Laporan Jurnalis Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun menyandang gelar doktor bidang ekonomi dari Universitas Trisakti (Usakti).
Gelar doktor diraihnya setelah mempertahankan disertasi berjudul “Kajian Kebijakan Publik tentang Peran DPR dalam Integrasi Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Postur APBN untuk Mengatasi Pandemi Covid-19”, lulus dengan predikat sangat memuaskan.
Sidang terbuka disertasi Misbakhun digelar di Gedung S Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FB) Usakti, Jakarta Barat pada Selasa sore (06/04/2024).
Bertindak sebagai promotor Misbakhun adalah Prof. Muhammad Zilal Hamzah, Prof. Muliaman D Hadad (ko-promotor I) dan Prof. Ibu Eleonora Sofilda (ko-promotor II). Tim penguji diketuai oleh Rektor FB Usakti, Prof. Dr Yolanda Masnita Siagian.
Sesuai dengan promonya, Misbakhun mengawali pemaparannya dengan menjelaskan mengenai pandemi virus corona (Covid-19) tahun 2019 yang telah menjadi bencana global.
Dampak pandemi tidak hanya terhadap kesehatan masyarakat, namun juga perekonomian.
Menurut Misbakhun, pemerintah menerapkan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk mengatasi dampak pandemi Covid-19 terhadap perekonomian.
Mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak ini mengatakan PEN memerlukan integrasi kebijakan fiskal dan moneter.
Inisiatif sinergi politik dicanangkan DPR dengan istilah pembagian beban, ujarnya.
Melalui mekanisme pembebanan inilah Bank Indonesia (BI) selaku otoritas moneter menyesuaikan kebutuhan pembiayaan fiskal pemerintah yang meningkat akibat besarnya defisit APBN.
Misbakhun mengatakan kebijakan tersebut tetap mengedepankan independensi BI sebagai bank sentral.
BI juga membeli Surat Utang Negara (SBN) yang diterbitkan pemerintah. Dengan demikian, pemerintah mempunyai ruang fiskal yang cukup untuk membiayai PEN.
Dalam konteks ini, DPR sebagai lembaga pembentuk undang-undang juga berperan dalam pengambilan kebijakan. Misbakhun menjelaskan, DPR mengintegrasikan kebijakan fiskal dan moneter, serta memantau dan mengevaluasi penggunaannya.
“Peran DPR sangat penting untuk memberikan legitimasi pembelian SBN oleh Bank Indonesia sebagai otoritas moneter melalui pengesahan Perpu Nomor 1 Tahun 2020, sehingga menjadi dasar peraturan perundang-undangan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020, ” Dia. kata Misbakhun yang juga politikus Partai Golkar.
Hasil kerja sama dan sinergi antara pemerintah, BI, dan DPR, Indonesia menjadi satu dari lima negara yang berhasil menangani Covid-19. Misbakhun mengatakan, kunci keberhasilan itu ada dua, yakni kapasitas negara dan kepercayaan masyarakat.
Namun Misbakhun menilai peran DPR dalam pengambilan kebijakan strategis justru terpinggirkan.
Bahkan, DPR juga yang memberikan kepastian hukum dalam bauran politik otoritas fiskal dan moneter dengan menyetujui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpuo) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Dalam Rangka Penanganan Covid-19. . -19 pandemi.
“Peran DPR dalam mengintegrasikan kebijakan fiskal dan moneter melalui kebijakan pembagian beban pada masa pandemi Covid-19 adalah untuk memberikan kepastian hukum, legitimasi politik dan juga menyetujui Perpuo yang diusulkan presiden,” ujarnya.
Oleh karena itu, Misbakhun dalam disertasinya merekomendasikan beberapa hal, yang utama adalah inisiatif DPR dalam mengintegrasikan kebijakan fiskal dan moneter sebaiknya diperluas dalam berbagai situasi yang memerlukan legitimasi politik.
DPR harus berperan sebagai lembaga yang mempertemukan berbagai kekuatan dan aspirasi politik, ujarnya.
Selain itu, Misbakhun juga merekomendasikan protokol untuk menangani krisis ekonomi akibat faktor non-ekonomi yang mungkin muncul di masa depan. “…. “Utamanya melalui mekanisme hukum atau undang-undang darurat,” imbuhnya.
Untuk penelitian tersebut, Misbakhun melakukan wawancara mendalam dengan sejumlah narasumber sektor fiskal dan moneter yang berkompeten dan terlibat langsung dalam perumusan kebijakan penanganan perekonomian di masa pandemi, yaitu Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Destry Damayanti . , Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara, Ketua Badan Anggaran DPR Said Abdullah, Wakil Ketua Komisi XI DPR Dolfie OPF, dan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muliaman Hadad.
Selain itu, Misbakhun juga memperkuat tesisnya dengan analisis dari para ekonom dan pengamat, antara lain Maria Gonzalez dari International Monetary Fund (IMF), Piter Abdullah Redjalam (Segara Institute), Prof. Shin Jin Kyo dan Jae-Hyeok Choi Ph.D dari Kimyung University, serta Sekretaris Ekonomi dan Perdagangan Kedutaan Besar India di Jakarta, Ms. Malvika Priyandarshini.
Salah satu anggota tim penguji, Prof. Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro dalam pembukaannya menyampaikan pembelajaran dari dua hal yang dilakukan Indonesia untuk mengatasi krisis ekonomi di masa pandemi, yakni memberikan keleluasaan kepada pemerintah dalam menentukan ruang fiskal dan kebijakan pembelian obligasi BI pada pemilu pendahuluan. Pasar
Mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional ini menilai kebijakan tersebut memang tidak biasa di masa normal.
“Apa pelajaran berharga pengobatan Covid dari kedua indikator ini dalam kondisi kita ke depan?” tanya Bambang.
Menanggapi pertanyaan tersebut, Misbakhun mengatakan Indonesia tidak hanya menghadapi krisis satu kali saja. Indonesia pernah mengalami krisis ekonomi pada tahun 1998 dan 2008.
Krisis tahun 1998, kata Misbakhun, memunculkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Selain itu, krisis (2008) yang ditimbulkan oleh Undang-undang nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Krisis akibat pandemi Covid-19 membuat pemerintah dan DPR mengundangkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pembangunan dan Penguatan Sektor Keuangan. (UU P2SK). Misbakhun mengatakan undang-undang baru ini memberikan peran yang lebih kuat kepada LPS, BI, dan OJK di semua lini keuangan.
Misbakhun menegaskan, keberhasilan Indonesia di masa krisis akibat Covid-19 ini berkat konsolidasi yang baik dari semua pihak, termasuk DPR.
“Masyarakat mungkin menganggap DPR hanya mencari popularitas, padahal saat itu DPR berperan sebagai lembaga yang menyatukan segala keluh kesah. Saat itu kita tidak melihat perbedaan politik. Yang kita lihat adalah keberlangsungan bangsa. , kelangsungan peradaban manusia dan itu harus diselamatkan,” ujarnya.