TRIBUNNEWS.COM – Peraturan Pemerintah 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan (No. 28 Tahun 2024), yang masuk dalam rancangan peraturan Menteri Kesehatan (RPMK), mencantumkan berbagai kelebihan dan kekurangan.
RPMK ini menarik perhatian banyak pihak, terutama yang terlibat langsung dalam industri tembakau di Indonesia, mulai dari pemangku kepentingan dalam rantai produksi tembakau, mulai dari pedagang, pekerja hingga konsumen.
Pada Senin (9/9/2024), forum diskusi bertajuk “Ruang Rembuk: Regulasi Pengukuran dan Dinamika Perekonomian” diadakan di Jakarta untuk membahas pasal-pasal yang termasuk dalam RPMK dengan tema “Kebijakan Kemasan Polos Produk Tembakau”.
Ali Ridho, anggota komisi DPR RI dan pakar hukum dari Universitas Trisakti, turut serta dalam diskusi ini sebagai narasumber.
Pasal 435 Peraturan Pemerintah 28 Tahun 2024 yang mengatur standarisasi kemasan produk tembakau dan rokok elektrik menjadi salah satu pembahasan utama.
Henry Najoan, Ketua Umum Gabungan Produsen Tembakau Indonesia (Gappri), mengatakan pasal yang mengarah pada penerapan kemasan polos akan menimbulkan tantangan bagi para pelaku industri tembakau.
“Jika kemasan polos diterapkan maka industri rokok kretek atau tembakau putih di Indonesia akan menghadapi persaingan yang merugikan dan peredaran rokok ilegal akan semakin meningkat. Beralih ke kemasan polos juga membutuhkan investasi yang besar dan akan berdampak pada industri yang sedang mengalami kesulitan. kali,” tambah Henry.
Senada, Ali Ridho, pakar hukum Universitas Trisakti, mengatakan ketentuan tersebut bisa bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi terkait industri tembakau Indonesia.
“Tembakau diakui sebagai aspek hukum, sehingga penerbitannya tidak bisa dilarang. Setahu saya dari konstruksi hukumnya, seperti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54 Tahun 2008, kemasannya harus jelas kalau boleh putusan ini. “Kalau tidak jelas, maka putusan MK dilanggar, begitu pula putusan MK no. 9 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa suatu industri yang melakukan usaha secara sah di Indonesia mempunyai hak yang sama dalam hal pengenalan dan pemasaran. seperti industri lainnya. produknya,” jelas Ali. Ridho. Anggota Komisi IX DPR RI Rahmad Khandoyo bersama Anggota Komisi (Tribunnews/JEPRIMA)
Aspek ekonomi dan kesejahteraan harus dipertimbangkan
Anggota Komisi DPR RI
Para pembuat kebijakan juga harus mengakui besarnya kontribusi industri tembakau.
“Bisa dibilang tembakau mendukung perekonomian negara kita, menurut saya ini adalah kepentingan nasional. Ada petani, industri tembakau, dan usaha kecil yang bergantung pada tembakau yang harus kita hormati ketika kita membahas aturan ini. memutuskan untuk melindungi mereka karena demi kepentingan nasionalisme,” kata Misbahun.
“Pemeriksaan kesehatan memang bagus, tapi kita tidak bisa mengesampingkan fakta bahwa 300 triliun dolar itu berasal dari industri tembakau. Itu jumlah yang sangat besar. Jika kita ingin melihatnya dari sudut pandang pajak, pendapatan, dan pasar tenaga kerja Harus kita akui, industri ini punya kontribusi yang besar,” kata Rahmad Khandoyo.
Ia juga kembali menegaskan, bisnis tembakau ini berdampak pada hajat hidup orang banyak. Mengingat kebijakan tersebut berdampak pada aspek sosial, kesehatan, ekonomi, dan lainnya, ia berharap para politisi berhati-hati dalam mengambil keputusan.
Dampak terhadap ketenagakerjaan, hak kekayaan intelektual dan risiko hukum
Federasi Serikat Pekerja Industri Makanan dan Minuman Tembakau – Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI) yang mewakili pekerja di industri tembakau menolak keras PP 28/2024 dan ketentuan turunannya berupa RPMK.
Dalam pemaparannya, Ketua FSP RTMM-SPSI Sudarto AS menyampaikan bahwa pada tahun 2015 terdapat lebih dari 200.000 anggota serikat pekerja khusus pekerja industri tembakau, kemudian menurun menjadi 143.127 anggota pada tahun 2024.
Menurunnya keanggotaan serikat pekerja di industri tembakau disebabkan oleh beberapa faktor, mulai dari ditutupnya pabrik tembakau hingga menurunnya hubungan kerja.
“Kami akan mencoba mengkritisi PP 28 dengan segala ketentuannya. Kami tidak bermaksud menjadi pihak dalam perkara, khususnya ketenagakerjaan. Ada beberapa sub pasal dalam PP tersebut yang lebih tegas dan tidak berlaku pada pasal-pasal di atasnya,” jelas Sudarto.
Menurut dia, pihaknya juga akan menggelar forum untuk mendengarkan pendapat pihak-pihak terkait di bidang tersebut.
“Melalui forum ini kami juga menegaskan bahwa kami tidak akan menerima PP 28/2024 yang tidak mempertimbangkan kesejahteraan pekerja berdasarkan undang-undang mulai dari bekerja hingga kehidupan yang layak bagi kemanusiaan,” kata Sudarto.
Sudarto AS FSP menegaskan, RTMM-SPSI merupakan serikat pekerja yang selalu ingin berdiskusi dan tidak mau turun ke jalan.
“Dalam waktu dekat, kami akan mengadakan forum untuk mendengarkan pandangan mitra industri dan pihak lain tentang PP 28/2024 dan rencana kami untuk RPMK yang sedang dalam pembahasan. Kami sebenarnya salah satu serikat pekerja yang menghindari turun ke jalan. , karena kami ingin berdialog. “Tapi kalau dialog tidak memungkinkan, apa yang bisa kita lakukan untuk bersiap turun ke jalan,” tutupnya.
Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Manday juga menyatakan ketidaksetujuannya terhadap kebijakan tersebut, yang akan berdampak serius bagi pengecer di Indonesia.
“Ada beberapa hal yang kami sayangkan, misalnya aturan zonasi 200 meter dari pusat pendidikan tidak disosialisasikan sebelumnya. Kini telah ditandatangani PP 28/2024 yang berasal dari UU Kesehatan No. 17/2023. Siapa yang akan dikenakan biaya? “Tentu para pelaku usaha bisa kehilangan pendapatan dan terpaksa menyepakati lapangan individu di bawah aturan 200 meter,” kata Roy Nicholas.
Menurut dia, PP 28/2024 juga bisa memperluas peredaran rokok ilegal. Roy berharap kementerian terkait bisa mengkaji ulang PP tersebut karena banyak kekurangan di aspek hukum, sosial, dan ekonomi.