Laporan reporter Tribunnews.com, Ashri Fadilla
TRIBUNNEWS.COM JAKARTA – Kecelakaan tragis di Sekolah Lingga Kencana, Depok, kini menuai kecaman dari berbagai lapisan masyarakat karena memakan banyak korban jiwa.
Banyak pihak yang mengkritisi agar kegiatan wisata edukasi di sekolah-sekolah di Indonesia harus dihentikan karena dianggap berisiko, sulit, dan tidak terlalu bermanfaat.
Namun Direktur Eksekutif Pusat Standar dan Analisis Pembangunan Pendidikan (CERDAS), Indra Charismiadji, menilai kegiatan wisata edukasi tidak bisa dilihat secara hitam putih, yakni baik dan buruk.
“Kita tidak bisa melihatnya hitam putih, artinya boleh atau tidak, ini baik atau buruk. Tergantung desain aslinya apa, mau dibuat apa,” kata Indra saat dihubungi, Minggu. (12) /5/2024).
Di sisi lain, karya tersebut dapat digunakan untuk mendapatkan keuntungan komersial dari oknum yang tidak bermoral.
Orang-orang ini seringkali mendapat untung dengan mengenakan biaya tinggi untuk aktivitas mereka.
“Ada juga yang mengurus keperluan pengelola sekolah yang tidak jujur, pedagang, untuk mencari uang, kalau begitu saya tolak,” ujarnya.
Meski memberikan keuntungan pribadi bagi sebagian orang, tidak jarang kegiatan seperti study tour dilakukan untuk memenuhi kekurangan anggaran sekolah.
Hal ini serupa dengan anggaran untuk kegiatan sekolah.
Bahkan seringkali orang tua/wali dikenai biaya layanan yang harus dikeluarkan.
“Banyak sekolah, termasuk sekolah negeri, kini mengadakan wisata edukasi yang tujuannya dari segi komersial adalah untuk mendapatkan uang. Dan itu seringkali menjadi tanggung jawab orang tua. Kalaupun menutupi anggaran yang tidak termasuk, ada Banyak hal yang tidak bisa dibayar,” kata Indra.
Jika kegiatan wisata edukasi dilakukan dengan tujuan komersial, maka hal tersebut tidak dibenarkan.
Karena tentunya pihak sekolah akan mencari harga vendor yang paling murah untuk menunjang kegiatan tersebut.
Terakhir, biaya rendah disertai dengan risiko keamanan yang harus ditanggung.
“Bisa dibilang kalau ada hubungannya dengan SMK ini (Lingga Kencana Depok) mencari mobil yang paling murah, dan kualitasnya dipertanyakan, akhirnya dapat yang paling murah, rem blong, di akhir, saya tidak menyalahkan Anda, tetapi itu adalah salah satu hal yang mungkin terjadi, ”katanya.
Namun, bukan berarti studi banding harus dihilangkan sama sekali.
Menurut Indra, masih ada sisi positif yang bisa diambil dari kegiatan wisata edukasi.
Salah satunya adalah dapat lebih membuka wawasan siswa.
“Misalnya selama ini mereka hanya tinggal di daerah-daerah langka di Jakarta atau Jabodetabek. Lalu kenangan indah itu muncul kembali ketika melihat atraksi dan sejenisnya. Itu ide yang bagus,” ujarnya.
Untuk mencapai tujuan yang baik tersebut, perencanaan dan pelaksanaannya tentunya harus dilakukan dengan baik.
Indra juga mencontohkan study tour yang rutin diadakan sekolah-sekolah di luar Indonesia.
Dikatakannya, kegiatan wisata edukasi atau sejenisnya memiliki anggaran tersendiri di pemerintahannya.
Dengan demikian orang tua/wali siswa tidak menanggung beban dan pihak sekolah tidak memperoleh keuntungan apa pun dari kegiatan study tour.
“Sekolah di Amerika pun ada program lanjutannya, programnya biasa saja karena harusnya membuka wawasan anak ya. Tapi ya, anggarannya jelas. Kalaupun sekolah negeri, anggarannya ditanggung pemerintah. Bukan itu orang selalu minta bayar, berhenti dimanfaatkan, kata Indra.
Untuk itu kedepannya kegiatan wisata pembelajaran di sekolah-sekolah Indonesia perlu dievaluasi mulai dari perancangan atau perencanaan hingga pelaksanaannya.
Penilaian tersebut bertujuan untuk mengurangi risiko dan beban orang tua, serta mencapai tujuan positif dari perjalanan pembelajaran itu sendiri.
Pemerintah dalam hal ini diwakili oleh Departemen Pendidikan didorong untuk memperbaiki kebijakannya.
“Kita perlu meningkatkan pelayanan agar kehidupan masyarakat tetap dihormati, ini salah satu cara untuk meningkatkan keselamatan masyarakat, dan di mana pemerintah berperan,” kata Indra. (*)