Anak muda bercanda, “Ah, mencari kamar kos yang jendelanya ada di luar, ibarat mencari jarum di tumpukan jerami di Jakarta.”
Sungguh miris sekali mendengar keluh kesah orang-orang ini. Di Jakarta, kamar yang disewakan atau kebanyakan kamar kos atau kamar kos yang berjendela jarang ditemukan.
Bagi sebagian remaja kelas menengah, biaya ini di luar logika dan akal sehat. Akibatnya, penghuni asrama menderita penyakit paru-paru, TBC, dan alergi parah.
Hal ini benar, dan Universitas Pendidikan Indonesia di Bandung melakukan penelitian terhadap desain dan tata letak rumah “asrama” dan menemukan bahwa kurangnya ventilasi di asrama menyebabkan penghuni asrama. menderita tuberkulosis
Misalnya saja di Jakarta, tidak ada peraturan mengenai ventilasi asrama, standar ukuran asrama, atau kualitas bangunan. Dimana sinar matahari?
Pertama izinkan saya menceritakan pengalaman saya, oke? Saya menyewa asrama di Salemba, Jakarta Pusat, dengan harga Rp 2,5 juta per bulan.
Sirkulasi udara di asrama kurang baik. Satu-satunya ventilasi adalah jendela kecil di dalam ruangan – tidak ada sinar matahari, tidak ada jendela luar.
Minggu pertama saya sesak nafas, apalagi saya punya alergi parah. Saya harus menyalakan pendingin ruangan (AC) terus menerus, kalau tidak ruangan akan penuh dan saya akan terbakar. Itulah yang saya rasakan.
Sedangkan hostel di Jakarta harganya Rp 1,5 juta, letaknya di jalan yang sempit dan kotor, kotorannya berbau hitam, terdapat tangga yang sempit dan curam (curam), dan yang ketiga – Itu di atas. lantai ke-empat. Apakah sirkulasi udaranya baik? “Boro-boro!”
Asrama terjangkau di Jakarta dihargai mulai dari 3,5 juta rubel, dan dikelola oleh perusahaan real estate.
Namun, jika standar gaji Upah Rata-Rata Regional (UMR) tahun 2024 di Jakarta hanya berkurang lima juta rupiah, banyak anak muda yang tidak bisa menyewa asrama yang sirkulasi udaranya baik.
Faktanya, jendela menempati setidaknya 10% luas lantai ruangan dan bertanggung jawab atas ventilasi dan akses sinar matahari. Namun kenyataannya, asrama dengan jendela luar jarang ditemukan.
Pada tahun 2023, data asrama provinsi Jabodetabek edisi online Journo dan penelusuran digital melalui Mamikos menunjukkan 809 asrama berjendela dan 918 asrama tanpa jendela.
Artinya, ada banyak asrama tanpa jendela yang disewakan di Jakarta. Penataan ruang di Jakarta sangat kacau sehingga asrama yang berada di jalan sempit pun bisa berbahaya jika terjadi kebakaran di malam hari.
Pernah terjadi kebakaran saat saya tinggal di Materman, Jakarta Timur. Kebakaran terjadi di kawasan padat penduduk pada pukul 23.00. Sulit bagi mobil pemadam kebakaran untuk menjangkau rumah-rumah di dalamnya. Alhasil, anak-anak pesantren (santri asal Indonesia Timur) bergerak tanpa berpikir dua kali. Ada orang yang memindahkan pegas kotak, lemari es, dan truk berat.
Namun, jangan berharap kamar asrama dengan harga antara $5 juta dan $10 juta memiliki fasilitas yang bagus.
Saya pernah menginap di apartemen berukuran 3×3 meter persegi dengan lantai semen dan pintu balkon yang tidak bisa ditutup atau dikunci (sewa harian). Kemewahan tidak hanya membutuhkan AC dan WIFI, namun juga sirkulasi udara yang sehat
Banyak kamar hostel kelas atas yang mengandalkan AC dan WIFI untuk kemewahan semu dengan arsitektur dan desain interior bergaya industrial, meskipun lembab.
Jika mengingat berita viral tahun 2019 tentang penutupan asrama di kawasan Johor, Jakarta Pusat, asrama yang “diperiksa” Pemprov DKI Jakarta hanya berukuran 2×1 meter persegi dan dinilai tidak manusiawi.
Faktanya, hingga saat ini masih banyak kondominium berukuran 1,5 x 2 meter persegi yang disewakan seharga $1 juta.
Hal ini sangat kontras dengan kebijakan kotamadya Morineki di Osaka, Jepang, yang menyediakan perumahan dan apartemen terjangkau bagi penduduk dengan upah minimum serta keluarga dan lajang.
Biaya sewa apartemen kurang dari 15 persen penghasilan bulanan Anda. Pada saat yang sama, para lajang di Jakarta memutuskan untuk pindah ke pinggiran kota Jakarta. Namun ada beberapa jenis transportasi umum seperti Transjakarta, KRL, MRT, dan LRT. Pengejaran apa?
Misalnya, banyak pekerja yang tinggal di Bodetabek harus berangkat kerja pagi-pagi sekali saat langit gelap agar bisa berangkat kerja di Jakarta tepat waktu. Karena keterbatasan finansial, para pekerja terpaksa tinggal di pinggiran kota (pinggiran Jakarta) dan rela pulang larut malam, bahkan diantar ke KRL.
Fakta bahwa sebagian anak muda tidak mampu membayar biaya asrama dan membeli rumah susun yang layak di pusat kota yang dekat dengan perkantoran masih belum terselesaikan. Tidak ada hotline pengaduan.
Daripada sekedar mengeluarkan izin, sebaiknya dilakukan regulasi dan langkah strategis untuk menyediakan akomodasi bagi pemilik asrama.
Sayangnya, terkadang persewaan tidak sesuai dengan janjinya, misalnya toilet mampet atau pompa jet rusak. Tentu saja berpindah dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari asrama baru akan merepotkan karyawan dengan upah standar UMR. Hampir tidak ada batasan bagi pemilik hostel. Sedangkan kamar kos yang disewa saat ini semakin banyak dengan deposit yang mahal.
Di negara-negara maju seperti Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang, peraturan mengenai perumahan dan sewa kamar sangat ketat, mulai dari kualitas perumahan, ukuran ruangan, ventilasi, dan elemen lainnya.
Di Indonesia, karena jaraknya yang jauh dari api, peraturan desain hunian tidak pernah ditegakkan, khususnya untuk asrama. Secara umum, generasi muda tidak punya pilihan selain mempertaruhkan nyawanya dengan menderita penyakit seperti TBC, penyakit paru-paru, dan alergi parah.
Penulis: @faridaindria,
Sebagai seorang penulis dan jurnalis foto, ia senang bepergian ke Indonesia untuk mengeksplorasi dan mendokumentasikan berbagai aspek kehidupan.
*Setiap artikel yang terbit di #DWNesia adalah tanggung jawab penulis.
*Silakan luangkan waktu untuk menyampaikan pemikiran Anda dan berpartisipasi dalam diskusi di halaman Facebook DW Indonesia. Terima kasih.
Mendaftarlah untuk menerima buletin mingguan Wednesday Bite gratis kami. Isi ulang pengetahuan Anda di tengah minggu, dan topik pembicaraan akan semakin menarik!