TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Perayaan Idul Fitri di Indonesia biasanya dijiwai dengan budaya dan kearifan lokal yang berbeda-beda, sesuai dengan adat istiadat masyarakat di suatu daerah.
Selain kebiasaan mudik yang umum dipahami, budaya lain seperti ketupat Idul Fitri di berbagai daerah juga ikut mewarnai kemeriahan Idul Fitri di berbagai daerah.
Menyangkal kontroversi perayaan Ketupat Idul Fitri yang dinilai sebagian kalangan tidak pernah dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW, Ketua Departemen Kerukunan Umat Beragama Majelis Ulama Indonesia (MUI), K.H. Yusnar Yusuf Rangkutty, M.D., Ph.D., menjelaskan tidak ada konflik antara budaya tersebut dengan hukum Islam.
“Mengadakan Ketupat Idul Fitri tidak bertentangan dengan Islam. Hanya orang yang tidak suka yang mengatakan Ketupat Idul Fitri bertentangan dengan syariat. Saya bukan orang Jawa tapi saya suka ketupat Idul Fitri. “Budaya seperti ini hendaknya benar-benar diungkapkan dan tidak melanggar ajaran agama Islam,” kata K.H. Jusnar, Jumat (18.4.2024).
Ia menambahkan, seperti halnya ketupat Idul Fitri yang menjadi adat saat lebaran, mudik atau mudik sebenarnya juga bermula dari adat istiadat masyarakat Indonesia saat libur panjang.
Repatriasi sebenarnya merupakan produk budaya, bukan hukum agama, namun pelaksanaannya dilakukan oleh seluruh umat Islam di Indonesia karena dianggap tidak bertentangan dengan ajaran Islam. KH. Yusnar mengatakan, mudik akan melanggar hukum Islam jika dalam praktiknya pelaku perjalanan dengan sengaja melakukan sesuatu yang membahayakan keselamatannya.
“Kita perlu membangun pemahaman masyarakat, adat istiadat seperti Ketupat Idul Fitri sama saja dengan mudik, tidak ada hal agama yang dilanggar. Namun jika seseorang pulang ke rumah dan naik bus yang penuh sesak lalu terjatuh, itu adalah bunuh diri. “Kalau begitu, maka agama itu haram,” kata K.H. Yusnar.
Ia meyakini, kebiasaan mudik saat lebaran yang banyak terjadi di masyarakat Indonesia, akan lebih baik lagi jika dilembagakan atau difasilitasi oleh Pemerintah. Seperti melalui program perbaikan jalan pada jalur mudik, sehingga masyarakat dapat kembali dengan nyaman ke tempat asal.
Menurut KH. Yusnar, adat istiadat yang sarat kearifan lokal seperti mudik dan ketupat saat lebaran patut diapresiasi karena dapat berdampak positif terhadap keharmonisan masyarakat Indonesia.
“Saya rasa berbagai kearifan lokal yang ada sudah menjadi kebiasaan dan akhirnya menjadi budaya masyarakat di Indonesia. Termasuk mudik, artinya mengunjungi orang tua dan keluarga di tempat asal, ujarnya.
Menanggapi pro dan kontra adat masyarakat pasca Idul Fitri seperti ketupat Idul Fitri, KH. Jusnar justru berpendapat bahwa pemerintah harus melembagakan pelaksanaannya. Dengan kebijakan resmi, negara berperan aktif dalam keharmonisan sosial dan pelestarian tradisi dan budaya.
Ketua Dewan Pertimbangan Eksekutif Al-Washliya ini juga berharap, segala bentuk kearifan lokal yang memeriahkan Ramadhan Idul Fitri dapat berkontribusi dalam membangun moderasi beragama yang lebih baik.
KH. Yusnar meyakini, partisipasi dalam menjaga dan melestarikan nilai-nilai dan kearifan lokal dapat menghindarkan masyarakat atau kelompok masyarakat dari pengaruh intoleransi dan radikalisme.
Mereka yang cenderung menolak praktik budaya dan kearifan lokal seringkali tidak memahami agama secara komprehensif dan berpandangan sempit terhadap segala hal.
“Karena ketika budaya dibangun menjelang Idul Fitri, tidak ada intoleransi. Misalnya saat pulang kampung, saat pemudik singgah di berbagai masjid, ada warga sekitar yang menyediakan minuman. Warga lainnya bahkan mengajak pemudik yang singgah untuk beristirahat di rumahnya. “Ini hanya dari kegiatan rumah tangga, tidak lebih,” imbuhnya.
Wajar jika praktik keagamaan di Indonesia diwarnai oleh budaya dan adat istiadat yang berbeda. Sebagai negara yang memiliki begitu banyak suku, bangsa, agama dan kepercayaan, perbedaan dalam praktik kehidupan merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari dan tidak ada yang dapat menghentikannya.
“Indonesia adalah negara yang luar biasa. Menurut saya, negara kita sangat menarik untuk dipelajari. Betapa tidak, Jazirah Arab mempunyai bahasa, kulit, dan dataran yang sama, namun bisa terbagi menjadi sekitar 19 negara. “Indonesia lebih banyak perbedaan bahasanya, kulitnya, di tempat yang berbeda, tapi tetap bisa bersatu,” jelas K.H. Yusnar.