TRIBUNNEWS.COM – Wakil Presiden (Wapres) Indonesia Ma’ruf Amin menanggapi kontroversi kenaikan Uang Kuliah Terpadu (UKT) di beberapa perguruan tinggi negeri (PTN) yang dinilainya tidak rasional.
Ma’ruf mempertanyakan apakah istilah universitas adalah pendidikan tinggi sebaiknya tidak digunakan lagi.
Tanggal tersebut sebelumnya telah disampaikan oleh Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tjitjik Sri Tjahjandaria.
“Jadi istilah tersier kemudian menjadi persoalan yang tidak boleh kita pakai, tapi istilahnya lebih pada kebutuhan kita,” kata Ma’ruf, Rabu (22/05/2024) di Mamuju, Sulawesi Selatan.
Ia menegaskan, keputusan mengenai pendidikan tinggi bergantung pada preferensi dan kebutuhan masing-masing orang.
“Tidak semua orang harus ke PT, mungkin hanya untuk mencari uang. Saya kira begitulah,” ujarnya.
Ma’ruf juga meminta agar pernyataan tersebut tidak disalahartikan dengan arti tidak penting menuntut ilmu.
Ia menilai kuliah tetap penting meski tidak wajib.
Sebab, inilah pintu gerbang dunia kerja bagi sumber daya manusia (SDM) profesional papan atas.
“Ya, perguruan tinggi artinya tidak semua orang harus kuliah, tapi bukan berarti tidak penting.
“Nah, mungkin istilah-istilah (tersier) yang membentuk istilah itu sedang dibicarakan,” ujarnya.
Anggota DPR: tidak dilatih
Sementara itu, pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim juga dikecam anggota Fraksi X DPR RI Gerindra Nuroji.
Nuroji mengatakan, pernyataan tersebut sangat tidak mendidik masyarakat karena terkesan menganggap pendidikan tinggi tidak penting. Kritik Nuroji disampaikan saat rapat kerja (raker) bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadie Makari dan Dirjen Pendidikan Tinggi Abdul Haris.
Nuroji dengan tegas menyatakan tidak setuju dengan pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim.
“Tentu saja saya sangat tidak setuju jika pendidikan tinggi dianggap sebagai urusan perguruan tinggi, apalagi yang mengkomunikasikan hal tersebut adalah pejabat dari Kementerian Pendidikan Tinggi.”
“Saya kira sangat tidak konstruktif bagi masyarakat, seolah-olah belajar itu tidak penting,” kata Nuroji, Selasa (21/5/2024).
Nuroji menilai Tjitjik melanggar amanat UUD 1945 dengan pernyataannya.
Konstitusi, kata Nuroji, menyatakan setiap negara wajib menyelenggarakan pendidikan bagi rakyatnya.
“Kami bahkan menghitung biaya wajib sebesar 20 persen. Nah, ini harus kita perjuangkan agar negara bisa membiayai pendidikan tinggi lebih banyak sumber daya manusia dan masyarakat kita,” ujarnya.
Sebelumnya, Tjitjik menanggapi rentetan kritik sejumlah kalangan atas kebangkitan UKT dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu pagi (15/05/2024).
Tjitjik saat itu mengatakan, biaya UKT tetap memperhitungkan seluruh kalangan di perusahaan dan tetap mengikuti pedoman yang berlaku saat ini.
“Itu sebenarnya adalah biaya yang harus ditanggung agar tawaran pendidikan memenuhi standar kualitas. Namun di sisi lain, kita bisa melihat bahwa pendidikan tinggi adalah pendidikan tinggi. Jadi belajar tidak wajib,” kata Tjitjik.
Jadi, lanjutnya, sebenarnya tidak ada keharusan setiap lulusan SMA harus melanjutkan ke perguruan tinggi.
Artinya, tidak semua lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA)/SMK harus melanjutkan ke perguruan tinggi.
“Beda dengan wajib belajar dasar, menengah, dan menengah,” lanjutnya.
Karena merupakan pendidikan tinggi, Tjitjik menegaskan pendanaan pemerintah lebih fokus pada wajib belajar.
“Apa implikasinya karena ini pendidikan tinggi? Pembiayaan pemerintah untuk pendidikan difokuskan pada pendanaan wajib belajar,” ujarnya.
(Tribunnews.com/Milani Resti/Rizki Sandi Saputra)