TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Bambang Hero Saharjo mengaku tak menyerah jika kembali ikut menghitung kerugian negara akibat kerusakan lingkungan akibat tindak pidana korupsi.
Bambang, pakar lingkungan hidup, mengatakan tindakannya sebelumnya merupakan bentuk jihad untuk mencegah kerusakan lingkungan negara.
Hal itu diungkapkan Bambang menanggapi laporan polisi terhadap dirinya yang dituduh memberikan informasi palsu mengenai kerugian keuangan negara dalam kasus korupsi lembaran logam.
“Ini memang jihad saya yang ingin saya lakukan setelah Lillahitaal untuk mencegah kerusakan lebih lanjut pada negara ini,” kata Bambang saat dihubungi Tribunnews.com, Minggu (12/12/2025).
Ia pun menegaskan masih bersedia menghubungi penegak hukum kembali meski kini menghadapi tuntutan pidana setelah didakwa membuat pernyataan palsu.
Sebab, menurutnya, jika berhenti menghitung kerugian negara akibat tindak pidana korupsi, maka hanya akan melegalkan terjadinya kerusakan lingkungan hidup.
“Jika saya bisa melakukan sesuatu, mengapa tidak? Kalau nanti saya tahu karena ini sudah berhenti, itu sama saja dengan membuat undang-undang. Agama saya melarang terjadinya kerusakan di muka bumi,” ujarnya.
“Saya yakin saya tidak berjuang sendirian,” tambahnya. Anggap saja sudah sesuai prosedur dan hakim menerimanya
Bambang Hero Saharjo mengaku kaget dilaporkan ke Polda Bangka Belitung dengan tuduhan memberikan keterangan palsu untuk menghitung kerugian negara dalam kasus korupsi bisnis timah.
Bambang mengatakan, perhitungan kerugian negara akibat kerusakan lingkungan dalam kasus timah ini dilakukan sesuai prosedur dan juga diputuskan oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.
“Saya mengikuti prosedur dan menyampaikan detail prosesnya menggunakan presentasi, satelit, dll. 2025).
Dia juga menyatakan, Kejaksaan Agung sebagai pihak yang berkepentingan tentu sudah protes sejak awal meski ada informasi palsu mengenai kerugian keuangan negara dalam kasus timah tersebut.
Tak hanya kejaksaan, auditor Badan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang memantau masalah tersebut, kata Bambang, ikut serta dalam penghitungan tersebut.
“Belum di pengadilan, sedang dipertimbangkan oleh jaksa, belum lagi pengacara, belum lagi dewan yang beranggotakan lima orang. Kok saya yang jadi subjek Bankcakan itu dikepung orang banyak,” kata Bambang.
Bambang mengaku sejauh ini belum mendapat informasi apa pun dari polisi, setelah sebelumnya melaporkan hal tersebut ke Polda Banga Belitung.
Ia menjelaskan, laporan polisi tersebut baru diketahuinya melalui pemberitaan di media massa.
“Sampai saat ini saya belum mendapat informasi apa pun, baik dari Polda, maupun dari mana pun, dan saya juga tidak mengetahui adanya laporan tersebut,” ujarnya.
Namun, untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, Bambang mengaku telah menyampaikan laporan tersebut kepada Kejaksaan Agung dan merupakan salah satu pihak yang menunjuknya sebagai ahli dalam kasus tersebut.
“Tapi saya lapor ke Kejaksaan Agung, mereka minta,” ujarnya. Tanggapan Jaksa Agung
Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Harli Siregar menilai prinsip harus dipegang teguh oleh semua pihak.
Pasalnya, Bambang Hero selaku ahli proses saat itu menyatakan pendapatnya dalam memperkirakan kerugian negara berdasarkan temuan yang kemudian diolah dan dihitung oleh auditor negara.
Perhitungan kerugian keuangan negara berdasarkan permintaan jaksa penuntut umum penyidik, kata Harli, Jumat (1 Oktober 2025).
Selain itu, lanjut Harli, pengadilan melalui majelis hakim juga menemukan adanya kerugian negara sebesar Rp300 triliun dalam kasus tata niaga komoditas timah.
Dalam kasus ini, pengadilan juga sependapat dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang sebelumnya mendalilkan kerusakan lingkungan hidup yang terjadi dalam kasus ini merupakan kerugian negara.
Berdasarkan hal tersebut, Harli mengaku heran mengapa masih ada masyarakat yang meragukan keterangan ahli hingga berujung pada laporan polisi.
“Dalam putusannya, pengadilan mencatat kerugian negara dalam kasus ini sebesar Rp 300 triliun. Jadi apa keraguan kami terhadap pendapat ahli bahwa hal ini harus dilaporkan?”