Dennis Destrivan dari Tribunnews.com melaporkan
BERITA TRIBUN.
Sighet menolak rencana pemerintah tersebut. Selain berpotensi melanggar hukum, hal ini juga akan menambah beban penumpang karena maskapai penerbangan menjadi lebih mahal.
Saat dikonfirmasi pada Selasa, 23 April 2024, Sigit mengatakan, “Saya menolak rencana pemerintah membebankan biaya perjalanan kepada penumpang pesawat.”
Menurut Sigit, biaya perjalanan tersebut bisa saja melanggar UU Penerbangan 1 Tahun 2009.
Menurut Pasal 126 UU Penerbangan, tarif angkutan kelas ekonomi ditentukan berdasarkan komposisi tarif jarak jauh, pajak, premi asuransi wajib, dan biaya tambahan.
Dalam undang-undang ini yang dimaksud adalah biaya tambahan (surcharges) karena perusahaan angkutan udara mengeluarkan biaya tambahan di luar perhitungan pajak jarak jauh, termasuk fluktuasi harga bahan bakar (fuel surcharges) dan biaya angkutan udara. Pengeluaran perusahaan. Sebab, saat pesawat lepas landas atau pulang tanpa penumpang, misalnya saat berlibur.
“Undang-undang penerbangan dengan jelas menyatakan bahwa ada empat komponen dalam menentukan harga tiket pesawat: tarif lanjutan, pajak, asuransi, dan biaya,” jelas Siggett.
Sigget menambahkan, tarif pariwisata yang dikenakan pemerintah jelas tidak termasuk pajak penumpang dari tarif tersebut.
“Pajak dan pajak mempunyai arti yang berbeda,” kata Siggett. UU Penerbangan sendiri tidak memiliki definisi mengenai tunjangan perjalanan. “Pemerintah tidak boleh diejek karena jelas-jelas ilegal.”
Di sisi lain, Seagate menilai daya beli yang diatur undang-undang penerbangan juga harus menjadi pertimbangan dalam menentukan harga tiket pesawat.
Seperti diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan penurunan inflasi tahunan pada tahun 2023 disebabkan oleh penurunan komponen inflasi inti yang mengindikasikan melemahnya daya beli.
Sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 Pasal 126 UU Penerbangan, dalam menentukan harga tiket pesawat, selain 4 komponen tersebut di atas, daya beli masyarakat juga harus diperhitungkan. Dari data inflasi BPS tahun lalu, dapat disimpulkan daya beli masyarakat kurang baik.
“Sebaliknya, Passenger Service Charge (PSC) harus dibayarkan kepada setiap penumpang. Jika mereka ingin membebankan biaya perjalanan lagi, itu seperti membebankan biaya tambahan ganda kepada penumpang. Dan tidak semua penumpang naik ke pesawat. tujuan wisata,” ujarnya.
Sighet menekankan bahwa tidak mungkin memungut biaya perjalanan dengan pertimbangan seperti itu dan mendesak pemerintah untuk membatalkan skema tersebut.
Ia melanjutkan, sudah menjadi tugas pemerintah untuk memberikan tarif transportasi yang sederhana dan terjangkau kepada warganya. Alih-alih menuduhnya mengeluarkan perintah presiden, menuntut masyarakat mungkin merupakan tindakan ilegal.
“Banyak masyarakat yang sudah mengeluhkan maskapai saat ini, apalagi jika ditambahkan komponen pajak perjalanan,” kata Sigit. Jadi saya tegaskan kembali penolakan saya terhadap rencana ini. “Berhentilah membebani masyarakat.”
Sebelumnya, pemerintah membuat Keputusan Presiden (Perpres) tentang Dana Pariwisata Berkelanjutan atau Indonesia Tourism Fund. Salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah sumber pendanaan untuk biaya perjalanan.
Pemerintah berencana memungut pajak perjalanan pada penumpang maskapai penerbangan.
Kontribusi sudah termasuk dalam perhitungan tiket.
Rencana tersebut bermula dari undangan pertemuan gabungan Departemen Kelautan dan Investasi untuk membahas rancangan perintah eksekutif Presiden tentang Dana Pariwisata Berkelanjutan yang diterbitkan pada 20 April tahun lalu.