Laporan jurnalis Tribunnews.com Lita Febriani
TRIBUNNEWS.COM, BEIJING – Pasar ekspor kendaraan listrik global terbuka penuh, sejalan dengan tujuan masing-masing negara untuk mencapai netralitas karbon.
Pada saat yang sama, potensi Indonesia sebagai pemain utama industri kendaraan listrik (EV) semakin meningkat dengan adanya sumber daya alam (SDA) berupa nikel dan masuknya pemain baru di industri otomotif.
Pemerintah Indonesia mengapresiasi perusahaan otomotif yang berkomitmen berinvestasi di Indonesia.
Pengakuan ini juga ditujukan kepada produsen mobil asal China, Hozon Energy Automobile Co., Ltd. (Hozon) yang berinvestasi di PT Neta Auto Manufacturing Indonesia.
“Kami tentunya berharap kedepannya kegiatan produksi Neta dapat lebih ditingkatkan. Selain itu, strategi pasar Neta adalah 50 persen dari total produksinya diekspor, dan secara global perusahaan telah mengekspor ke 40 negara di dunia,” kata Neta. Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita di Beijing, Rabu (12/6/2024) waktu setempat.
Kemenperin mengharapkan Neta dapat melakukan riset pasar secara menyeluruh terhadap selera masyarakat Indonesia, sehingga produk yang dihasilkan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia.
Selain itu, Kemenperin mendorong Neta untuk mempercepat lini produksi EV lainnya di Indonesia.
Zhou Jiang, Wakil Ketua Neta Auto dan Ketua Departemen Bisnis Internasional, mengumumkan pihaknya telah mencapai tingkat lokalisasi (TKDN) sebesar 40 persen di Indonesia.
“Pada bulan Mei kami memproduksi model Neta V di China, dan pada bulan Juni kami akan memproduksinya secara massal di Indonesia. Kami akan mulai memproduksi Neta pada bulan Juli,” kata Zhou.
Tahun ini Neta akan menjual 6.000 unit produksinya ke konsumen di Indonesia dan membuka 50 gerai di Tanah Air.
“Kami berencana meluncurkan model baru setiap tahun. Mari kita luncurkan Neta
Selain Neta X, perusahaan juga menyatakan komitmennya untuk memproduksi model Neta L baru pada tahun depan. Neta juga berkomitmen mencapai 60% TKDN pada akhir tahun 2025.
“Kami ingin melanjutkan kerja sama dengan Indonesia, meningkatkan kontribusi terhadap pengembangan produk otomotif di Indonesia,” kata Zhou.
Menperin mengatakan, pihaknya berkepentingan agar Neta bisa tumbuh bersama dengan baik dalam membangun industri otomotif yang berdaya saing global.
“Pemerintah memiliki beberapa insentif yang bisa dimanfaatkan Neta untuk menjadikan Indonesia sebagai basis manufaktur dan hub ekspor, khususnya kendaraan setir kanan,” kata Agus.
Pemerintah Indonesia juga serius dalam mempercepat evolusi dan pengembangan ekosistem kendaraan listrik.
“Tujuan kami adalah jumlah kendaraan listrik di Indonesia mencapai 600.000 unit pada tahun 2030. Oleh karena itu, jika Neta berencana memproduksi 6 ribu mobil dalam setahun, kami yakin penyerapan pasar dalam negeri di Indonesia akan sangat baik,” jelas Agus.
Selain itu, Indonesia mempunyai peluang yang besar untuk mengembangkan industri otomotif, yaitu jika dilihat dari data, rasio kepemilikan mobil di Indonesia hanya sekitar 99 unit per 1000 orang.
Sedangkan negara pesaing lainnya seperti Malaysia memiliki rasio 490 unit per 1.000 orang dan Thailand memiliki rasio 275 unit per 1.000 orang.
“Nilai yang rendah ini bisa menjadi peluang karena berarti masih ada ruang untuk berkembang. Apalagi jika dibandingkan dengan jumlah penduduk negara tersebut, Neta melihat Indonesia sebagai pusat ekspor, jelas Menperin.
Pasar ekspor kendaraan listrik yang akan dijajaki Neta meliputi negara-negara di kawasan ASEAN dan Oceania.
“Kami melihat peluang untuk mengekspor ke Australia karena Australia merupakan negara dengan kemudi kanan. Artinya secara ekonomi bisa menguntungkan dan semoga produksinya bisa dilakukan di Indonesia juga,” kata Agus.