TRIBUNNEWS.COM – Pada Kamis (12/12/2024), serangan drone Israel menargetkan konvoi bantuan kemanusiaan yang disambut pasukan keamanan Palestina di Jalur Gaza.
Jurnalis Al Jazeera Arab dan kantor berita Reuters melaporkan sedikitnya 12 orang tewas dan banyak yang terluka dalam serangan itu.
Menurut dokter, sekitar 30 orang mengalami luka-luka, beberapa di antaranya dalam kondisi serius.
Sebuah video dirilis yang menunjukkan jenazah pasukan keamanan ditumpuk di kamar mayat di sebelah barat Khan Yunis.
Serangan tersebut menambah serangkaian serangan Israel terhadap pekerja bantuan yang berusaha mengakhiri krisis kelaparan di Gaza. Krisis kelaparan semakin parah di Gaza
Jumlah masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap pangan dan kebutuhan dasar lainnya juga semakin meningkat.
Ketua UNRWA, Philippe Lazarin, menyatakan keprihatinan mendalam terhadap situasi kemanusiaan di Gaza.
Ia mengatakan, pekerjaan bantuan menjadi sangat sulit karena adanya penyerangan dan penyerangan terhadap petugas keamanan yang menjaga bantuan.
Lazzarini meminta Israel untuk memastikan aliran bantuan ke Jalur Gaza dan menghindari serangan terhadap pekerja bantuan.
Haoliang Xu, wakil direktur Program Pembangunan PBB, mengatakan situasi di Gaza adalah yang terburuk dalam karirnya.
Beliau menekankan pentingnya dukungan internasional dan mengamankan peluang bantuan untuk memberikan bantuan kepada mereka yang paling membutuhkan.
Sebelumnya, wartawan Al Mayadeen melaporkan kelaparan di Gaza telah mencapai titik terburuk akibat keadaan darurat.
Dalam situasi yang semakin meningkat ini, terdapat kebutuhan mendesak bagi semua pihak untuk menyelesaikan krisis kemanusiaan di Jalur Gaza.
Minggu (12/8/2024) malam lalu, serangan Israel di Rafah menewaskan sedikitnya 10 warga Palestina yang singgah untuk membeli tepung.
Kementerian Kesehatan Gaza mengatakan jumlah korban tewas sejauh ini mencapai 44.805 orang, dengan 106.257 orang terluka sejak dimulainya perang. 75.000 warga Palestina di Gaza menghadapi krisis kemanusiaan
Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) melaporkan bahwa sekitar 65.000 hingga 75.000 warga Palestina di Gaza utara hidup dalam kondisi yang mengerikan.
Situasi mereka semakin buruk karena keterlambatan dalam membantu orang.
Selama 66 hari terakhir, mereka hidup tanpa kepastian.
Mereka kini terjebak tanpa akses yang layak terhadap makanan, air dan kesehatan, Al Mayadeen melaporkan.
Menurut laporan Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA), hanya ada empat toko roti dukungan PBB yang beroperasi di seluruh Gaza, dan semuanya berada di Kota Gaza.
Wakil Sekretaris Jenderal PBB untuk Urusan Kemanusiaan dan Koordinator Rekonstruksi Gaza, Sigrid Kaag, mengatakan dalam konferensi pers setelah diskusi di Dewan Keamanan bahwa warga sipil yang berjuang untuk bertahan hidup di Gaza menghadapi situasi berbahaya.
Kaag juga meminta Israel untuk mengizinkan bantuan ke Gaza utara dan daerah lain, serta membuka kembali penyeberangan Rafah untuk memungkinkan masuknya barang-barang komersial.
(Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahan)