Pengamat menilai kematian taruna STP itu tidak disengaja. Hal ini disebabkan ketidakpedulian pejabat terhadap budaya kekerasan di sekolah obligasi.
Namun, Kementerian Perhubungan menyatakan hal tersebut merupakan perbaikan dibandingkan kasus sebelumnya.
Menurut Ubaid Matraji, koordinator nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), kekerasan terhadap anak di bawah umur merupakan masalah serius. “Kurikulum Tersembunyi” di lembaga pendidikan yang berafiliasi resmi.
“Sebenarnya itu kelalaian. Jelas bahwa tidak seorang pun boleh tahu tentang kejadian seperti itu. “Tanyakan pada korban. Silakan lanjutkan penyelidikan. Pasti kita cari tahu,” kata Ubaid kepada BBC News Indonesia, Minggu (05/05).
Namun, Juru Bicara Kementerian Perhubungan Atitha Irrawaddy membantah adanya kekerasan di sekolah milik Kementerian Perhubungan tersebut.
“Kekerasan tidak diperbolehkan di sekolah mana pun. Berdasarkan komunikasi BPSDM, “hal ini tidak bisa diabaikan,” kata Adita melalui keterangan tertulis.
Selain itu, dia mengatakan Kementerian Perhubungan telah membentuk tim untuk melakukan penyelidikan resmi atas kejadian tersebut. dan penguatan pengawasan taruna dan taruna sekolah menengah di bawah Kementerian Perhubungan.
Sementara itu, Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Kelautan (STIP) Ahmad Wahid mengatakan budaya kekerasan sudah diberantas. Meski taruna STIP ini tewas, kekerasan terus terjadi.
“Kami menghancurkan budaya itu. Ini murni budaya antar manusia,” kata Vahid mengutip Antara.
Lantas, mengapa kematian taruna di lembaga pelayanan publik berulang? Kekerasan Menginspirasi ‘Arogansi Lansia’ Keluarga Korban Tuntut Keadilan
Menurut Kompol Gideon Arif Setyawan, korban dinyatakan meninggal dunia pada Jumat (03/05) setelah ditusuk sebanyak lima kali di bagian ulu hati.
Dalam jumpa pers tersebut, Gideon menjelaskan, korban, seorang taruna STIP tahun pertama, dan empat orang teman sekelasnya telah didisiplin oleh orang dewasa karena mengenakan seragam olahraga ke kelas.
Informasi tersebut diduga merupakan kekeliruan empat lelaki tua yang membawa korban dan empat orang lainnya ke kamar mandi untuk dipukuli.
“Mereka menyebutnya tradisi taruna. Penindakan dilakukan terhadap remaja tersebut karena menurut orang dewasa telah terjadi sesuatu.
“Korban menerima pukulan pertama. Empat lainnya tidak punya waktu,” kata Gideon.
Korban jatuh pingsan setelah terkena benturan. Para tetua mencoba membantunya dengan memasukkan jari mereka ke dalam mulut untuk membuka jalan napas, namun hal ini mengakibatkan kematiannya.
“Ini menghalangi oksigen. Ini menutup jalan napas dan menyebabkan organ-organ vital kekurangan oksigen, sehingga mengakibatkan kematian,” jelasnya.
Pada Sabtu (04/05), penyidik Polres Jakarta Utara menetapkan Putu Satriya Ananta Rastika sebagai senior TRS (21 tahun) dan diduga melakukan penyerangan terhadap taruna Jakarta.
Gideon mengatakan TRS merupakan satu-satunya tersangka dalam kasus ini.
“Karena dia menyerang sendirian. “Orang lain tidak melakukannya, temannya tidak melakukannya di ruangan yang sama,” ujarnya kepada BBC News Indonesia.
Tumbur Aritonang, kuasa hukum keluarga korban, mengatakan keluarga mengapresiasi tindakan cepat Polres Jakarta Utara.
Meski demikian, pihak keluarga tetap mengharapkan keadilan dan akuntabilitas bagi semua pihak yang terlibat. Dan kasus ini tidak berhenti pada satu terdakwa saja.
“Kalaupun bilang tidak tahu, STIP perlu ditingkatkan. atau pengawasan yang ketat, namun pada praktiknya telah terjadi kematian dan memerlukan evaluasi yang cermat. “Kami berharap demikian,” kata Tumber kepada BBC News Indonesia.
Ia mengatakan, keluarga korban kaget mendengar kematian Putu. Sebab menurut keluarganya, Putu adalah “orang cerdas yang mampu melindungi dirinya sendiri. Dan tidak ada musuh di sekolah.”
“STIP tidak pernah ada cerita buruk atau ada orang yang menindasnya,” ujarnya.
Meski begitu, Tumber mengatakan pihaknya kini mencurigai Puthu bukan satu-satunya korban kekerasan terkait senioritas. Namun hal itu juga terjadi pada taruna lainnya.
Oleh karena itu, mereka berharap kejadian ini segera diusut dan diambil tindakan serius agar kejadian serupa tidak terulang kembali.
“Kejadian ini tidak terjadi satu kali pun. Berapa kali berakibat fatal? Oleh karena itu, kami berharap tim investigasi yang dibentuk Kementerian Perhubungan mampu mengambil keputusan yang tepat, ujarnya.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji Putu mengatakan meninggalnya Putu menyebabkan peningkatan kasus kekerasan terhadap siswa di lembaga pendidikan.
“Lama-kelamaan menjadi kebiasaan. “Ini menjadi sistem yang buruk. ekosistem yang buruk Kemudian mencapai lantai paling bawah. Ini masalah pola mental,” katanya.
Lain halnya dengan taruna STIP Jakarta Utara yang meninggal pada tahun 2017 akibat kekerasan yang dilakukan mahasiswa bernama Amirullo Adityas Putra.
Tiga tahun kemudian, tepatnya pada tahun 2021, seorang mahasiswa Politeknik Ilmu Kelautan (PIP) Semarang meninggal dunia setelah diserang oleh siswa SMA. Klaim “Pelatihan”.
Situasi serupa juga terjadi pada tahun 2019 di Institut Teknologi dan Keselamatan Penerbangan (ATKP) Makassar, dimana seorang taruna bernama Aldama meninggal dunia akibat kekerasan fisik yang dilakukan oleh taruna senior.
Ketiga sekolah negeri tersebut berada di bawah Kementerian Perhubungan.
“Ada pengabaian senioritas. Tidak ada penegakan hukum “Ini adalah bagian dari perilaku segelintir orang pada awalnya. Namun kemudian menyebar dan menjadi sistematis,” kata Ubaid.
Namun, Ubaid mengingatkan, tidak hanya sekolah negeri yang berada di bawah kendali Kementerian Perhubungan. Sebab, tidak menutup kemungkinan budaya militer juga akan muncul di lembaga pendidikan negara lainnya.
“Langkah preventif ini tidak hanya dilakukan pada satu institusi saja. Tapi nyatanya kejadian di lembaga ini menjadi pembelajaran bersama yang bisa diterapkan ke semua lembaga lainnya,” ujarnya.
Oleh karena itu, disarankan agar pemerintah memasukkan jumlah kekerasan terhadap siswa sebagai faktor evaluasi dalam tinjauan akreditasi lembaga pendidikan.
Senada, pakar pendidikan karakter Doni Kosoma mengatakan budaya pelecehan terhadap orang tua masih terjadi di banyak sekolah negeri.
“Kekuasaan elite di pendidikan formal harus segera dihapuskan. “Budaya ini bertahan karena ada kesalahan dalam proses penanamannya di lingkungan pendidikan formal,” kata Dhoni kepada BBC News Indonesia.
Menurutnya, tragedi ini terulang kembali karena “kesalahan” kontrol eksternal dalam menangani kekerasan di bidang pendidikan pelayanan publik.
“Akar masalahnya adalah sistem pendidikan publik dan pelatihan guru tidak berada pada tingkat yang tepat. Oleh karena itu, tidak ada perubahan nyata dalam pendidikan masyarakat,” ujarnya.
Oleh karena itu, kata dia, perlu dilakukan rekonstruksi menyeluruh terhadap sistem pendidikan dan pelatihan di sekolah negeri. Petunjuk membesarkan anak dan kondisi kehidupan di asrama sesuai kurikulum
BBC Indonesia berupaya menghubungi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Anang Ristanto, Kepala Biro Kerja Sama dan Humas Pelaksana Harian (Plh) Indonesia.
Namun Anang menolak berkomentar. Sebab, kata dia, GTIP merupakan lembaga pendidikan yang berada di bawah Kementerian Perhubungan. Bagaimana tanggapan pimpinan Sekolah Tinggi Ilmu Transportasi (STIP) dan Kementerian Perhubungan?
Dalam pertemuan dengan sejumlah media, Ketua STIP Ahmad Wahid mengatakan, pihaknya akan mengapresiasi perbaikan atas segala permasalahan. masih kurang dalam pengawasan
“Kami mohon maaf sebesar-besarnya kepada mereka dan ya, pihak keluarga memahami apa yang kami jelaskan terkait hal ini,” kata Ahmad kepada Kompas.com.
Ia juga menegaskan, tingginya budaya kekerasan terhadap anak di bawah umur sudah dihilangkan di STPP.
“Tidak ada budaya gosip di universitas ini. Dan ini penyakit genetik yang bersifat tetap,” kata Wahid Antara.
Gideon yang berbicara terpisah mengatakan, dalam kasus ini, kekerasan terhadap remaja yang dilakukan oleh orang tua mungkin sudah menjadi budaya sehari-hari dibandingkan budaya resmi STIP.
“Saya pikir sekolah sebagai institusi harus benar-benar memiliki sistem nol toleransi untuk mencegah kekerasan. “Ini harus menjadi pedoman bagi seluruh institusi pendidikan,” ujarnya kepada BBC News Indonesia.
Juru Bicara Kementerian Perhubungan Adita Irawati mengatakan penyelidikan internal yang dilakukan tim independen masih berlangsung. dan dalam proses mengevaluasi perbaikan.
Ia mengatakan, hasil evaluasi komposisi kampus STIP akan diterapkan di sekolah lain. di bawah naungan BPSDMP untuk mencegah terulangnya kekerasan.
“Ditjen Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Perhubungan juga telah mengambil langkah-langkah internal terhadap berbagai elemen di kampus yang dinilai sesuai dengan peraturan yang ada. Hal ini untuk mencegah kejadian serupa terulang kembali di kemudian hari,” jelas Adita.
Saat ditanya alasan terulangnya kejadian serupa di lembaga pendidikan di bawah Kementerian Perhubungan, Adita mengatakan tindakan kekerasan tidak akan pernah bisa ditoleransi. dan masih dalam evaluasi.
“Itu diapresiasi. Karena sebelum itu banyak perbaikan,” ujarnya.
Sedangkan untuk terduga pelaku, Adita menginformasikan kepada BPSDM Perhubungan bahwa status tarunanya telah dicabut. Agar tidak mengganggu proses hukum yang sedang berjalan.
Dalam keterangan resminya, Plt Kepala BPSDMP Subaquio mengatakan pihaknya akan melakukan penilaian. Hal ini mencakup tindakan internal mengenai komposisi dan gaya pendidikan anak di perguruan tinggi. Hal ini harus dinilai sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
BPSDMP juga akan menambah kamera CCTV di setiap kampus. Tingkatkan jumlah wali atau pengawas Hilangkan aktivitas yang dapat menyebabkan kekerasan. dan secara aktif melibatkan pemangku kepentingan untuk berperan aktif dalam proses pembentukan karakter seperti Ikatan Alumni dan Ikatan Profesi Maritim