TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Selama bertahun-tahun, banyak kasus pembunuhan di Provinsi Jawa Barat yang menyita perhatian publik.
Pihak berwenang berhasil menyelesaikan banyak kasus besar ini dan menangkap mereka yang bertanggung jawab.
Mirip dengan kasus pembunuhan Amalia di Subang.
Namun, dua kasus lainnya masih tetap tersembunyi meski pembunuhannya sudah terjadi sejak lama.
Dua kecelakaan melibatkan kematian Vina dan Akseyna.
Lengkapnya dihimpun Tribunnews.com, Kamis (16/5/2024);
1. Anggur harus dibunuh selama 8 tahun
Kasus meninggalnya Vina di Cirebon kembali mengemuka pada tahun 2016 setelah diangkat ke layar lebar dengan judul film “Vina: 7 Hari Yang Lalu”.
8 orang divonis bersalah, namun 3 pelaku lainnya tidak ditangkap.
Penyebab pembunuhan sebenarnya masih menjadi misteri, karena ketiga pelaku utama diduga masih buron.
“Saya mendapat kesan Polda Jabar belum menyelesaikan tugas penting,” kata pengamat Reza Indragiri Amriel kepada WartaKotalive.com, Rabu (15/5/2024).
Pembunuhan Vina dan kekasihnya Eky oleh geng motor di Cirebon pada Agustus 2016 awalnya digambarkan sebagai kecelakaan lalu lintas.
Karena Vina diculik dan dibunuh dengan kejam.
Ini menandakan bahwa pikiran Vina punya teman.
Kompas.com mengutip laporan 2 September 2016, Kapolres Cirebon Kota saat itu AKBP Indra Jafar menjelaskan kronologis pembunuhan Vina yang diyakini hanya terjadi satu kali saja.
Indra mengatakan, kejadian tersebut bermula saat Vina dan pacarnya Eki melewati kawasan SMP Negeri 11 Kota Cirebon pada 27 Agustus 2016 setelah dikepung anggota geng sepeda lainnya.
Saat melintas, Indra bercerita Vina dan pacarnya dilempari batu oleh geng motor lain.
Sayangnya, saat teman Vina dan Eki kabur, mereka dikejar rombongan bikers lain.
Sebuah sepeda motor di tengah jalan ditendang gerombolan pengendara sepeda motor hingga terjatuh.
Kemudian Vina dan Eki dibunuh dan ditangkap oleh geng motor.
Dari situ kedua korban dibawa ke tempat sepi depan kota Smpn 11 Cirebon.
Selain itu, mereka terus dipukuli secara bergiliran hingga terluka parah dan Vina juga dipaksa bergantian oleh anggota geng sepeda.
Vina dan Eki tewas di lokasi kejadian.
Setelah kebrutalan mereka usai, jenazah Vina dan Eki dilempar ke dekat panggung.
Hal itu dimaksudkan sebagai tempat kejadian perkara (TKP) yang direncanakan agar Vina dan Eki tampak tewas dalam satu kecelakaan.
Namun saat jenazah Vina dan Eki diperiksa pihak keluarga dan polisi, kedua belah pihak curiga karena ditemukan luka di sekujur tubuh korban.
Desas-desus menyebar di masyarakat bahwa terdakwa adalah anak yang melarikan diri atau anggota keluarga polisi.
Demikian pertanyaan dari Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Barat.
Komandan Divisi (Kabid) Polda Jawa Barat (Jabar) Kombes Jules Abraham Abast mengatakan, berdasarkan hasil pemeriksaan, baik di Kota Cirebon, di Polda Jabar Kota, serta di pengadilan, hal tersebut belum terjadi. telah terbukti.
Bahkan, salah satu korban kebrutalan geng motor ini, Eki yang mencintai Vina, adalah anak seorang polisi.
Jadi, untuk saya informasikan fakta di pengadilan sendiri, salah satu korban yang merupakan saudara perempuan dari teman atau kolega Vina yaitu saudara laki-laki Eki adalah anak dari anggota kepolisian kita, bukan pelaku, katanya. pada Rabu (15/5/2024).
Julius pun membantah polisi menyembunyikan identitas ketiga tersangka buronan tersebut.
2. Akseyna harus dibunuh selama 9 tahun
Akseyna Ahad Dory (19), mahasiswa Universitas Indonesia (UI), ditemukan tewas di Danau Kenanga UI Depok, Jawa Barat, pada 26 Maret 2015.
Sembilan tahun setelah kematiannya, Akseyna masih menjadi misteri.
Saat pertama kali ditangkap, mahasiswa UI jurusan Biologi Sekolah Tinggi Matematika dan Sains ini diduga melakukan pembunuhan.
Namun polisi kemudian menyatakan Akseyna adalah korban pembunuhan.
Ayah Akseyna bukanlah orang biasa.
Dia adalah pejabat tertinggi TNI, Primo Mardoto.
Baru-baru ini ia meminta polisi mengusut serius kematian putranya.
Sejauh ini pelaku pembunuhan Akseyna belum teridentifikasi.
Orang yang pertama kali menemukan jenazah Akseyna adalah mahasiswa UI bernama Roni pada Kamis (26/3/2015) sekitar pukul 09:00 WIB. Aksi solidaritas untuk almarhumah Akseyna Ahad Dori, Selasa (29/3/2022) (TribunJakarta/Dwi Putra Kesuma)
Jenazah Akseyna terapung di telaga Kenanga dengan membawa tas berisi batu.
Polres Depok membutuhkan waktu empat hari untuk mengidentifikasi jenazah korban.
Identitas Akseyna terungkap setelah orang tua korban yang aslinya berasal dari Yogyakarta mengenali bentuk hidung korban.
Untuk itu pula almarhum dikenakan pakaian dan sepatu yang diberikan kepadanya oleh orang tuanya pada saat kematiannya. Gaun ini memperkuat keyakinan keluarga Akseyna.
Awalnya, polisi menduga Akseyna mengetahui kematiannya setelah melihat surat wasiat di dinding rumah sakit tempat Akseyna tinggal.
Surat-surat tersebut diperiksa Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor).
Pada 6 Mei 2015, polisi menyebut tulisan Akseyna juga sama.
Selanjutnya, penyidik memanggil saksi ahli tulisan tangan atau ahli grafologi dari American Foundation for Analysis, Deborah Dewi.
Debbora menyatakan, surat wasiat tersebut tidak ditulis oleh Akseyna.
Debora menjelaskan, surat wasiat itu ada dua bagian.
Bagian pertama sama dengan tulisan almarhum. Sedangkan tulisan yang lain adalah milik orang lain.
Ia menjelaskan penulisan dan penandatanganan surat wasiat tersebut dilakukan dengan pembesaran mikroskopis 200 kali.
Tak hanya itu, hasil autopsi juga membenarkan dugaan tersebut.
Akseyna diduga tidak sadarkan diri sebelum dibuang ke Danau Kenanga UI.
Polisi menemukan paru-paru Akseyna berisi air dan pasir.
Lalu ada robekan di sepatu Akseyna. Ini menjadi bukti terbaru bahwa dia telah menarik korban lagi. Demikian analisis Deborah bahwa Akseyna memiliki karakter yang tidak mudah menyerah. Debora menganalisanya dari tulisan tangan Akseyna yang ditulis Akseyna 1,5 tahun lalu. Itulah sebabnya ada perbedaan karakter antara tulisan satu setengah tahun yang lalu dengan tulisan di surat wasiat. (Warta Kota/Theo Yonathan Simon Laturiuw)
Hasil otopsi juga menemukan adanya luka tak wajar di wajah Akseyna.
Direktur Jenderal Reserse Kriminal Polda Metro Jaya yang saat itu menjabat Kombes Krishna Murti menilai agak aneh jika korban tenggelam sadar akan kematiannya.
Menurutnya, kematian karena tenggelam merupakan cara paling lambat bagi seorang korban untuk kehilangan nyawanya.
Dalam ciri-ciri tersebut, korban bunuh diri lebih memilih cara yang lebih cepat, seperti melompat dari atap gedung atau gantung diri.
Polisi meluncurkan penyelidikan atas kasus ini pada tahun 2020.
Hal itu terungkap dalam keterangan Mardoto, ayah Akseyna, Rabu (2/12/2020).
Namun misteri pembunuhan ini belum terungkap hingga saat ini.
Sumber: Tribunnews.com/Warta Kota/KompasTV