Harga BBM Berpotensi Naik Pemerintah Harus Genjot Penggunaan Kendaraan Listrik di Indonesia

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Direktur Center for Food, Energy and Sustainable Development (CFESD) Institute for Economic Development and Finance (INDEF), Avra ​​​​Talatov menyarankan pemerintah segera meningkatkan penggunaan kendaraan listrik (EV). di tengah risiko kenaikan harga minyak global dan devaluasi nilai tukar rupee.

“Pemerintah harus mempertimbangkan penggunaan mobil listrik sebagai langkah alternatif untuk mengurangi konsumsi bahan bakar di tengah kenaikan harga minyak global dan melemahnya rupee terhadap dolar AS. “Dengan cara ini, subsidi energi dapat dikurangi dan beban fiskal negara berkurang,” kata Abera kepada wartawan, Kamis (25 April 2024).

Menurut dia, penggunaan kendaraan listrik otomatis akan mengurangi konsumsi bahan bakar untuk pemanas sehingga menguras anggaran APBN. “Usulan ini baik bagi pemerintah agar subsidi energi dapat ditentukan secara akurat,” kata Avra.

Nantinya, subsidi energi akan dikompensasikan melalui konsumsi listrik melalui penggunaan kendaraan listrik. Menurut dia, solusi yang jarang dibicarakan pemerintah ini terutama terkait dengan cara penyelesaian masalah ketahanan energi yang holistik.

Menurut dia, tahun lalu pasokan listrik mencukupi bahkan sempat berlebih hingga 40 persen atau setara 6 gigawatt.

“Dengan meningkatkan penggunaan kendaraan listrik, maka akan terjadi substitusi konsumsi bahan bakar sebelumnya menjadi konsumsi listrik,” ujarnya.

Dengan begitu, jelas Avra, akan terjadi pengurangan impor bahan bakar kendaraan bermotor. Belum lagi negara juga bisa mendapatkan keuntungan dari penggunaan listrik yang saat ini masih berlebihan.

Saat ini di tahun 2024, tambah Abra, perkiraan nilai tukarnya adalah Rp 15.000 per dolar. Jadi per hari ini kurang lebih Rp 16000.

Jika harga minyak naik, pemerintah tidak punya pilihan selain menaikkan anggaran subsidi. Artinya kedua risiko ini menjadi bagian dari potensi peningkatan defisit migas kita, dan yang ketiga adalah risiko melampaui batas, misalnya harga naik, kata Avra.

Situasi ini sangat berbahaya ketika pemerintah tidak mengantisipasi sejak awal betapa besar potensi migrasi dari BBM tidak bersubsidi ke BBM bersubsidi, lanjutnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *