TRIBUNNEWS.COM – Kritik pemerintah terhadap kehadiran Starlink di Indonesia terus berlanjut.
Pengamat Telekomunikasi STEI ITB Agung Harsoyo mengatakan banyak investasi yang dilakukan di sektor telekomunikasi, seperti operator seluler, perusahaan telekomunikasi untuk memperluas jaringan serat optik, membangun menara telekomunikasi, dan mendirikan pabrik peralatan telekomunikasi.
“Jumlah investasinya lebih tinggi dibandingkan investasi Starlink di Indonesia. Benarkah pemerintah ingin investasi ratusan miliar lari ke negara lain karena mengharapkan investasi Starlink hanya Rp 30 miliar?
Nilai investasi Starlink tidak sebanding jika perusahaan telekomunikasi tersebut mati atau investor telekomunikasi meninggalkan Indonesia. “Menurut saya, ini bukan prestasi yang patut kita banggakan,” kata Agung dalam siaran persnya, Rabu (19/6/2024).
Namun tiba-tiba Starlink dengan investasi hanya Rp 30 miliar dan tiga karyawan menawarkan layanan yang sangat murah.
Pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan yang menyalahkan operator telekomunikasi nasional dinilai tidak masuk akal.
Menurutnya, sebagai pejabat publik yang bertanggung jawab di bidang investasi, seharusnya tidak hanya berpikir untuk menarik investasi baru ke Indonesia.
Padahal, tugas utama Menteri Koordinator Kelautan dan Perikanan adalah memastikan iklim investasi yang sesuai sehingga nilai investasi investor Indonesia meningkat.
Menurut Komisioner BRTI 2018-2021, perusahaan telekomunikasi nasional tidak menentang perusahaan Elon Musk dan siap bersaing dengannya.
Sebagai Menteri Koordinator Kelautan dan Perikanan, Luhut harusnya bisa melihat industri ini secara jernih dan bijak. Saat ini perusahaan telekomunikasi Indonesia sedang tidak sehat.
Sebab, mereka masih menghadapi beban regulasi yang sangat tinggi. Saat ini, biaya regulasi di industri telekomunikasi lebih dari 15 persen. Padahal ambang batas kesehatannya di bawah 8%.
“Kalau Luhut ingin operator telekomunikasi bisa bersaing, industrinya harus sehat dulu. Asosiasi Telekomunikasi sudah merancang skema dan program agar industrinya sehat.”
Namun, pemerintah belum mendapat respons positif. “Dengan amanah yang diberikan saat ini, Luhut harus membantu pemulihan industri dengan mengurangi beban regulasi yang berat,” kata Agung.
Agung mengatakan Starlink saat ini hanya memiliki biaya regulasi yang sangat rendah.
Cominfo hanya menggunakan BHP untuk lisensi stasiun radio satelit (ISR) untuk Starlink.
Besaran BHP ISR yang dibebankan Kominfo kepada Starlink juga dihitung hanya 1 unit satelit dengan nilai maksimal Rp 2 miliar per tahun.
Padahal ada lebih dari 200 satelit Starlink yang mengudara di Indonesia. BHP izin pita frekuensi radio (IPFR) yang disetorkan operator seluler ke kas negara pada tahun 2023 mencapai Rp 21,1 miliar.
Dengan kewenangan Luhut, Agung mengatakan Starlink mungkin bergantung pada BHP tergantung jumlah satelit yang disiarkannya di Indonesia.
Pendapat Agung bukannya tidak berdasar. Sebab saat ini operator satelit nasional dikenakan BHP ISR berdasarkan jumlah satelit yang dimilikinya.
Jika operator memiliki 2 satelit, ia harus membayar BHP ISR yang sama. Oleh karena itu, perubahan perhitungan BHP ISR Starlink nantinya dinilai Agung mampu meningkatkan PNBP negara dan menciptakan lingkungan persaingan usaha yang kompetitif.
Perubahan cara perhitungan berdasarkan pancaran satelit Starlink ini serupa dengan pemungutan PNBP pemerintah untuk sektor angkutan udara berdasarkan jumlah pesawat yang melewati Indonesia.
Tidak menurut maskapai. Jika dihitung dengan metode BHP ISR untuk setiap satelit yang dioperasikan di Indonesia, maka kontribusi Starlink terhadap PNBP sektor telekomunikasi sangat besar.
“Kalau nanti langsung menggelar jaringan seluler, pemerintah bisa menggunakan BHP Starlink dengan IPFR sebagai operator selulernya. Saya yakin Luhut dengan kekuatan yang dimilikinya mampu menetapkan aturan NGSO (No Station) yang tepat.”
“Pembuatan regulasi NGSO ini sejalan dengan visi dan misi Presiden Jokowi dan Luhut yang ingin investasi Starlink di Indonesia dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap pendapatan negara,” kata Agung.
Selain beban regulasi, sulitnya akses akibat mahalnya biaya penggelaran jaringan serat optik menjadi permasalahan penyediaan layanan Internet di Indonesia yang harus diperhatikan Luhut.
Agung mengatakan, kondisi geografis Indonesia yang kepulauan dan pegunungan membuat biaya penggelaran serat optik di Indonesia menjadi mahal.
“Untuk menghindari penyediaan jaringan Internet palsu dan tumpang tindih di Indonesia, Luhut sebaiknya memposisikan Starlink sebagai penyedia akses bagi operator telekomunikasi yang ingin memberikan layanan di wilayah yang sulit dijangkau.
Starlink diposisikan sebagai penyedia backbone yang nantinya akan digunakan oleh ISP perusahaan yang belum memiliki fiber. “Saya kira ini merupakan solusi yang bermanfaat bagi perusahaan dan industri telekomunikasi,” jelas Agung.