TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Proyek Pengelolaan Kementerian Kesehatan (RPMK) tentang Keamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik terus menuai kritik.
Peraturan ini mengikuti UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dan Kebijakan Publik (PP) No.
“Tentu DPR tidak mau meninggalkan bidang kesehatan ya, itu penting sekali, tapi DPR juga tidak mau meninggalkan dunia usaha dan dunia usaha yang urusan pemerintahannya bukan hanya Kementerian Kesehatan (Kemenkes),” kata DPR. Anggota Komisi IX DPR RI Saleh Partaonan Daulay dalam forum diskusi, Kamis (26/9/2024) Menurut Saleh, departemen lain juga turut berperan.
Ada Menteri Perdagangan (Kemendag), ada Menteri Perindustrian (Kemenperin). Lalu ada Menteri Pendidikan karena ada hubungannya dengan sekolah, katanya.
Saleh menanyakan apakah seluruh pemangku kepentingan dilibatkan dalam penyusunan RPMK tersebut. Menurutnya, jika tidak ikut maka mereka merasa ditinggalkan dan akan protes. “Masalah utamanya adalah penyusunan UU Pemerintahan. Kami sebagai pemangku kepentingan di sektor produksi industri tidak ikut serta. Faktanya, penyelesaian Peraturan Pemerintah tersebut sebelum ditandatangani Presiden RI tidak diprakarsai oleh banyak sektor. “Ini yang sangat kami sayangkan,” kata Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wachjudi. Benny menambahkan, terkait masalah kesehatan, pihak industri juga sepakat tidak ingin Indonesia berbahaya. Namun, dia menegaskan, pembahasan masalah ini tidak bisa dilihat hanya dari sisi kesehatan atau bisnis.
Kedua belah pihak harus duduk bersama untuk mencari cara yang dapat memfasilitasi kepentingan semua pihak yang terlibat. “Kami ingin mengendalikan rokok dan zat adiktif lainnya. Kami tidak menghentikan orang untuk merokok. Masyarakat boleh merokok karena merokok adalah hak setiap orang,” kata Kepala Kantor Komunikasi dan Pelayanan Kemanusiaan Kementerian Kesehatan, Siti Nadia. Kemasan Tarmizi
Salah satu poin yang dipermasalahkan dalam RPMK tersebut adalah ketentuan mengenai standarisasi kemasan agar lebih jelas. Pasal 5 rancangan undang-undang tersebut menyatakan bahwa kemasan produk tembakau harus berwarna Pantone 448 C, serta mempunyai merek, ciri khas, dan identitas produsen yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Sebaliknya, Pakar Perdagangan Pusat Kementerian Perdagangan Angga Handian Putra mengatakan Kementerian Kesehatan tidak mengeluarkan undangan resmi kepada Kementerian Perdagangan untuk ikut serta dalam perumusan kebijakan kemasan tembakau (24/9/2024).
Menurut Angga, timnya mengetahui rancangan undang-undang tersebut melalui situs Kementerian Kesehatan, bukan melalui komunikasi langsung.
Mendag juga mengingatkan, selain tantangan terkait merek, kebijakan pengemasan rokok yang tidak dibuang dapat menimbulkan hambatan perdagangan.
Angga juga menekankan pentingnya bukti ilmiah bahwa kebijakan ini mendukung kesehatan masyarakat, sesuai dengan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang aktif. “Kami berharap Kementerian Kesehatan mendampingi bukti-bukti ilmiah dan memperhatikan pengaturan Organisasi Perdagangan Dunia yang ada,” pungkas Angga. Menteri Keuangan melalui Direktur Jenderal Bea dan Cukai Askolani sudah mengungkapkan keprihatinannya secara terbuka.
Ia menekankan potensi kesulitan pengendalian di lapangan jika kebijakan kemasan jelas ini diterapkan, terutama dalam membedakan jenis tembakau yang beredar. Hal ini berpotensi meningkatkan peredaran rokok ilegal. “Kalau kemasan rokoknya jelas, menurut kami ada risikonya dengan pengawasan,” kata Askolani dalam konferensi pers APBN edisi September 2024 di Jakarta (23/9/2024).