee, tindakan pelecehan anak.” Belum lagi video kekerasan lainnya. Dan seiring berjalannya waktu, bermunculan peniru, baik individu maupun kelompok,” ujarnya.
Nurudin menyimpulkan, “Peristiwa di Sucolil adalah contoh bagaimana ini bukan lagi kekerasan langsung, tapi sudah menjadi kekerasan kultural, budaya.”