Laporan reporter Tribunnews.com, Malvyandie
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Serangan Rusia ke Ukraina pada 24 Februari 2022 membantah anggapan banyak pihak bahwa saat ini tidak ada perang konvensional berskala besar.
Apalagi, serangan militer Rusia ke Ukraina di tengah pandemi Covid-19 melanda dunia. Mata semua orang membelalak. Jika perang bisa terjadi di benua Eropa, hal serupa juga bisa terjadi di belahan dunia lain.
Salah satu titik konflik yang diyakini mampu memasuki perang terbuka adalah kawasan Laut Cina Selatan. Ada dua kutub kekuatan yang bisa saling berhadapan: Amerika Serikat versus Tiongkok.
Jika hal itu terjadi, meski Indonesia bukan pihak langsung, namun kerusuhan tersebut diyakini akan membawa Jakarta ke pusaran konflik, mengingat letak wilayah utama yang berdekatan dengan letak geografis Indonesia.
Kekhawatiran pecahnya perang di Laut Cina Selatan bukan sekedar spekulasi, apalagi jika melihat sejauh mana peningkatan posisi militer Beijing.
Pada awal Mei 2024, Tiongkok melakukan uji coba pertama kapal induk terbarunya, Fujian. Saat beroperasi, Tiongkok akan memiliki 3 kapal induk yang didukung oleh kelompok tempurnya, termasuk kapal perusak, fregat, kapal selam, dan kapal pendukung lainnya.
Memiliki armada kapal induk juga berarti Beijing dapat melakukan operasi militer di luar wilayahnya, jika perang berakhir.
Meningkatnya kekuatan militer Tiongkok, baik secara kuantitas maupun kualitas, membuat beberapa negara ASEAN tidak nyaman, terutama yang memiliki sengketa wilayah dengan Beijing, seperti Vietnam, Brunei, Malaysia, Filipina, dan tentunya Indonesia.
Hal ini didorong oleh kebijakan Tiongkok yang mengklaim hampir seluruh wilayah Laut Cina Selatan sebagai miliknya.
Dengan peta baru yang dirilis oleh Beijing, Tiongkok “mempromosikan” sembilan garis putus-putus yang digunakan untuk menandai wilayah yang diklaimnya di Laut Cina Selatan.
Bagi Indonesia, klaim tersebut bisa dimaknai sebagai ancaman terhadap kedaulatan, apalagi jika mengacu pada banyaknya pelanggaran yang dilakukan oleh nelayan Tiongkok yang melakukan illegal fishing di perairan Natuna.
Mereka didampingi oleh kapal patroli Tiongkok. Kondisi ini menimpa nelayan Indonesia.
Ancaman terhadap kedaulatan bukan hanya pencurian ikan. Contohnya, pada akhir Agustus 2021, sebuah kapal Tiongkok kedapatan melakukan penelitian ilegal di Indonesia.
Dari rangkaian contoh kasus di atas, muncul beberapa pertanyaan, apa yang harus dilakukan Indonesia dalam menyikapi pelanggaran dan ancaman kedaulatan di Laut Cina Selatan?
Dalam jangka pendek, Jakarta mungkin bisa mengerahkan lebih banyak kapal Penjaga Pantai di kawasan tersebut, seperti yang disarankan Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla) Laksamana Madya (Laksdya) Irvansyah.
Ia berdalih, pelanggaran yang terjadi selama ini di Laut China Selatan dan Laut Natuna Utara lebih banyak dilakukan oleh kapal sipil.
“Kami berpendapat, jika yang dikemudikan adalah kapal militer TNI Angkatan Laut, maka bisa menambah ketegangan. Karena sebagian besar pelanggarnya adalah kapal sipil, mulai dari kapal nelayan hingga kapal Penjaga Pantai milik China,” kata Irvansyah dalam sebuah pernyataan. diskusi sebelumnya.
Namun perlu dicatat, permasalahan di Laut Cina Selatan cukup kompleks, melibatkan beberapa negara, dan disebut dapat menimbulkan konflik terbuka. Apa saja yang harus Jakarta persiapkan? Apakah Indonesia harus meninggalkan posisi “non-blok”, kebijakan bebas aktif, dan mendekatkan diri pada salah satu kubu, baik AS atau China?
Profesor Edwin Martua Bangun Tambunan, Guru Besar Keamanan dan Perdamaian Universitas Pelita Harapan, menilai apa yang dilakukan Indonesia dalam kasus Laut Cina Selatan bukan “menunjukkan” orientasi non-blok, namun menunjukkan kemandirian.
Menurut Edwin, melalui kebijakan kemerdekaan, Indonesia bebas menentukan sikap dan tindakannya sepanjang bermanfaat untuk mencapai kepentingan nasional.
“Jika diterapkan secara efektif, posisi ini akan memperkuat posisi tawar Indonesia dan lebih diperhitungkan. Namun posisi ini akan rentan terhadap tekanan jika Indonesia tidak memiliki kebebasan untuk mengembangkan kemampuan militernya dalam jangka panjang,” ujarnya kepada Tribunnews.com , Selasa (28/5/2024).
Selain itu, Profesor Edwin mengatakan, dalam mempelajari politik internasional, yang dilakukan Indonesia adalah menerapkan strategi lindung nilai, yaitu membangun hubungan yang terukur dengan dua kekuatan besar untuk membuka peluang keseimbangan kekuatan. Sebuah kapal penjaga pantai Tiongkok kembali terlibat pertemuan fisik dengan dua kapal patroli laut Filipina yang berpatroli di kawasan Scarborough Shoal di perairan barat Filipina yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan (SCS), pada Selasa (30/4/2024). ). (Nikkei Asia)
Dalam hal ini, menurutnya, peran intermediasi yang dilakukan Indonesia adalah menyeimbangkan persaingan Tiongkok dan Amerika Serikat di Asia Tenggara serta menjadi katup pengaman agar konflik tidak menjadi konflik terbuka.
Meski Edwin meyakini, bahwa Tiongkok masih sangat penuh perhitungan dan tidak akan memaksakan kekuatan militernya untuk terlibat perang besar dengan siapa pun, termasuk kekuatan di luar kawasan seperti AS.
“Ada peluang yang dilihat Tiongkok, bahwa tujuannya atas tuntutan LCS masih dapat dicapai dengan menggunakan instrumen ekonomi dan pengaruh politik untuk melemahkan perlawanan negara-negara pengklaim dari dalam, dan pada saat yang sama melemahkan ketergantungannya pada kekuatan eksternal. kewenangan,” katanya.
Hal serupa juga terjadi di Amerika Serikat. Dalam pandangan Edwin, AS belum siap menghadapi perang besar karena dalam penilaian objektif Washington, kemampuannya saat ini belum mampu memenangkan perang. Oleh karena itu, Amerika Serikat akan berusaha menghindari perang terbuka.
Namun, terlepas dari pilihan kebijakan Washington atau Beijing terkait konflik Laut Cina Selatan, perhitungan Jakarta harus mencakup opsi untuk mengatasi risiko terburuk.
“Dalam perhitungan yang masuk akal, kemungkinan terjadinya perang sangat kecil. Namun, selalu ada kemungkinan terjadinya perang karena kecerobohan atau karena suatu pemicu yang menyebabkan situasi kehilangan kendali. Dalam konteks ini, menurut saya tetap penting untuk dilakukan. membangun kemampuan militer,” katanya.
Edwin berpendapat, penyediaan alutsista untuk memberikan kemampuan deterrensi harus menjadi prioritas Indonesia. Peran mediasi Indonesia dalam konteks keamanan regional di Asia Tenggara sangat ditentukan oleh kemampuan pertahanannya.
Kemerdekaan Indonesia juga perlu dipertahankan. Oleh karena itu, penyediaan alutsista harus terus dilakukan, namun harus didiversifikasi dalam inisiatifnya sehingga tidak bergantung pada satu atau dua negara. Akan lebih bermanfaat jika Indonesia bisa menguasai teknologi tersebut untuk berkembang secara mandiri.
Prioritas harus diberikan pada pengembangan kemampuan militer untuk memperkuat dan menempatkan kemampuan pembalasan pada titik-titik strategis, terutama yang berhadapan langsung dengan Tiongkok. Fokus pada penguatan dimensi maritim. Dengan cara ini, hal ini hanya mungkin berdampak menjadi penghalang bagi Tiongkok. kemampuan militer kita dan menghormati Indonesia,” tutupnya.
Apakah sudah saatnya Indonesia meninggalkan posisi non-bloknya?
Analis Hubungan Internasional Rangga Deristaufani mengatakan, tidak mudah memprediksi eskalasi konflik di Laut Cina Selatan. Ketegangan seringkali terjadi secara tiba-tiba, bergantung pada manuver politik dan militer, baik yang dilakukan oleh Amerika Serikat atau Tiongkok.
Ia menilai latihan militer besar-besaran bertajuk “Pedang Bersama-2024A” yang dilakukan China pada pekan lalu merupakan bagian dari responsnya terhadap kehadiran pasukan elit AS di Taiwan pada Maret lalu.
“Saya melihat dan tentunya berharap eskalasi AS dan China tidak berujung pada konfrontasi terbuka antara kedua negara. Namun mengingat serangan Rusia ke Ukraina, Februari 2022, segala sesuatu masih bisa terjadi,” ujarnya kepada Tribunnews.com, Rabu (29/5/2024).
Dalam hal ini, Indonesia, kata Rangga, harusnya memposisikan diri dengan baik dalam persaingan dua kekuatan besar tersebut. Alih-alih meninggalkan kebijakan nonblok, dalam konteks konflik LCS, prinsip politik Free Action RI justru menjadi lebih relevan.
“Keberpihakan Indonesia dengan salah satu kubu, baik China atau Amerika Serikat, sungguh sangat merugikan kita. Apalagi Indonesia saat ini sedang fokus pada agenda pembangunan ekonomi, serta postur kekuatan untuk membangun militer yang masih mengandalkan impor. alutsista,” ujar Alumni Sekolah Kajian Ketahanan Nasional, Strategis dan Antarmuka Global (SKSG).
Ia berharap pemerintah Indonesia ke depannya bisa ‘bermain baik’, dan menjaga hubungan kemitraan strategis baik dengan Amerika Serikat maupun Tiongkok. Di satu sisi, Tiongkok dapat terus memperoleh manfaat dari kemitraan ekonomi strategis dengan Beijing, di sisi lain, mengembangkan kerja sama militer dengan Washington.
Namun, Rangga mengakui, “politik dua kaki” saja tidak cukup. Indonesia sebagai negara berdaulat masih perlu meningkatkan kekuatan militernya untuk menghadapi ancaman keamanan di kawasan.
“Tentu kita tidak berharap status quo ini akan berakhir dan meningkat menjadi perang terbuka. Oleh karena itu, Indonesia masih perlu memperkuat kekuatan militernya. Pertahanan yang kuat akan mendukung segala upaya diplomasi kita. Terakhir, saya tetap percaya bahwa negara-negara Amerika , Tiongkok dan ASEAN berharap Indonesia dapat berperan besar sebagai negara yang tidak menuntut, secara damai melalui dialog dan negosiasi.”