Tribunnews.com Laporan dari jurnalis Endrapta Pramudias
TRIBUNNEWS.COM, Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemen Pering) mengungkapkan kinerja ekspor batik Indonesia pada Januari hingga Juli 2024 mengalami penurunan dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Januari hingga Juli 2024, ekspor batik Indonesia sebesar US$9,45 juta, sedangkan impor tercatat sebesar US$350.000.
Pada periode yang sama tahun 2023, nilai ekspor batik diperkirakan mencapai $10,31 juta dan nilai impor mencapai $600.000.
Leni Yanita, Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka (IKMA) Kementerian Perindustrian, mengatakan penurunan tersebut disebabkan oleh faktor global.
“Kalau ekspor sebenarnya dampak geopolitik secara global,” ujarnya kepada wartawan di Jakarta (Jumat (27/9/2024)).
Pak Reni kemudian menekankan semakin berkembangnya dominasi batik Malaysia. Ia menekankan pentingnya melestarikan batik sebagai warisan budaya Indonesia.
Sebab meski tidak diselamatkan, masih ada negara lain yang siap melindungi dan melestarikannya.
“Karena yang kita sebut batik itu sebenarnya budaya kita, budaya dari Timur. Jangan salah, batik di Malaysia juga banyak (edisi batik). Mulai maju. Jadi kita juga harus hati-hati. Ini merupakan pengakuan bagi kami,” kata Leni.
“Meski kita tidak mencintai, menjaga, dan melestarikan, masih ada negara lain yang siap melestarikan, melindungi, dan bangga terhadap batik,” lanjutnya.
Kementerian Perindustrian menargetkan ekspor dua kali lipat pada tahun ini dibandingkan tahun lalu.
Pada tahun 2023, nilai ekspor produk batik Indonesia diperkirakan mencapai USD 17,5 juta, dan nilai impor diperkirakan mencapai USD 800.000.
Untuk mencapai tujuan tersebut, Kementerian Perindustrian sedang mencari pasar non-tradisional untuk ekspor, jelas Leni.
Beberapa negara tujuan ekspor yang memiliki budaya dan iklim serupa dengan Indonesia, seperti Asia dan Afrika, tengah dipertimbangkan sebagai pasar baru yang potensial.
“Khusus di Afrika, ada kecenderungan memilih warna cerah. Madura, Papua (batik yang diproduksi di sana) juga cerah,” kata Leni.
“Kalimantan Timur juga jelas. Ya mungkin kita harus beradaptasi dengan preferensi pasar di sana,” tutupnya.