TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Meninggalnya taruna Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) bernama Putu Satria Ananta Rustika diduga bukan disebabkan oleh pakaian olah raga.
Dugaan ini muncul setelah pengawas STIP merilis keterangan pihak keluarga bahwa Putu Satria tidak berbuat salah.
Lalu apa alasan penulisnya dipanggil Tegar Rafi Sanjaya?
Paman Putu Satria, Nyoman Budiarta, kepada dosen pembimbing STIP, mengaku curiga ada orang tua yang menganiaya keponakannya karena cemburu.
Saya kira Satria yang katanya pelakunya, pemilu itu diadakan mayoritas dan sebaiknya mereka dikirim ke China.
“Ini usulan dari dosen pembimbing. Katanya anak saya memang terpilih menjadi pemandu sorak pertama. Kata dosen pembimbing, mungkin ada kecemburuan sosial dalam kasus ini,” ujarnya dalam acara Sapa Indonesia Pagi, Kompas TV, Senin. (6/5/2024).
Nyoman menuturkan, pelatih yang disebut-sebut merupakan anggota TNI Angkatan Laut (AL) itu mengatakan, saat serangan maut itu terjadi, Putu Satria dan kawan-kawan sedang bermain santai.
“Gubernur menyuruhnya naik ke atas karena dia presiden untuk membubarkan teman-temannya,” kata Nyoman.
Selama ini, kata Nyoman, Putu Satria tidak pernah terlibat kekerasan selama kuliah di STIP.
“Dia tidak pernah cerita ke saya. Dia bilang baik-baik saja, karena pihak sekolah tidak punya kewenangannya,” kata Nyoman.
Kronologi dan Motif Putu Satria Versi Polisi meninggal dunia setelah berada di kamar mandi koridor kelas KALK C lantai 2 gedung STIP Batavia, pada Jumat pagi sekitar pukul 08.00 WIB (3/5/2024). Pelaku tak lain adalah kakaknya, Tegar Rafi Sanjaya (21). Kapolres Metro Jakarta Utara Kompol Gidion Arif Setyawan mengatakan, penganiayaan ini terjadi saat korban bersama empat teman sekelas lainnya berada di salah satu ruang kelas. Saat turun ke lantai 2 2, rombongan korban dipanggil oleh tersangka yang juga bersama empat orang lainnya yang merupakan taruna STIP Batavia tingkat 2. Kemudian tersangka menanyakan alasan korban dan keempat teman sekelasnya mengenakan pakaian olah raga. Kemudian penulis dan teman-temannya memenuhi apa yang disebut “tradisi taruna”. Gidion menjelaskan, saat kejadian, Putu sedang bersama empat orang temannya. Sedangkan Tegar bersama empat temannya. Selain Putu, rencananya Tegar dan empat teman kelas 2 SD-nya akan memukuli empat adiknya yang merupakan teman korban. Namun Putu yang menduduki barisan pertama sudah terlanjur tertatih-tatih dan terjatuh sehingga pukulan keempat taruna tersebut dibatalkan oleh Tegar dan rekan-rekannya. Taruna adat Tegar membuat kesepakatan dengan Putu hanya karena baju olah raga. Di kamar mandi, Tegar Putu dipukul sebanyak lima kali di bagian ulu hati. Kemudian, dalam kondisi korban dalam keadaan santai dan tidak sadarkan diri, saya menduga Tegar memasukkan tangannya ke dalam mulut korban dengan maksud untuk membantu. Hingga korbannya meninggal. Gidion mengatakan, berdasarkan hasil otopsi, ditemukan adanya luka pada ulu hati korban yang menyebabkan pecahnya jaringan paru-paru. Belakangan, polisi juga mengetahui bahwa penyebab utama hilangnya nyawa korban adalah dugaan adanya dukungan pekerjaan yang tidak dilakukan sesuai prosedur.
Permintaan dari keluarga korban
Pengacara keluarga korban, Tumbur Aritonang, meminta Kementerian Perhubungan memperbaiki sistem pendidikan dan melakukan pengawasan untuk mencegah kejadian serupa terjadi.
Saya berharap Kementerian Perhubungan dan pemerintah pusat berupaya menertibkan STIP, kata Tumbur di RS Polri Kramat Jati, Batavia Timur, Sabtu (4/5/2024).
Peningkatan kewaspadaan harus diterapkan, sebab kasus perundungan fatal yang dilakukan senior terhadap junior ini bukan kali pertama terjadi di wilayah Batavia.
Pada tahun 2014, taruna STIP Jakarta Dimas Dikita Handoko tewas di tangan kakaknya, kemudian pada tahun 2017 taruna STIP Jakarta Amirullah Adityas Putra meninggal karena dipukul oleh orang dewasa.
Namun kasus penyergapan maut senior terhadap junior kembali terjadi di kawasan STIP Batavia, sehingga pengawasan terhadap pembinaan lembaga ini dipertanyakan.
“Bagaimana kesehariannya, kita tidak pernah tahu. Mereka berusaha keras melihat banyak orang yang kalah atau mati. Mereka tidak tahu seluruh kekuatan tubuhnya,” ujarnya.
Tumbur mengatakan kepada STIP Batavia, lembaga pendidikan tempat orang tua merekomendasikan anaknya, agar terus berbenah agar tidak ada korban masalah serupa di kemudian hari.
Menurutnya, kecelakaan fatal seperti yang dialami Putu membuat para orang tua khawatir dengan nasib anak-anak yang kini masih kuliah di STIP Batavia.
“Iya STIP dikurangi. Kemarin (STIP Jakarta) bilang kita hapus semua kategori. Kalau hanya penilaian tertulis atau lisan tidak akan berubah,” ujarnya.
Pasalnya, dalam kasus Putu STIP Batavia diduga terjadi kelalaian karena penganiayaan terjadi di lingkungan kamp yakni kamar mandi pria tempat korban dianiaya.
Tumbur mengatakan, meski STIP Batavia tidak mungkin memasang CCTV di kamar mandi, namun kecurangan Putu dalam percobaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia, seharusnya tidak terjadi.
“Saya dengar saat ini (2017) DPR merekomendasikan STIP ditutup ya?