Viralnya istilah “Chindo” di media sosial saat ini menjadi panggilan sehari-hari bagi warga etnis Tionghoa di Indonesia, tidak hanya di dunia maya, istilah tersebut juga dianggap sebagai jembatan sosial antar warga untuk berkomunikasi dan menghilangkan prasangka sosial. Viralitas media
Istilah Chindo lahir dari tren di media sosial.
Dalam kehidupan sehari-hari, nama etnis Tionghoa di Indonesia mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Melansir kompas.com, pada masa Orde Baru, tepatnya pada tahun 1967, Presiden Sueharto mengeluarkan Surat Edaran Kabinet Presidium Ampera SE-06/Pres.Kab/6/1967 yang menyebut warga keturunan Tionghoa sebagai “Tionghoa”.
Nama ini kembali berubah dan istilah “keturunan Tionghoa” mulai berkembang menggantikan kata Tionghoa. Tak jarang muncul istilah adaptasi Tionghoa-Indo-Inggris di masyarakat. Hanya pada tahun 2023 Menjelang akhir abad ke-19, istilah Chindo menjadi populer dan digunakan secara luas hingga saat ini, terutama oleh generasi muda Chindo dan non-Chido. Pemisahan Chindo, warga etnis Tionghoa?
Meski sudah menjadi tren, pengamat sosial Universitas Indonesia (UI) Devie Rahmawati dalam wawancara dengan Deutsche Welle (DW) menyatakan bahwa segregasi warga etnis Tionghoa di Indonesia sudah berlangsung ratusan tahun. , setahun setelah pendudukan Belanda, bukan berasal dari masyarakat, melainkan merupakan proyek sadar yang dibuat oleh rezim.
“Fenomena Chindo menarik karena merupakan proses baru yang dimulai pada masa reformasi. Sejak masa pendudukan Belanda, hal ini dilanjutkan oleh rezim Orde Baru yang dengan sengaja dan serius memisahkan saudara-saudara kita yang beretnis Tionghoa dengan yang lain. Di Indonesia semua itu tercipta, bukan masyarakat kita yang punya bibit perpecahan.
Meski demikian, Devie tidak memungkiri bahwa era reformasi, keterbukaan politik, dan teknologi merupakan berkah yang patut dirayakan karena mampu memfasilitasi interaksi dan komunikasi warga negara, sehingga menghilangkan perpecahan dan prasangka, terutama terkait isu etnis, serta mengurangi gesekan yang dapat berujung pada konflik. . “Salah satu berkah yang patut dirayakan adalah pemulihan jati diri Indonesia yaitu Bhinneka Tunggal Ika yang kini bisa dicapai secara perlahan dan pasti melalui intervensi teknologi,” jelasnya. Berlangganan buletin mingguan Wednesday Bee gratis. pengetahuanmu di tengah minggu agar topik pembicaraan semakin menarik bagi Chindo dan Generasi Z!
Dimunculkan melalui media sosial, istilah Chindo dengan cepat mendapatkan popularitas di kalangan generasi muda, khususnya Generasi Z yang dikenal sangat dekat dengan dunia digital dan media sosial. Misalnya, Charlenne Kayla Rusli, seorang Gen Z Chindo berusia 24 tahun dari Jakarta, membenarkan bahwa dia yakin hubungan Chindo-non-Chindo kini telah menyatu. Meski tak menampik, pandangan etnosentris masih lumrah di kalangan sebagian masyarakat. Charlenne menjelaskan: “Sekarang sudah lebih baik, jauh lebih baik dari masa Orde Baru. Kita bisa menggunakan nama Tionghoa lagi, kita bisa merayakan Tahun Baru Imlek, di mal juga banyak dekorasinya. Tapi saya rasa masih ada teman-teman Tionghoa yang tidak. tidak punya teman.” Tionghoa sama sekali atau sebaliknya, mungkin karena perbatasan yang dibuat pada masa atau sebelum Orde Baru.
Charlenne pun bercerita kepada DW tentang pengalaman tidak menyenangkan yang dialaminya. “Suatu ketika saya sedang berjalan sendirian di dekat rumah saya dan tiba-tiba ada sepeda motor lewat dan meneriaki saya, awalnya saya kaget, tapi kalau dipikir-pikir di rumah, apakah itu tindakan rasisme yang terselubung?”
Sementara itu, Veronica Anastasia, 24 tahun, warga non-Tionghoa asal Bandung, Jawa Barat, menilai istilah Chindo sering digunakan di kalangan Generasi Z saat ini, setidaknya di kalangan teman-temannya. Memiliki lingkaran pertemanan dengan Chindo, Anastasia tidak menemukan hambatan dalam berkomunikasi atau berkomunikasi.
Sebenarnya perpisahan bisa dilihat dari hal lain, salah satunya percintaan. “Saat kita ngobrol, banyak orang yang membicarakan ketertarikan mereka yang sebenarnya terhadap non-Chids, karena sebagian besar temanku memang mengikuti budayanya, jadi mereka terutama yang berdarah murni, tidak bisa benar-benar mengikuti dan menaati budayanya, kalau kita di lingkaran pertemanan, itu biasa saja,” kata Anastasia. Mengingat kerusuhan Mei 1998, menghormati reformasi.
26 tahun setelah reformasi, banyak di antaranya pada tahun 1998 peristiwa bulan Mei masih menjadi misteri. Kerusuhan, penjarahan, pemerkosaan massal, dan bahkan penembakan telah menjadi tanda hitam dan menonjol dalam sejarah transisi menuju demokrasi di Indonesia, yang salah satunya menyasar komunitas etnis Tionghoa.
Dalam laporan tim investigasi gabungan pada 13-15 Mei. Dalam kejadian tersebut, dijelaskan bahwa sebagian besar kasus kekerasan seksual saat itu ditujukan kepada perempuan etnis Tionghoa. TGPF juga menyebutkan jumlah total korban pemerkosaan massal dan pelecehan seksual yang berani melapor pada tahun 1998 3 Juli ada 168 orang. Protes Kamisan damai yang telah berlangsung selama lebih dari 17 tahun di Gedung Kepresidenan merupakan pengingat akan luka masa lalu yang masih belum tersembuhkan.
Menanggapi kerusuhan tahun 1998, Devie Rahmawati menjelaskan pentingnya mengenang sejarah bagi generasi muda. “Dalam konteks nasional, kita perlu mengingatkan generasi baru bahwa ada titik-titik gelap dalam catatan kelam masa lalu yang perlu diungkap bukan dalam konteks menimbulkan hal-hal negatif, tetapi untuk mengingatkan diri kita sendiri bahwa hal tersebut tidak harus terjadi. . Sekali lagi, kita harus menjalani masa depan dengan tantangan kemanusiaan yang lebih besar dan “tidak ada lagi masalah gesekan etnis,” kata Devie.
Sementara itu, Charlenne menyampaikan harapannya agar pemerintah mengambil tindakan nyata untuk menyelesaikan permasalahan serius hak asasi manusia di masa lalu, yang juga baru pertama kali ikut serta dalam aksi Kamisan. “Saya berharap pemerintah terus melanjutkan, tidak hanya mengakui adanya pelanggaran HAM berat di masa lalu, tapi akan ada langkah-langkah lebih lanjut. Mungkin langkah permintaan maaf atau rekonsiliasi, upaya penyelesaian kasus-kasus tersebut dengan cara yang dapat diterima oleh semua pihak. benar-benar dapat berdamai, dan tidak akan ada lagi penyangkalan”.