Reporter Tribunnews.com, Reza Dan melaporkan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Anggota Komisi I DPR RI Sukamta menjelaskan konteks ketentuan pelarangan penyiaran jurnalisme investigatif dalam rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran terbaru.
Menurut Sukamta, pelarangan itu untuk mencegah monopoli penyiaran jurnalistik eksklusif oleh media tertentu.
Padahal semua media punya kemampuan untuk menyiarkan kontennya, kata Sukamta kepada wartawan, Selasa (14/05/2024).
Anggota parlemen PKS ini menilai, siaran investigatif diperlukan untuk masyarakat luas.
“Misalnya tayangan yang mengekspos bisnis makanan atau minuman yang ternyata tidak sehat, atau tayangan yang mengungkap praktik kriminal yang umum terjadi di masyarakat, seperti perjudian online, sindikat narkoba. Tayangan seperti ini sebenarnya sangat mendidik dan bermanfaat bagi masyarakat dunia,” kata Sukhamta.
Sukhamta juga mencontohkan tampilan eksklusif di pesta yang diselenggarakan oleh tokoh masyarakat.
“Entah itu pernikahan atau ulang tahun, lama-lama terkesan tidak perlu karena tidak mendidik. Penyiaran seharusnya hanya diperlukan karena penyiaran adalah hak publik,” lanjutnya.
Menurut Sukamta, tayangan jurnalisme investigatif memang diperlukan, namun ada keterbatasannya.
Jadi, larangan yang tercantum dalam rancangan revisi undang-undang radio berarti memerlukan pembatasan, ujarnya.
Sukamta kemudian mendorong Komisi I DPR untuk kembali membahas kelanjutan RUU Penyiaran dengan Dewan Pers dan pemerintah.
“Idealnya UU Meterai bersifat lex specialis, yaitu UU Meterai yang bersifat khusus dan menggantikan undang-undang yang bersifat umum,” tutupnya.
Sebelumnya, revisi UU Penyiaran Nomor 32 Tahun 2022 menuai banyak keberatan, salah satunya datang dari Remotivi dan Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI).
Ada kekhawatiran tinjauan kali ini akan mengancam kebebasan jurnalis di ruang digital.
Dalam rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran tanggal 2 Oktober 2023 tertulis perluasan wilayah penyiaran.
Tidak hanya penyiaran konvensional seperti televisi dan radio, namun juga penyiaran digital.
Akibat perluasan kewenangan KPI, platform digital seperti Netflix, Amazon Prime, Vidio dan lainnya harus mematuhi undang-undang penyiaran yang baru dan diatur oleh Komisi Penyiaran Indonesia.
“Perubahan ini mengancam kebebasan pers, penyiaran, dan kreativitas di ruang digital,” kata CEO Remotivi Yovantra Arief dalam konferensi pers online, Rabu (24/4).
Dijelaskannya, masuknya platform digital dalam pengertian penyiaran berarti konten digital harus memenuhi kaidah yang sama dengan televisi konvensional, meski media dan teknologinya berbeda.
“Hal ini tidak tepat karena platform digital memiliki logika teknologi yang berbeda dengan TV atau radio terestrial,” kata Yovantra.
Kemudian ditonjolkan Pasal 56(2) yang memuat berbagai larangan
Konten siaran, baik konvensional maupun digital. Larangan tersebut antara lain tayangan yang mengandung narkoba, perjudian, merokok, minuman beralkohol, kekerasan atau unsur mistis.
Beberapa jenis konten terlarang diyakini multitafsir sehingga rentan digunakan secara sewenang-wenang.
Larangan tersebut berpotensi membatasi hak masyarakat dalam mengakses konten yang beragam.
Meski di platform digital, masyarakat lebih mempunyai kebebasan memilih dan menyaring tayangan, berbeda dengan siaran konvensional.
Revisi ini juga mencakup larangan tayangan yang menampilkan profesi atau tokoh dengan perilaku atau gaya hidup negatif, serta larangan rekayasa negatif informasi dan hiburan. Ketentuan ini terbuka untuk multitafsir sehingga berpotensi disalahgunakan,” tambah Yovantra.
Konsekuensi lain dari perluasan revisi undang-undang ini adalah kewajiban produk jurnalisme penyiaran untuk mematuhi peraturan Komisi Penyiaran Indonesia.
Hal ini dinilai akan menimbulkan tumpang tindih kewenangan, karena selama ini produk jurnalistik diatur dan dikendalikan oleh Dewan Pers sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pers.
Pasal 25(1q) menyatakan bahwa hak peninjauan kembali sengketa jurnalistik hanya dimiliki oleh KPI. Padahal, hingga saat ini kasus perselisihan jurnalistik di udara selalu menjadi pembahasan Dewan Pers.
Siaran tersebut bertujuan untuk merampas kewenangan Dewan Pers dan akan memperumit perselisihan jurnalistik, kata Pengurus Nasional AJI Indonesia Bayu Wardana.
Selain itu, Pasal 56 ayat 2 juga memuat larangan penyiaran eksklusif jurnalisme investigatif (huruf c). Klausul tersebut dinilai mengancam kebebasan pers.
“Artikel ini membingungkan. Mengapa siaran eksklusif jurnalisme investigatif dilarang? Hal ini secara tidak langsung membatasi jurnalisme investigatif untuk disiarkan di berbagai saluran. Upaya membungkam pers sangat nyata, kata Bayu Vardana.
Ia berharap RUU tersebut dapat dipertimbangkan dengan partisipasi yang lebih luas.
Dan artikel-artikel yang mengancam kebebasan pers harus segera dihapus.
“Pasal-pasal yang mengancam kebebasan pers harus dihapuskan dari RUU ini. Jika ingin mengatur kerja jurnalistik di radio dan televisi, mengacu pada UU Pers Nomor 40 Tahun 1999. “RUU tersebut sama sekali tidak memuat undang-undang pers,” kata Bayu Vardhana.