TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Isu perdagangan karbon semakin ramai diperbincangkan belakangan ini.
Pasalnya, Indonesia mempunyai peluang besar untuk memanfaatkan perdagangan karbon dioksida ini dengan luasnya hutan yang dimilikinya.
Berdasarkan penelitian, data Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi menunjukkan bahwa Indonesia memiliki 125,9 juta hektar hutan hujan tropis yang mampu menyerap 25,18 miliar ton emisi karbon dioksida.
Kemudian hutan mangrove mencapai luas 3,31 juta hektar yang mampu menyerap emisi karbon dioksida sekitar 33 miliar karbon dan lahan gambut dengan luas 7,5 juta hektar mampu menyerap emisi karbon dioksida mencapai sekitar 55 miliar ton.
Total emisi karbon dioksida yang mampu diserap Indonesia sekitar 113,18 gigaton.
Dan jika pemerintah Indonesia bisa menjual kredit karbon dengan harga USD 5 di pasar karbon, maka potensi pendapatan Indonesia akan mencapai USD 565,9 miliar atau setara Rp 8.000 triliun.
Mengenai masalah ini, Senator Papua Barat, Dr Filep Wamafma, mengatakan bahwa peluang perdagangan karbon harus diikuti dengan peraturan yang tepat, terutama jika menyangkut otoritas daerah.
Misalnya saja Provinsi Papua Barat sendiri ketika masih digabungkan dengan Papua Barat Daya yang luas wilayahnya sekitar 9.730.550 Ha, mempunyai luas hutan sebesar 8.810.248 Ha (89,88 persen) dan luas non hutan sebesar 991.890 ( 10,20) persen), sedangkan hutan rawa seluas 746.924 ha (7,62 persen).
Analisis peta tutupan lahan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 1990-2017 menunjukkan bahwa luas hutan rawa di Provinsi Papua Barat pada tahun 1990 adalah 748.317 ha, terdiri dari hutan rawa primer (HRP) seluas 688.054 ha dan hutan rawa sekunder (HRS) seluas 60.263 ha,” kata Senator Filep, Jumat (10/5/2024).
Dari analisis hutan rawa saja, katanya, terlihat cadangan karbon hutan rawa di Provinsi Papua Barat berdasarkan faktor emisi GRK selama 27 tahun (1997-2017) adalah sebesar 801.463.291 ton C yang terdiri dari 92% HRP dan 8% TIMMAR.
“Di sinilah potensi perdagangan karbon menjadi lebih nyata,” kata Senator Filep.
Ia juga menyebutkan sejumlah landasan hukum terkait perdagangan karbon untuk menurunkan emisi, yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 Pengesahan Protokol Kyoto pada Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change). Amandemen) (UU Nomor 17 Tahun 2004); Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Pengawasan Keuangan terakhir diubah dengan Undang-undang No. 4 Tahun 2023 tentang Pembangunan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU OJK);
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Perjanjian Paris ke Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (Paris Agreement on the United Nations Framework Convention on Climate Change) (UU No. 16/2016).
Sejak Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pembangunan dan Penguatan Sektor Keuangan (UUP2SK); Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penerapan Nilai Keekonomian Batubara untuk Mencapai Target Kontribusi Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional (Perpres Nomor 98 Tahun 2021).
Termasuk Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 16 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penerapan Nilai Keekonomian Batubara Subsektor Pembangkitan Tenaga Listrik (Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 16 Tahun 2022); Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 21 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penerapan Nilai Keekonomian Batubara (Permen LHK No. 21/2022).
Ketika Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 7 Tahun 2023 tentang Tata Cara Perdagangan Karbon Dioksida di Sektor Kehutanan (Permen LHK No. 7/2023); dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 14 Tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon Melalui Pertukaran Karbon (POJK No. 14/2023).
“Dalam perdagangan karbon, emisi karbon yang dapat diperdagangkan adalah karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dinitrogen oksida (N2O), hidrofluorokarbon (HFC), perfluorokarbon (PFC) dan sulfur heksafluorida (SF6).
“Dari Peraturan Menteri Nomor 21 Tahun 2022 diketahui pelaku perdagangan karbon terdiri dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, pelaku usaha/perusahaan dan masyarakat,” ujarnya.
“Indonesia telah menghasilkan Bali Action Plan pada tahun 2007. Namun Bali Action Plan ini tidak menyebutkan komitmen dan besaran kompensasi untuk kawasan yang memiliki hutan luas.”
“Rencana Aksi Bali menghasilkan pembentukan Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI] yang pada tahun 2015 dibubarkan oleh Presiden Jokowi dan digabungkan dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.”
“Kemudian pemerintah daerah, seperti Other Use Authority Parties (APLs), bisa melaksanakan perdagangan karbon, namun kerja sama hanya bisa dilakukan melalui pemerintah pusat.”
Sedangkan pelaku usaha yang melakukan perdagangan karbon wajib mendaftarkan produksi emisi dan penurunan emisinya pada Sistem Registrasi Nasional (SRN) di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, tambah Filep.
Bagaimana dengan masyarakat?
Doktor Hukum alumnus Unhas Makassar ini mengatakan, masyarakat sebagai komunitas bisa melakukan perdagangan karbon.
Contoh nyata dilakukan oleh masyarakat desa di sekitar hutan lindung Bujang Raba di Jambi.
“Mereka menjual jasa penyerapan karbon hutan desa kepada perusahaan asing melalui pertukaran karbon internasional. Sehubungan dengan itu, berdasarkan peta jalan perdagangan karbon sektor kehutanan berdasarkan keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor SK.1027/MENLHK/PHL/ KUM.1/9″/2023 tanggal 22 September 2023, masyarakat adat yang telah memiliki izin hutan adat berhak mendapatkan manfaat dari pengurangan emisi gas rumah kaca melalui penjualan karbon dioksida,” ujarnya.
Catatan di atas memberi ruang lebih luas bagi pemerintah pusat untuk menetapkan aturan mengenai sistem bagi hasil perdagangan karbon jika mekanismenya dilakukan oleh daerah pemilik hutan. Pada saat yang sama, pemerintah daerah juga harus mendorong penguatan fungsi masyarakat adat. dalam perdagangan karbon,” tambahnya.
Senator asal Papua Barat itu kemudian merujuk pada Pasal 17 Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 7 Tahun 2023 menyatakan bahwa: (1) pungutan karbon dari sektor kehutanan dilaksanakan dalam bentuk pungutan negara lainnya; (2) Biaya negara lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari pemanfaatan hutan untuk kegiatan penyerapan karbon dan/atau penyimpanan karbon.
Pasal tersebut menyebutkan adanya penyaluran dengan menggunakan mekanisme penerimaan negara bebas pajak.
“Bagi Daerah Otonomi Khusus (Otsus), tentunya mekanisme bagi hasil perdagangan karbon ini sangat penting, apalagi Daerah Otonomi Khusus yang hutannya sangat luas seperti Papua Barat (dan Papua),” ujarnya.
Menurut dia, diperlukan aturan khusus dalam pembagian hasil perdagangan karbon dioksida, mengingat Undang-Undang Otonomi Khusus tidak secara tegas menyebutkan hal tersebut.
“Selanjutnya, negara harus mendelegasikan kewenangan jual beli ini kepada pemerintah daerah. Dengan kata lain, pemilik hutan daerah harus mendapat kompensasi yang sepadan dengan penurunan emisi yang dihasilkannya,” ujarnya.
“Meskipun peluang perdagangan karbon sangat besar bagi Papua Barat, namun perlu juga melihat dampak lain dalam hal ketergantungan pada mekanisme perdagangan karbon, karena sebagian besar perusahaan atau negara lebih memilih untuk membeli kredit karbon daripada mengurangi emisi secara internal melalui upaya tertentu. .”
Misalnya saja replanting besar-besaran, karena mereka beranggapan masih bisa menghasilkan emisi selama mereka membayar kompensasi, maka emisi akan tetap dihasilkan dan jumlahnya berpotensi tidak berkurang, pungkas Filep.