Kesaksian pemburu liar di balik dugaan kematian 26 badak bercula satu di Ujung Kulon – ‘Ini kematian terbesar mengingat populasinya kian menyusut’

Yayasan Auriga Nusantara mengatakan dugaan kematian 26 ekor badak bercula satu jawa oleh pemburu liar di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) merupakan pembunuhan tertinggi yang pernah terjadi, sekaligus merujuk pada penurunan populasi.

Mereka mencatat pada tahun 2020, jumlah badak di TNUK sekitar 60 ekor.

Namun, pada tahun-tahun berikutnya, jumlah badak terus menurun karena aktivitas perburuan liar diyakini meningkat di wilayah tersebut.

Oleh karena itu, Auriga meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan kepolisian untuk membawa kejahatan terorganisir ini menjadi perhatian investor dan menghukumnya seberat mungkin agar dapat memberikan efek pencegahan.

Polisi di Provinsi Banten mengakui bahwa mereka masih melacak jaringan perburuan lainnya setelah menangkap 13 tersangka penjahat. Cula ini diyakini diselundupkan ke China dan dijual untuk keperluan farmasi dan kosmetik.

Sementara itu, Satyavan Pudyatmoko, Direktur Departemen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengatakan penyelidikan lebih lanjut dan sejumlah bukti masih menunggu terkait laporan polisi bahwa 26 badak jawa dibunuh oleh pemburu liar. .itu perlu. Tulang dari perburuan.

Saat ini, tim TNUK bekerja sama dengan penyidik ​​Polda Banten untuk mengetahui lokasi perburuan dan keberadaan tulang belulang berdasarkan pengakuan para pemburu liar yang ditangkap. Polisi menangkap 13 tersangka.

Polisi Provinsi Banten telah menangkap sedikitnya 13 orang atas tuduhan berburu gorse jawa di Taman Nasional Ujung Kuloni Pandenglang (TNUK) di Banten.

Menurut para penjahat, mereka membunuh 26 badak dan menjual culanya di pasar gelap internasional.

Namun polisi memutuskan untuk turun ke lapangan dan memeriksa tulang badak di laboratorium untuk mengetahui jumlah pasti burung yang terbunuh akibat perburuan.

Pasalnya, jumlah karbogi yang akan diburu bisa lebih atau kurang dari 26.

“Kita masih belum tahu berapa jumlahnya. [26] Ini hanya hasil data, tapi kita tahu di Bumi, tentang karbohidrat tulang, dll. Sulit untuk menilai dan hanya itu. Pengakuan tersebut membuat Abdul Karim, seperti dilansir Kompas.com, sama sekali tidak mengetahui fakta di lapangan.

Kapolda Provinsi Banten sekaligus Irjen Banten Abdul Karim mengatakan, 13 pelaku penyerangan berasal dari dua jaringan yang dipimpin Suhendi dan Suhar.

Selain menangkap para pemburu liar, polisi juga menyita hasil perburuan cula badak yang dijual di China.

“Jaringan Suhar ada lima orang dan jaringan Nendi delapan orang, totalnya 13 orang,” ujarnya.

Terkait jaringan ini, polisi mengaku masih menelusuri jaringan perburuan lainnya. Namun, setidaknya ada dua jaringan yang baru-baru ini diungkap pihak berwenang.

Sejauh ini, polisi belum mengusut penjualan ilegal cula ke China karena hanya fokus pada penyidikan di taman nasional.

Ia hanya mengklaim bahwa polisi telah menangkap dua orang yang diduga berkomplot atau menjadi perantara penjualan cula badak dari Indonesia ke Tiongkok.

Diketahui, calo cula badak tersebut merupakan warga negara Tiongkok.

“Dulu ada dua orang (yang ditangkap) yang menjual orang ke China. Kepala Badan Reserse Kriminal Polda Banten Combes Paul Judis Wibisana menjelaskan:

Sekadar informasi, pada April 2024 lalu, Polda Banten juga menangkap tiga orang: pemburu berinisial N, pembeli berhuruf W dan Y, kontak atau perantara N hingga B.

Menurut pengakuan N, ia membunuh enam ekor badak di TNUK.

Harga cula badak hasil perburuan berkisar antara 200 juta dollar hingga 500 juta dollar.

Ia juga termasuk dalam Pasal 40 ayat (2) juncto Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 “Tentang Perlindungan Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya” dan diancam dengan pidana penjara 5 tahun. Apa metode penjahatnya?

Taimer Manurung, Ketua Auriga Nusantara, meyakini para pemburu badak jawa adalah pemburu profesional badak sumatera yang baru-baru ini mengincar badak jawa.

Populasi badak sumatera juga mengalami penurunan signifikan dan hampir punah di Lampung, kecuali di Taman Nasional Wai Kambas.

Kondisi tersebut akhirnya memaksa para pemburu beralih ke Uchung Kulon yang jaraknya relatif dekat.

“Sulit karena saya belum pernah mendengar ada pemburu liar badak yang ditangkap di Sumatera,” kata Taimer Manurung kepada BBC News Indonesia, Senin (3 Juni).

“Jadi [kasus TNUK] kalau tidak ditangkap pembeli dan pemodal, tinggal menunggu waktu saja mati karena otak pelakunya dibiarkan begitu saja.”

Auriga Nusantara memperkirakan pada tahun 2020 jumlah badak jawa di TNUK akan tetap berkisar 60 ekor. Jumlah ini sebenarnya semakin berkurang setiap tahunnya.

Pada April 2023, Auriga melaporkan kepada TNUK bahwa 15 badak jawa hilang atau tidak dipantau dalam tiga tahun terakhir. Badan tersebut menduga kuat hilangnya puluhan badak tersebut terkait dengan meningkatnya aktivitas perburuan liar di wilayah tersebut.

Selain itu, tiga badak, satu jantan dan dua betina, ditemukan mati pada tahun 2020 dan 2021.

Itu sebabnya Timer meyakini temuan Polda Banten bahwa 26 ekor badak jawa dibunuh oleh pemburu liar.

Pasalnya, aktivitas patroli terbengkalai sejak tahun 2020 atau saat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menghentikan kerja sama dengan WWF Indonesia.

“Tidak ada pengawasan karena masyarakat bisa masuk dengan bebas di pantai, jadi masyarakat bisa memarkir perahunya dimana saja, kalau tidak ada yang berpatroli bisa masuk saja.”

“Perlu diketahui bahwa teknis kegiatan konservasi di taman nasional biasanya dilakukan oleh LSM seperti mitra KLHK atau WWF Indonesia. Saat WWF Indonesia [diusir], tidak ada konservasi dan patroli.”

“Sekarang ALeRT Indonesia mencoba mengisi kesenjangan tersebut, namun badak tersebut sudah mati.”

Timer juga mengatakan, para pemburu biasa membunuh hewan langka tersebut dengan cara menembaknya.

Setelah itu tanduknya dicabut, bangkainya dipotong-potong dan dikubur. Oleh karena itu, jenazahnya tidak pernah ditemukan.

“Ini kisah para pemburu. Mereka membagi tugas, ada yang menembak, ada yang mengambil cula dan menguburnya di dalam tanah. Begitulah kejahatan terorganisir terjadi,” kata Timer.

“Dulu kalau badak mati pasti ditemukan jenazahnya, artinya cula badak itu tidak dicuri.” Kasus kematian badak terbesar

Timer Manurung mengatakan, kematian 26 ekor badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) merupakan kejadian terbesar dalam penurunan populasi.

Ia khawatir salah satu dari 26 badak yang mati itu berjenis kelamin betina. Sebab jika seekor badak betina menjadi korban pemburu liar, niscaya akan mengancam upaya konservasi badak jawa.

“Jadi mengapa kita perlu memeriksa jenis kelamin, usia, dan produktivitas 26 badak ini?”

“Kemudian hitung kembali jumlah sisanya, karena ini menentukan jumlah kelahiran per tahun.”

“Jika salah satu saja dari anak perempuan tersebut meninggal, setelah Ujung Kulon mereka tidak akan mempunyai anak lagi.”

Terkait hal tersebut, dia meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengungkap sisa populasi badak jawa di sana. Tujuannya untuk memperjelas dan mengarahkan kegiatan perlindungan hewan.

Menurutnya, Auriga Nusantara terpaksa mengajukan sengketa informasi ke Komite Informasi Publik (KIP) pada tahun lalu karena Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta manajemen TNC selama beberapa tahun terakhir menyembunyikan populasi badak.

“Diskusi kami masih berlangsung dan keputusan akan diambil.”

Oleh karena itu, kami meminta KLHK terbuka dan transparan mengenai hal ini agar dapat diambil tindakan yang tepat, angkanya harus jelas karena karbohidrat ini tidak masuk ke KLHK tapi ke Kementerian. Lingkungan Hidup dan Hutan termasuk dalam habitat. pemerintahan negara bagian”. Pengatur waktunya menjelaskan.

“Informasi ini tidak pernah keluar karena memerlukan izin dari menteri dan menteri tidak, sekarang KLHK hanya bicara soal kelahiran hewan.”

“Rasanya seperti ada perayaan yang sedang berlangsung, seperti bau [mayat] yang dilumuri parfum.” Bagaimana reaksi KLHK terhadap kematian 26 ekor badak jawa?

Terkait laporan polisi mengenai pembunuhan 26 ekor badak jawa oleh pemburu liar, Direktur Departemen Perlindungan Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Satyavan Pudyatmoko mengatakan, masih ada penyelidikan dan bukti lebih lanjut berupa tulang hasil perburuan. Itu masih dibutuhkan.

Tim TNUK kini bekerja sama dengan penyidik ​​Polda Banten untuk mengetahui lokasi perburuan dan keberadaan tulang belulang berdasarkan pengakuan para pemburu liar yang ditangkap.

Satyawan mengatakan dalam keterangan tertulisnya kepada BBC News Indonesia, Selasa (6 April 2006) bahwa “kenyataan nomor 26 belum dapat dipastikan karena merupakan pengakuan semua orang yang terjebak dalam perburuan”.

“Selama perburuan, biasanya terbentuk kelompok yang terdiri dari tiga orang, sehingga tidak terjadi perubahan kelompok, sehingga ada kasus di mana kelompok yang sama dihitung dua kali.”

Ia melanjutkan, kejadian perburuan badak merupakan permasalahan serius yang memerlukan respon cepat dan terkoordinasi dari semua pihak yang berkepentingan.

Ia berharap perburuan badak bisa dihentikan dengan menangkap semua orang yang masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Berapa populasi badak yang ada di kawasan TNUK?

Badak jawa merupakan hewan yang menghindari kehadiran manusia dan sulit ditemui karena hidup sendirian di hutan yang lebat dan luas.

Populasi badak jawa dipantau menggunakan kamera jebakan yang dipasang di Semenanjung Ujung Kulon. Setiap tahun jumlahnya berkisar antara 79 hingga 132.

Tahun 2020 dipasang kamera trap sebanyak 79 orang, dan tahun 2019 yang lahir hanya 72 orang dan 2 orang sehingga totalnya 74 orang.

Pada tahun 2021, telah dipasang 92 kamera jebakan (61 individu terekam dan teridentifikasi) dan jumlah totalnya pada tahun 2020 (74 individu) adalah 76 ekor, dengan 5 ekor badak lahir dan 3 ekor badak mati.

Pada tahun 2022 dipasang kamera trap sebanyak 132 ekor (tercatat dan teridentifikasi 41 ekor), dan pada tahun 2021 total badak yang lahir sebanyak 80 ekor dari 4 ekor badak (76 ekor).

Data penduduk Jawa merupakan penjumlahan jumlah penduduk tahun sebelumnya ditambah kelahiran dan kematian.

Selama pemantauan badak jawa, jika tidak ada kematian yang terdeteksi di lapangan, jumlah mereka tidak akan berubah dan akan bertambah jika ditemukan jumlah anak badak yang mencapai rekor. Apa yang dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam mengendalikan dan melindungi badak jawa?

Sejak 2018 hingga 2019, catatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan penyebab pasti kematian dua ekor badak jawa yang dikenal dengan nama Samson dan Mangala masih belum diketahui.

Antara tahun 2020 dan 2021, tulang badak ditemukan di tiga lokasi, yang menurut analisis DNA berasal dari individu yang berbeda. Dari hasil analisis berdasarkan identitas badak yang tertangkap kamera jebakan, ketiga badak tersebut teridentifikasi bernama Badak Febri, Wira, dan Puspa.

Ketiga kematian tersebut diduga kuat akibat perburuan liar, terbukti dari rekaman CCTV orang-orang yang menggunakan senjata api rakitan dan pengakuan tersangka.

“Kami sekarang menduga perburuan badak akan terjadi lagi pada tahun 2018 setelah hampir satu dekade relatif aman,” kata Satyavan Pudyatmoko, direktur Departemen Perlindungan Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Selain menggunakan kamera jebakan untuk memantau populasi ryo di kawasan TNUK, kementerian juga melakukan patroli rutin dan meningkatkan sistem keamanan menjadi sistem perlindungan komprehensif. Artinya seluruh wilayah semenanjung terlarang untuk umum. Untuk alasan apapun, termasuk pariwisata.

Maka mari kita ubah pola patroli yang mengharuskan 24 jam di lapangan termasuk laut dan darat.

Terakhir, patroli dapat menggunakan drone termal untuk menentukan waktu masuknya orang secara akurat.

“Kami juga menggandeng aparat TNI dan Polri untuk melakukan patroli. TNUK Center juga menggandeng Polda Banten untuk menangkap DPO Desa Siakar Desa Rankapinang, ini akan terus kita lakukan sampai semua DPO ditangkap.”

Ia menambahkan, perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Perlindungan Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya saat ini sedang dipertimbangkan. Menurut Satyavan, hukuman lima tahun penjara bagi pelaku perburuan masih terlalu ringan.

Dalam amandemen tersebut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memutuskan untuk memperkuat hukuman pidana dan perdata dengan harapan dapat memberikan efek jera.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *