TRIBUNNEWS.COM – Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran kini menjadi sorotan publik.
Pasalnya, dalam RUU Penyiaran terdapat ketentuan yang melarang jurnalisme investigatif.
Terkait hal ini, Wakil Presiden baru terpilih Gibran Rakabuming Raka ingin undang-undang tersebut dirumuskan secara merata untuk semua kalangan.
“Kami ingin sekali ya, dengan teman-teman media bisa seterbuka itu.”
Serius, kami hanya ingin jujur saja, ujarnya saat ditemui di Loske Cafe, Solo, Jawa Tengah, Senin (20/5/2024), dikutip dari TribunSolo.com.
Sama seperti Gibran, ia terbuka terhadap masukan dan ide dari berbagai pihak.
Termasuk awak media yang terkena dampak undang-undang ini.
“Sekali lagi, kalau ada teman-teman di pers, teman-teman di media, mari kita bicarakan lebih lanjut,” jelasnya.
Menurut keterangannya, RUU Penyiaran dinilai mengancam kebebasan pers karena mengatur mengenai penyiaran eksklusif jurnalisme investigatif.
Larangan ini tertuang dalam Pasal 50B ayat (2) UU Penyiaran baru atau versi Maret 2024.
Pasal 50B ayat (3) kemudian mengatur sanksi bagi pelanggaran aturan pada ayat (2).
Mulai dari teguran tertulis, penundaan waktu tayang, pengurangan durasi konten siaran dan konten bermasalah, penghentian sementara siaran, denda, hingga rekomendasi pencabutan Izin Penyiaran (IPP).
Tak hanya itu, pasal 50B(4) menyebutkan lembaga penyiaran juga dapat dikenakan sanksi berupa teguran dan/atau larangan tampil. Komentar dari Setara Institute
Setara Institute menyoroti beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) yang mengarah pada upaya melemahkan demokrasi.
Sayyidatul Insiyah, peneliti hukum dan konstitusi Universitas Setara, mengatakan hal itu terlihat dari upaya pengendalian konten akun yang mengancam kebebasan berekspresi dan hak menerima informasi.
“UU Evolusi memuat banyak ketentuan yang problematis dan melemahkan demokrasi dan sistem demokrasi, kebebasan pers, kebebasan informasi, dan program hak asasi manusia secara umum yang telah kita perjuangkan sejak awal era Reformasi,” kata Sayyida dalam artikelnya. pidatonya, Jumat (17/5/2024).
Ia menilai UU Penyiaran menyebabkan ruang kota menyusut.
Berdasarkan laporan tahunan Indeks Hak Asasi Manusia, kelompok tersebut secara konsisten menunjukkan bahwa skor indeks kebebasan berekspresi ditunjukkan dengan skor terendah setiap tahunnya.
Indeks Hak Asasi Manusia SETARA Institute menyebutkan bahwa untuk indikator kebebasan berekspresi, penyampaian gagasan belum mendekati angka berimbang yaitu skor 1-7 dengan skor informasi: 1,9 pada tahun 2019; 1,7 pada tahun 2020; 1,6 pada tahun 2021; 1,5 pada tahun 2022; dan 1,3 pada tahun 2023.
Artinya, alih-alih menjamin kebebasan berekspresi, RUU Penyiaran justru berpotensi memperburuk situasi kebebasan berekspresi, terutama dengan membatasi kebebasan jurnalis, kata Sayyida.
Artikel ini sebagian tayang di TribunSolo.com dengan judul: Kontroversi RUU Penyiaran yang Melarang Jurnalisme Investigasi, Gibran: Kami Ingin Kebenaran.
(Tribunnews.com/Deni/Ibriza)(TribunSolo.com/Ahmad)