Rencana pemerintah Indonesia untuk menebangi 20 juta hektar hutan—dua kali luas Pulau Jawa—untuk proyek pangan dan energi diyakini akan menyebabkan ketimpangan kepemilikan lahan antara korporasi dan masyarakat.
BBC News Indonesia mewawancarai warga Suku Anak Dalam di Jambi, aktivis lingkungan hidup, dan peneliti.
Hutan dua kali luas Pulau Jawa yang akan ditebang ini lebih besar dibandingkan program perhutanan sosial era Joko Widodo yang juga dikritik karena “hanya memberikan pinjaman, bukan memberikan hak atas tanah kepada masyarakat”.
Pidato ini pertama kali disampaikan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni pada 30 Desember lalu. Ia mengatakan, rencana ini sudah dibicarakan secara informal dengan Presiden Prabowo Subianto.
Di kawasan itu, kata Raja Juli, pemerintah antara lain ingin menanam padi sebagai basis gudang pangan dan pohon palem sebagai sumber energi bioetanol.
Ini bukan hanya peternakan besar, tapi juga gudang pangan kecil di kecamatan, lingkungan, bahkan desa, ujarnya.
Pemerintah, kata pegiat lingkungan hidup, harus membantu warga meningkatkan sumber daya hutan, seperti masyarakat Dayak Seberuang di Kalimantan Barat yang secara mandiri memanfaatkan aliran sungai untuk menghasilkan listrik.
Di sisi lain, membiarkan warga hidup tanpa hak atas hutan diyakini akan mengulangi kisah komunitas Orang Rimba di Taman Nasional Bukit Dua Belas – yang kini mulai menanam pohon palem untuk mencari nafkah.
Merujuk penelitian terbaru, penggundulan hutan yang diusung pemerintahan Prabowo dikhawatirkan akan menghancurkan bahasa asli masyarakat adat. Kisah Orang Rimba yang berpisah dari hutan nenek moyangnya
Warga Kampung adalah pria berusia 35 tahun dari suku Anak Dalam di Jambi. Seperti nenek moyangnya, mereka tinggal di hutan yang ditetapkan sebagai Taman Nasional Bukit Duabelas sejak tahun 2000.
Masyarakat hutan hidup berkelompok dalam budaya berburu. Mereka bersifat nomaden – berpindah dari satu kawasan hutan ke kawasan hutan lainnya.
Perubahan gaya hidup ini terjadi ketika kerabatnya meninggal. Dalam bahasa aslinya, masyarakat Rimba menyebut tradisi ini dengan kata melangun.
Namun, setiap tahun, perkebunan kelapa sawit yang dikelola perusahaan bermunculan di dekat taman nasional. Akibatnya, komunitas Pengendum dan Orang Rimba dengan gaya hidup nomaden sering kali menghadapi keamanan perusahaan.
Pemanfaatan hutan oleh masyarakat Rimba juga terhambat oleh pemukiman imigrasi yang dibuka sejak masa Orde Baru.
“Kalau kita bicara tempat hidup orang Rimba, itu seperti hutan tempat mereka dilahirkan, ada hutan untuk berburu atau menjelajah,” kata Pengendum, Selasa (07/01).
“Ketika salah satu warga meninggal dunia, kami harus melakukan perjalanan meninggalkan duka. Tempat ini untuk kedepannya kini menjadi kawasan imigrasi dan perkebunan kelapa sawit,” ujarnya.
Pengendum adalah manusia hutan yang unik. Ia adalah salah satu dari sedikit Orang Rimba yang mengenyam pendidikan formal dan kini menyelaraskan kehidupan perkotaan dengan tradisi nenek moyangnya.
Saat berusia 11 tahun, Penendum mengabaikan permintaan orang tuanya untuk berhenti bersekolah. Pendidikan, menurut kepercayaan ayah dan ibunya, akan membuat Pengendum berhubungan dengan roh jahat.
Pada tahun 2001, seorang warga memutuskan untuk masuk ke Sokola Rimba, sebuah pusat pendidikan alternatif yang didirikan oleh antropolog Butet Manurung untuk suku Anak Dalam.
Pengendum tidak mengenyam pendidikan tinggi, melainkan belajar di Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. Sejarah ini membuatnya fasih berdiskusi tentang kehutanan, hukum, dan adat istiadat.
“Pemerintah selalu memberikan izin kepada perusahaan hanya berdasarkan peta, tanpa memikirkan nyawa manusia,” ujarnya.
Akibatnya, kata Penendum, Orang Rimba terus menerus berkonflik dengan perusahaan dan warga pengungsi.
Pepohonan di kawasan pemukiman Orang Rimba menyerbu halaman rumah warga. Masuk, apalagi memanfaatkan pohon, dianggap maling.
“Sekitar tahun 2000, di tanah milik orang luar, Orang Rimba nekat mengambil buah cincin, saat berada di atas pohon, mereka tertembak, terjatuh dan mati,” kata Pengendum.
“Alasan orang Rimba, ini tanah leluhur kami. Sementara alasan orang luar adalah: ‘Mliiba, ini tanah saya’,” ujarnya.
Hal serupa juga kerap terjadi ketika Orang Rimba mengambil biji tanpa buah dari tandan kelapa sawit (brondol) yang dianggap sudah tidak terpakai oleh perusahaan.
“Perusahaan di sini hampir setiap bulan membuat keributan dengan masyarakat adat. Mereka menggarap lahan, menguasainya, memanfaatkan hasil hutan, sedangkan masyarakat adat hanya menjadi penonton,” kata Pengendum.
“Setiap kali masyarakat adat, karena membicarakan masalah perut, mereka harus melakukan itu – memungut batang palem yang jatuh ke tanah.
“Perusahaan tidak pakai, tapi masyarakat adat mau, ibarat sampah. Tapi kita dikasih masalah, kita selalu teriak,” kata Pengendum.
Merujuk pada peraturan yang berlaku, tinggal di kebun binatang tidak memungkinkan Pengendum dan masyarakatnya mengolah pengetahuan tradisional tentang hutan.
Namun berkat upaya Orang Rimba yang didukung lembaga pertahanan sipil, pada tahun 2018 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sepakat memberikan akses ruang bagi masyarakat adat di Taman Nasional Bukit Duabelas.
Wong Rimba yang terbagi menjadi 13 kelompok di taman nasional ini memiliki luas tanah behuma. Di sana, setiap keluarga bisa memanfaatkan lahan sebagai taman – dengan prinsip keberlanjutan.
Masyarakat Rimba juga diberikan kawasan pesaka kelima yang memanfaatkan sifat komunitas atau kelompok.
Pengendum mengatakan masyarakatnya perlahan menanam pohon karet. Namun karena harga karet yang sering turun, masyarakat Rimba tidak bisa mengandalkan perkebunan karet untuk menutupi biaya hidupnya.
Agar bisa bertahan hidup, kata Pengendum, satu per satu Orang Rimba dalam kelompoknya akan menanam kelapa sawit.
Para pendukung menyebut opsi ini sebagai opsi yang paling realistis, padahal mereka tahu bahwa perkebunan kelapa sawit mempunyai beragam dampak negatif, termasuk merusak kualitas air tanah.
“Tidak ada gunanya kita merawat pohon karet jika tidak ada nilainya,” ujarnya. Kisah Dayak Seberuang adalah tentang hutan adat
Situasi yang dihadapi Pengendum dan Orang Rimba di Jambi adalah akibat pemerintah meminggirkan masyarakat dalam proses pemanfaatan sumber daya alam secara korporasi. Ujar Hendrikus Adam, Direktur Walhi Kalimantan Barat.
“Praktik penebangan di padang rumput pasti akan menyebabkan kerusakan ekologis,” kata Adam.
Pada saat yang sama, bisa saja terjadi bencana sosial karena setiap pengambilan sumber daya alam, terutama yang menjadikan masyarakat sebagai objek, selalu terjadi konflik,” ujarnya.
Adam mengatakan, konflik seperti ini tidak terjadi pada masyarakat Dayak Seberuang di Desa Silit, Kabupaten Sintang. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memutuskan berhak atas hutan adat seluas 4.272 hektar pada tahun 2020.
Keputusan ini memberikan kepemilikan penuh atas hutan. Selain itu, tempat keberadaan Seberuang Dayak juga resmi dikeluarkan dari daftar tanah yang dapat dialihkan kepada korporasi.
“Di Desa Silit tidak ada konflik, hutan terlindungi, kegiatan industri pertambangan dihindari,” kata Adam.
Adam mengatakan, masyarakat Dayak Seberuang di Kampung Silit mempunyai kewenangan terhadap sumber daya hutan.
Pada tahun 2016, mereka dengan bebas memanfaatkan aliran sungai untuk menghasilkan pembangkit listrik tenaga air skala kecil. Rencana biaya bersama ini menyediakan listrik – kebutuhan dasar yang belum pernah kami miliki sebelumnya.
“Desa ini jauh dari ibu kota kabupaten, sekitar 130 kilometer dari Sintang. Namun berhasil menjadi desa mandiri energi,” kata Adam yang lembaganya juga turut membantu masyarakat Dayak Seberuang dalam proses pengajuan hutan adat.
Rencana pemerintah untuk menebangi 20 juta hektar hutan untuk pangan dan energi tidak sejalan dengan apa yang dialami masyarakat Dayak Seberuang, kata Uli Arta Siagian, Ketua Pengurus Nasional Walhi.
Uli mengatakan, beruang Dayak di Sintang tidak hanya menghasilkan energi, tapi juga memiliki kebebasan makan.
“Untuk pencicipannya, mereka tidak menggunakan bahan Ajinomoto atau Masako. Mereka menggunakan ramuan lokal yang ada di dekat rumahnya,” kata Uli.
“Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah mengakui hak warga negara atas tanah dan tempat tinggalnya, mereka dapat memanfaatkannya secara bebas,” kata Uli.
Perdebatan pemerintah mengenai deforestasi besar-besaran membuat Uli sedih, karena hal itu berawal dari industri besar. Artinya, katanya, hanya perusahaan yang bisa menghemat pangan dan energi—bukan masyarakat.
Uli menyebut proyek seluas 20 juta hektar ini lebih buruk dibandingkan program perhutanan sosial pemerintahan Jokowi.
Perhutanan sosial diklaim pemerintahan Jokowi sebagai upaya menyeimbangkan perekonomian. Melalui program ini, ketimpangan penguasaan lahan antara organisasi dan masyarakat dapat dikurangi.
Untuk itu, pemerintah memberikan hak kepada warga untuk mengelola hutan seluas 12,7 hektare melalui lima skema: hutan desa, hutan rakyat, hutan pertanian rakyat, hutan kemitraan, dan hutan adat.
Dalam dua periode pemerintahan, pemerintahan Jokowi mengaku membagi hak kelola seluas 8 juta hektare, untuk 1,3 juta keluarga.
Klaim tersebut ditolak oleh aktivis pertanian. Menurut Union for Agrarian Reform, misalnya, proyek perhutanan sosial yang bertujuan untuk memberikan akses tidak menjawab permasalahan mendasar, yaitu hak warga negara untuk memiliki tanah.
Pembukaan 20 juta hektare jelas lebih buruk dibandingkan program perhutanan sosial, kata Uli.
“Banyak kawasan hutan sosial yang justru memberikan manfaat kepada petani yang ditangkap polisi karena diduga merusak kawasan hutan.
“Proyek seluas 20 juta hektar ini juga akan lebih banyak membuahkan hasil negatif karena dipastikan peruntukan hutan akan jatuh ke tangan korporasi,” kata Uli. ‘Efek lain yang tidak diketahui’
Deforestasi secara besar-besaran berpotensi menghapuskan bahasa asli yang digunakan oleh masyarakat adat. Analisis ini dilakukan oleh Akbar Kurniawan, ahli bahasa dari Universitas Ma’arif Nahdlatul Ulama, Kebumen.
Akbar menghabiskan waktu tujuh bulan di tahun 2018 untuk meneliti kearifan ekologi dalam leksikon bahasa Orang Rimba di Taman Nasional Bukit Duabelas. Penelitian ini dilakukan setelah lima tahun menjadi sukarelawan mengajar di Sokola Rimba.
Akbar mengatakan Orang Rimba memiliki pengetahuan tradisional tentang klasifikasi, penamaan, dan pengelolaan hutan.
Dalam penelitiannya, Akbar mencatat Hutan Orang membagi hutan di Taman Nasional Bukit Duabelas menjadi sembilan kategori. Tano Mbah Puyang : kawasan hutan yang bersejarah karena dulunya merupakan rumah nenek moyang Bebalai atau Balu Balai : kawasan yang didominasi pepohonan tinggi dan sering dijadikan tempat beribadah Bento Benuaron : kawasan hutan yang banyak pohon buah-buahan Lima . Peranaon : suatu kawasan yang dijadikan lahan pertanian, merupakan hutan yang sangat luas, kadang-kadang terdapat pohon buah-buahan dan dekat sumber air Lima Pasoron : tempat pemakaman, bentuk hutan lebat, ditumbuhi berbagai jenis. dari ratusan pohon berumur lima tahun Terban: kawasan tepi sungai, konturnya curam, terbentuk akibat longsor yang hampir menutupi sungai Tempelanai: kawasan hutan bercirikan lahan kering, sangat luas, dan ditumbuhi pohon-pohon besar varian Subon atau susupon. : tanah, tergenang (kolam), lahan luas. dengan semak, perdu, dan pepohonan besar Sepelayongon Doun: kawasan yang ditumbuhi kelompok pepohonan tempat tinggal lebah madu (Apis dorsata).
Pengklasifikasian dan pembagian hutan di wilayah adat Orang Rimba merupakan salah satu bentuk konservasi tradisional yang telah ada sejak ratusan tahun lalu,” kata Akbar melalui pesan singkat.
Akbar mengatakan deforestasi akan menghilangkan sebagian atau seluruh kawasan hutan.
Akibatnya, kata Akbar, kosakata, tata bahasa, tradisi budaya, pengetahuan tradisional, dan aspek budaya lainnya juga akan hilang.
Risiko ini tidak hanya ditanggung oleh Orang Rimba, namun juga oleh kelompok budaya lain yang tinggal di dalam dan sekitar hutan.
“Membunuh bahasa berarti menghancurkan perbedaan bahasa dan budaya yang merupakan identitas masyarakat adat dan cerminan budayanya,” kata Akbar.