Kericuhan di parlemen Taiwan mewarnai hari pertama sidang pasca pelantikan Presiden William Lai Ching-te di ibu kota Taipei. Dalam sidang hari Selasa (21/05), kader partai pemerintah di Partai Progresif Demokratik, DPP, menggelar aksi protes terhadap rencana reformasi legislatif yang diajukan dua partai oposisi, Kuomintang, KMT, dan Partai Rakyat Taiwan, TPP.
Kader DPP mengenakan ikat kepala bertuliskan “demokrasi sudah mati” dan menuntut tambahan waktu untuk merundingkan rancangan undang-undang tersebut. Dalam kericuhan Jumat (17/5) lalu, perwakilan kedua partai malah adu tinju.
Reformasi ini dimaksudkan untuk memperkuat kekuasaan parlemen, sekaligus melemahkan kekuasaan eksekutif. Undang-undang ini khususnya akan berdampak pada masa jabatan Lai, yang pernah disebut Tiongkok sebagai “separatis berbahaya”. Kontroversi tentang Tiongkok
Lai memulai masa kepresidenannya ketika partainya DPP kehilangan mayoritas di parlemen dan kini berada di belakang KMT dengan 51 kursi dibandingkan dengan 54 kursi. TPP merupakan kelompok minoritas dengan delapan kursi.
KMT telah lama dikenal lunak terhadap Tiongkok sehingga menimbulkan kecurigaan ketika bekerja sama dengan TPP untuk melakukan reformasi legislatif di era Lai.
“Yang berdiri di podium bukanlah kader KMT atau TPP, tapi Xi Jinping,” kata anggota DPP Ker Chien-ming pada sidang parlemen, merujuk pada presiden Tiongkok. Ucapannya ditanggapi dengan teriakan “diam!” dari arah oposisi.
KMT, sebaliknya, menuduh DPP mencoba “menyebarkan rumor dan menggambarkan kami sebagai partai merah”, mengacu pada warna Partai Komunis Tiongkok, PKT. “DPP memicu populisme, dan tindakan anti-reformasi mereka tidak berdasar,” kata juru bicara KMT Yang Chih-yu. Rencana reformasi menimbulkan protes
“Usulan reformasi yang diajukan oleh oposisi Taiwan akan memperluas kekuasaan legislatif secara signifikan,” kata Chang Hung-in, direktur Parliament Monitor, sebuah organisasi nirlaba yang mengadvokasi pengawasan warga terhadap proses legislatif. Namun, ia juga mendukung upaya memperkuat pengawasan parlemen terhadap cabang eksekutif.
“Berdasarkan RUU baru, parlemen Taipei nantinya dapat mengundang pejabat pemerintah atau pelaku usaha untuk bersaksi di parlemen, tanpa prosedur yang transparan,” kata Chang, termasuk menghukum pejabat yang terbukti melakukan sumpah palsu. “Klausul ini berbahaya bagi otoritas administratif dan peradilan,” tambahnya.
Sidang parlemen pada Selasa (21 Mei) dibayangi protes ratusan masyarakat yang menolak reformasi legislatif. Para pengunjuk rasa menuduh KMT berkonspirasi dengan Tiongkok untuk “membunuh” demokrasi di Taiwan.
“Taiwan bukan lagi negara normal. Itu sebabnya saya khawatir demokrasi di Taiwan akan terkoyak, seperti yang terjadi di Hong Kong,” kata Amy Yang, salah satu peserta protes, kepada kantor berita Jerman dpa.
“Dibutuhkan upaya besar dari banyak orang untuk mengakhiri darurat militer selama 38 tahun dan membangun demokrasi terbaik di Asia,” kata Cheng Li-lin, seorang pensiunan. “Tetapi sekarang parlemen kita melakukan serangan balik terhadap demokrasi,” katanya. “Amandemen ini dapat mengubah parlemen menjadi sebuah bentuk diktator.”
Rzn/as (rtr,dpa)