Laporan reporter Tribunnews.com Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pakar hukum tata negara Dr. Mahfud mengatakan pembatasan transaksi tunai penting segera dilakukan untuk mencegah seseorang melakukan tindak pidana membawa uang tunai di dalam tas tanpa mengetahui sumbernya.
‘Memberantas Korupsi: Apakah Masih Ada Harapan?’ Mahfud yang hadir seusai debat mengatakan, “Pembatasan uang dan pengeluaran uang masyarakat sangat penting agar tidak berpindah-pindah dengan uang yang terlalu banyak.” Di Jakarta, Rabu (6/11/2024).
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini menjelaskan, transaksi dengan perantara bank digunakan untuk mengetahui dari mana uang itu berasal dan dari rekening mana. Jika transaksi tunai tidak dibatasi, maka akan sulit melacak sumber uangnya.
“Kalau mau transaksi harus ke bank, supaya tahu dari mana, ke rekening mana. Bisa tahu untuk apa, untuk apa. Tas seperti itu, bawa uang susah (untuk mengetahui sumbernya),” jelasnya.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun mendorong DPR untuk mengesahkan RUU Pembatasan Transaksi Valuta Asing. Menurut Komisi Pemberantasan Korupsi, UU Pembatasan Transaksi Valuta Asing sama pentingnya dengan UU Perampasan Aset.
RUU ini juga bisa mencegah terulangnya kasus mantan pejabat Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar yang berperan sebagai mediator atau broker dalam kasasi Ronald Tanur.
Penyidik Kejaksaan Agung menemukan uang tunai Rp 920 miliar ditemukan di rumah Zarof Ricar akibat kasus yang dilakukan saat dirinya bertugas di Mahkamah Agung. Uang tersebut dikumpulkan antara tahun 2012 hingga 2022.
“Selain UU Perampasan Aset, kami juga mendukung RUU Pembatasan Mata Uang di DPR,” kata Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika kepada wartawan di Gedung KPK Jakarta, Selasa (29/10/2024). katanya.
Menurut Komisi Pemberantasan Korupsi, RUU Pembatasan Transaksi Valuta Asing dapat menghambat pengidentifikasian uang hasil korupsi, serta mempersulit terjadinya praktik korupsi seperti suap.
Namun sayangnya, DPR tidak memasukkan RUU Pembatasan Transaksi Valuta Asing dalam penyusunan Program Legislatif Nasional (Prolegnas) DPR.