TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Proyek kontroversial pembangunan gedung apartemen 18 lantai di kawasan Kedutaan Besar India menuai tuntutan hukum dari warga.
Setelah kalah dalam perkara di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Provinsi pada 29 Agustus 2024, Pemda DKI di Jakarta telah mengajukan banding dan diperkirakan akan dimulai persidangan dalam waktu dekat.
“Ini gambaran proyek pembangunan skala besar yang tidak memperhatikan proses hukum,” kata David Tobing, kuasa hukum warga, kepada wartawan, Selasa (26/11/2024).
Seperti diketahui, gedung Kedutaan Besar India dibangun di Jl. Departemen sumber daya manusia. Rasna Syed Kav. Izin Mendirikan Bangunan (PBG) yang dikeluarkan oleh S-1, Setiabudi, Jakarta Selatan, Pemkab DKI.
Warga yang tinggal di sekitar lokasi pembangunan menyuarakan penolakannya dalam berbagai pertemuan dengan organisasi terkait.
Hal ini karena pemerintah daerah tidak dilibatkan dalam rencana pelaksanaan atau prosedur persetujuan.
Oleh karena itu, tak berlebihan jika ada sebanyak 24 warga yang mengajukan gugatan ke PTUN Jakarta dengan nomor perkara 93/G/2024/PTUN.JKT.
Gugatan tersebut secara khusus bertujuan untuk membatalkan izin PBG, dengan tuduhan pelanggaran hukum dan tidak mengikuti proses hukum terkait izin analisa dampak lingkungan (AMDAL).
Seperti yang dijelaskan David, PBG adalah persetujuan atau izin mendirikan bangunan yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk membangun, merenovasi, memelihara atau mengubah suatu bangunan.
Begitu pula dengan pembangunan gedung Kedutaan Besar India di Jakarta.
Pada 14 Juni 2024, warga terdampak juga mengajukan pengaduan ke polisi ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur (PN Jaktim) terhadap tiga pihak yang diduga merugikan warga, yakni PT Waskita Karya (kontraktor pembangunan (PMH). terdakwa. I, Kedutaan Besar India sebagai Tergugat II dan PT Bita Enarcon Engineering (Konsultan Proyek) sebagai Tergugat III.
Dalam gugatannya, warga menuntut ganti rugi sebesar Rp 3 triliun atas kerusakan ringan yang dialaminya dan denda sebesar Rp 10 juta setiap hari tidak menghentikan pembangunan sesuai perintah pengadilan.
Kejadian ini dilakukan bukan tanpa alasan. Terutama dalam hal perizinan.
Warga menduga ada unsur penipuan dalam penerbitan izin PBG, termasuk kesalahan tanda tangan pejabat PBG pada dokumen.
Mereka juga menyoroti prosedur administratif yang tidak memadai untuk mengeluarkan izin.
Kedua, AMDAL dan belum adanya izin lingkungan. Warga menuturkan, proyek tersebut dilaksanakan tanpa izin sah dari AMDAL dan tanpa izin tertulis dari warga terkait, yang merupakan syarat dalam tata cara izin mendirikan bangunan.
Yang paling penting adalah kurangnya partisipasi warga. Warga tidak merasa dilibatkan dalam proses perencanaan dan perizinan serta hak-hak mereka karena warga terdampak langsung tidak dihormati.
Mereka juga menduga pihak-pihak yang tercatat sebagai warga terdampak dalam dokumen izin kemungkinan adalah masyarakat yang tinggal jauh dari lokasi pembangunan.
Perjuangan warga untuk mendapatkan keadilan saat ini tidak sia-sia, seiring sidang dan putusan PTUN Jakarta, yakni pada 29 Agustus 2024, PTUN Jakarta mengakui gugatan warga dengan nomor perkara 93/G/2024/PTUN.JKT. T. .
Majelis hakim yang dipimpin Hastin Kurnia Dewi bersama dua hakim lainnya, Arifuddin dan Justan Abitoyb, menyatakan pembatalan izin mendirikan bangunan (PBG) bernomor SK-PBG-317402-01092023-001.
Isi putusan PTUN di Jakarta memerintahkan DPMPTSP Kabupaten DKI Jakarta menghentikan sementara pembangunan gedung sampai putusan mempunyai kekuatan hukum tetap.
Akibat keputusan tersebut, seluruh aktivitas konstruksi yang dilakukan oleh PT Waskita Karya sebagai kontraktor harus dihentikan.
Atau seperti ucapan pengacara warga, David Tobing, yang meminta DPMPTSP dan Kedutaan Besar India menghormati keputusan PTUN dengan menghentikan pembangunan.
Ia menekankan pentingnya kepatuhan terhadap hukum, termasuk entitas asing yang beroperasi di Indonesia, untuk menunjukkan bahwa supremasi hukum Indonesia berlaku adil bagi semua entitas.
Permasalahan ini masih naik ke tingkat atau daya tarik berikutnya, namun sebenarnya tidak perlu muncul jika terpenuhi kondisi ideal untuk bangunan di kawasan perumahan.
Memastikan AMDAL dibuat dan disetujui dengan kajian dampak lingkungan yang lengkap dan izin masyarakat.
Caranya adalah dengan mengajak masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses perencanaan dan meminta masukannya.
Dengan memasukkan rencana mitigasi ke dalamnya. Mengurangi dampak negatif selama dan setelah konstruksi.
Kedutaan Besar India menyampaikan tentang pembangunan gedung Kedutaan Besar India yang terletak di Jl. Departemen sumber daya manusia. Rasna Syed Kav. S-1, Setiabudi, Jakarta Selatan.
Banyak perbincangan di media sosial mengenai pembangunan gedung baru tersebut.
Sementara itu, warganet menyoroti konsep gedung baru 18 lantai yang berbeda dengan rata-rata gedung kedutaan lain di Jakarta.
Pejabat kedutaan India menekankan bahwa informasi yang beredar di media sosial tidak berdasar.
Kedutaan juga menduga rumor tersebut merupakan bagian dari upaya sistematis untuk menyesatkan masyarakat dan merusak reputasi kedutaan.
“Tuduhan tersebut sama sekali tidak berdasar dan sengaja disebarkan oleh orang-orang yang mempunyai motif tersembunyi,” kata KBRI melalui keterangan tertulisnya, Senin (25 November 2024).
Lebih lanjut, Kedutaan Besar India memberikan klarifikasi mengenai beberapa hal terkait hal tersebut.
Pertama, soal perumahan di dalam KBRI. Kedutaan mengatakan apartemen itu hanya akan digunakan oleh staf kedutaan.
“Kediaman tersebut tidak untuk tujuan komersial dan sesuai dengan norma diplomatik internasional, orang luar tidak diperbolehkan memasuki lokasi aman kedutaan,” ujarnya.
Kedua, berkaitan dengan norma keamanan diplomatik. Kedutaan menjelaskan bahwa secara global, staf kedutaan tinggal di lingkungan kedutaan untuk alasan keamanan dan logistik.
Praktik ini sejalan dengan pengaturan yang dibuat oleh banyak kedutaan besar lainnya di Jakarta dan seluruh dunia.
Ketiga, terkait hubungan timbal balik dengan KBRI New Delhi.
KBRI New Delhi memiliki tempat tinggal terpisah untuk stafnya di dalam lingkungan kedutaan. ]
“Lahan yang disediakan pemerintah India di New Delhi sangat luas, sehingga tidak seperti di Jakarta yang terbatas, tidak menutup kemungkinan untuk membangun gedung-gedung bertingkat rendah,” imbuhnya.
Keempat, terkait keterbatasan lahan di Jakarta. Oleh karena itu, satu-satunya solusi yang mungkin adalah pembangunan vertikal 18 lantai untuk mengakomodasi kebutuhan operasional kedutaan dan akomodasi staf.
Kelima, lokasi gedung KBRI dikelilingi gedung-gedung bertingkat. Anda dapat memeriksanya hanya dengan mengunjungi lokasi atau menggunakan alat seperti Google Maps.
Bangunan baru ini selaras dengan karakter kawasan sekitarnya.
Isu keenam menyangkut penegakan hukum.
Kedutaan Besar India mengatakan telah memperoleh semua izin hukum yang diperlukan untuk pembangunan gedung tersebut. Harap dicatat bahwa klaim apa pun yang bertentangan adalah sepenuhnya salah.
“Klaim yang menyatakan sebaliknya adalah sepenuhnya salah dan tampaknya merupakan bagian dari strategi oportunistik untuk menyesatkan netizen dan menodai hubungan bilateral yang kuat antara India dan Indonesia. “Kami juga mempertanyakan hak kedaulatan pemerintah India untuk memberikan izin “membangun sebuah negara kedutaan jika perlu,” tulis kedutaan India.
Mengingat situasi ini, Kedutaan Besar India menghimbau warganya untuk memeriksa fakta sebelum mengambil kesimpulan atau menyebarkan informasi palsu yang secara tidak sengaja dapat merusak persahabatan lama antara India dan Indonesia.
“Kedua negara memiliki sejarah, budaya, perdagangan, ekonomi dan kerja sama pembangunan yang sama selama berabad-abad, yang tidak dapat dirusak oleh tuduhan yang tidak berdasar,” tutupnya. (*)