TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pemerintah memprioritaskan kawasan khusus (WIUPK) yang memungkinkan organisasi masyarakat keagamaan melakukan aktivitas pertambangan.
Kebijakan ini terkait dengan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Fauzan Irwan, pengamat dan direktur eksekutif nasional Progressive Democracy Watch (Prodewa), mengatakan kebijakan tersebut merupakan bukti nyata pendekatan pemerintah yang bias terhadap masyarakat.
Ke depan, kekayaan alam Indonesia tidak hanya dimanfaatkan oleh pengusaha dan konglomerat saja, tapi juga masyarakat, ujarnya dalam keterangannya, Senin (3/6/2024).
Hal ini merupakan tanggung jawab konstitusional pemerintah kepada rakyat melalui organisasi publik
Ia menjelaskan peran dan fungsi organisasi keagamaan utama bagi negara, sehingga wajar jika pemerintah menghormati kekayaan negara ini dan ikut serta mengelolanya.
“Ini merupakan ucapan terima kasih yang tulus dari pemerintah. Kami yakin ormas keagamaan ini dapat mengelola tambang dengan baik dan profesional, sehingga organisasi tersebut dapat mengoptimalkan kiprahnya dan memberikan kontribusi bagi masyarakat dan negara,” ujarnya.
Nomor PP. 25 Tahun 2024 telah disahkan oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 30 Mei 2024 dan mulai berlaku pada tanggal diundangkan dan juga pada tanggal 30 Mei 2024.
WIUPK merupakan bekas wilayah Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), yang diberikan kepada organisasi keagamaan.
Ketentuan khusus BPK yang mengutamakan ormas keagamaan tertuang jelas dalam Pasal 83A Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2024.
Ia mengatakan, kebijakan tersebut juga harus diperjelas dengan peraturan menteri untuk memahami detail dan aspek teknisnya.
Ia yakin masyarakat akan mendukung kebijakan tersebut.
“Karena ini merupakan kebijakan yang berdampak langsung kepada masyarakat dan ummat melalui ormas keagamaan,” ujarnya. PBNU siap, Muhammadiyah tak terburu-buru
Dua organisasi Islam besar di Indonesia, yakni Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Muhammadiyah, terbuka untuk memilih untuk mengeluarkan Keputusan Pemerintah (PP) yang mengizinkan organisasi kemasyarakatan dan keagamaan (ormas) mengelola operasi pertambangan.
Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menandatangani PP Nomor 25 Tahun 2024 tentang perubahan PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Penghasilan Mineral dan Batubara.
Ada pasal baru di PP terbaru, yakni Pasal 83 A yang membolehkan organisasi massa dan keagamaan mendapatkan Izin Usaha Pertambangan (IUP).
Terkait hal tersebut, PBNU dan Muhammadiyah memberikan jawaban berbeda terkait terbitnya PP ini.
Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Stakuf atau Gus Yahya juga mengatakan pihaknya siap mengelola konsesi pertambangan yang diberikan pemerintah.
Namun Sekjen Muhammadiyah Abdul Muti berpendapat berbeda karena pihaknya tidak terburu-buru meminta izin pertambangan kepada pemerintah.
Diakuinya, pihaknya akan mengukur terlebih dahulu kemampuan Muhammadiyah jika diberikan izin pertambangan.
Tanggapan penuh PBNU dan Muhammadiyah terhadap PP yang membolehkan organisasi publik menambang:
PBNU mengaku siap mengelola konsesi pertambangan
Gus Yahya mencatat, PBNU siap mengelola konsesi pertambangan yang diberikan pemerintah.
Ia mengatakan organisasi yang dipimpinnya memiliki sumber daya dan jaringan bisnis untuk mengelola tambang tersebut.
Nakhdlatul Ulama siap dengan sumber daya manusia yang mumpuni, perangkat organisasi yang lengkap, dan jaringan usaha yang cukup kuat untuk menunaikan tugas dan tanggung jawab tersebut, kata Gus Yahya dalam siaran persnya, Senin (3/6/2024), seperti dikutip Kompas. .com.
Menurut Gus Yahya, PBNU memiliki jaringan terstruktur dari pusat hingga akar yang dapat melayani masyarakat.
Oleh karena itu, lanjutnya, jaringan tersebut dapat efektif dalam mengelola izin pertambangan yang diberikan pemerintah.
PBNU, kata Gus Yahya, juga akan melatih pemimpin baru untuk mengelola konsesi pertambangan.
“Nahdlatul Ulama menyiapkan struktur bisnis dan kepengurusan yang menjamin profesionalisme dan tanggung jawab dalam pengelolaan dan pemanfaatan hasilnya,” ujarnya.
Sebaliknya, terkait persoalan PP ini, Gus Yahya justru memuji keberanian Jokowi.
“PBNU berterima kasih kepada Presiden Joko Widodo atas kebijakan positifnya memberikan kelonggaran kepada organisasi keagamaan, termasuk Nahdlatul Ulama, dan mengizinkan usaha pertambangan,” puji Gus Yahya.
Muhammadiyah tidak mau terburu-buru
Muhammadiyah kembali menyambut baik PP.
Abdul Muti, Sekjen Mohammedia, mengatakan jika pihaknya menerima tawaran konsesi pertambangan, pihaknya tidak akan terburu-buru mengambil keputusan.
Abdul Muti mengatakan hal itu dilakukannya agar tidak menimbulkan permasalahan baru bagi organisasi dan masyarakat.
Sebaliknya, lanjutnya, Muhammadiyah belum berbicara dengan pemerintah setelah PP tersebut diterima.
“Sampai saat ini belum ada diskusi dengan pemerintah mengenai kemungkinan pengelolaan tambang tersebut dengan Mohammedia.”
“Jika ada usulan resmi dari pemerintah kepada Muhammadiyah akan dibicarakan secara matang. Muhammadiyah tidak terburu-buru dan akan mempertimbangkan pilihan-pilihan agar pengelolaan produksi pertambangan tidak menimbulkan masalah bagi organisasi, masyarakat, dan bangsa. dan negara,” jelas Abdul Muti, diambil dari website Muhammadiyah.