TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Ustiavandana mengatakan unsur Kementerian Komunikasi dan Digital (Comdigi) bermain-main tanpa penyidikan.
Menurut Ivan, Nomor Referensi Perjudian Penjudi dikenal dengan PPATK.
“Pihak Komdigi yang kedapatan menipu kami berusaha menyembunyikan kependudukannya karena alasan jumlah dan lain-lain,” kata Ivan saat dikonfirmasi, Kamis (11/7/2024).
PPATK, tambah Evan dengan bijak dan kompeten.
Namun unsur Komdigi tersebut mungkin belum diketahui menteri atau pimpinan sebelumnya.
Bisa jadi mereka tertipu, apalagi kita, kata Evan.
PPATK menggunakan berbagai sumber informasi untuk memblokir sebagian besar ancaman yang dikembangkan.
Jadi, karena tersembunyi, sebagian kecil berhasil melakukan perlawanan.
Intinya mereka juga mencoba menipu kita dengan menutup-nutupi informasi, ujarnya.
Karena itu, Ivan Ustivandana mengatakan akan mengkaji aliran uang dari buku online melalui laporan keuangan.
“Transaksi keuangan dengan menggunakan dompet merupakan suatu metode atau jenis pencucian uang yang bertujuan untuk mengganggu ketertiban usaha,” kata Ivan.
Ivan menjelaskan, ComDigi awalnya mengidentifikasi rekening penampungan deposit perjudian yang kemudian diblokir oleh OJK.
OJK kemudian meminta perbankan menyampaikan dan melaporkan laporan keuangan mencurigakan (LTKM) ke PPATK.
Oleh karena itu, informasi pelaporan LTKM yang masuk ke PPATK tentang perjudian online biasanya merupakan informasi yang diperoleh dari Komdigi.
Akibat proses ini, tidak ada yang bisa menjadi penipuan antar entitas, ini lebih pada perilaku individu.
Namun, seperti yang ditunjukkan oleh kasus ComDigi, perlakuan terhadap perjudian online menjadi parsial dan tidak komprehensif.
Selain itu, penyedia layanan harus melaporkan kepada PPATK sesuai dengan UU No.8/2010.
PPATK juga tidak menerima laporan keuangan, karena ada pula yang berasal dari lembaga keuangan.
Tentu (kami akan cek aliran dananya) kata Ivan. Bandar judi menyetorkan uang ke karyawan ComDigi.
Polda Metro Jaya mengungkapkan tiket judi online adalah uang yang disetorkan anggota Kementerian Komunikasi dan Digital (COMDIGI) dalam bentuk tunai atau kasir.
Direktur Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Ade Arya Shyam Indradi mengatakan, berdasarkan hasil pemeriksaan, tim memeriksa kedua kasir tersebut.
Namun polisi tidak menyebutkan kapan dan di mana pemeriksaan itu dilakukan.
“Untuk rekening bank ini, penyidik telah melakukan pemeriksaan terhadap dua rekening bank tersebut. Penyidik akan terus melakukan pemeriksaan intensif,” ujarnya.
Ade Ary membenarkan adanya dugaan tempat pencucian uang antara bandar judi dengan masyarakat Komdigi.
Sangat diragukan bahwa uang dari buku tersebut disetorkan ke ComDigi untuk memblokir situs perjudian online.
“Setoran dari pembuat tagihan diketahui diberikan dalam bentuk tunai atau tunai, begitu pula dengan kasir,” kata Ade Ari.
Jaya Kombes Paul Vira Sathya Triputra, Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro, mengungkapkan, pedagang menyetor uang ke tersangka setiap dua minggu sekali.
“Website yang melakukan penyetoran uang dua minggu sekali akan dihapus dari daftar (daftar blokir),” kata Vira.
Selanjutnya daftar halaman yang sudah dibersihkan (Judol) (yang daftarnya belum dibayar) akan diserahkan kepada tersangka R untuk diblokir, tambah Vira.
15 orang ditangkap
Subdit Jatanras Ditreskrimum Polda Metro Jaya menangkap 15 orang terkait kasus perjudian (judol).
Sebelas dari 15 tersangka berlatar belakang unsur comdigi, sedangkan 4 lainnya merupakan warga sipil.
Petugas juga menggeledah kantor satelit dan Kementerian Komunikasi dan Teknologi pada Jumat (1/11/2024).
Kantor satelit dikelola oleh admin dan pekerja, yang dibayar Rp 5 juta per bulan. Dibesarkan oleh Jude
Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Hinsa Siburian bereaksi terhadap maraknya situs judi online yang tersebar di seluruh Indonesia.
Ternyata tidak hanya masyarakat kelas bawah saja yang terlibat dalam lingkaran hitam ini, kini banyak pejabat pemerintah yang juga terlibat.
Terkait hal tersebut, Hilina menyatakan bahwa situs pemerintah sangat rentan dengan skema perjudian yang terlibat.
“Kami tentu melihat ada kerentanan pada sistem atau aplikasi milik pemerintah dari BSSN, karena itu di situs itu dimasukkan aplikasi judi online yang rentan. Kira-kira seperti itu,” kata Hinsa.
Menurut dia, lemahnya pemda atau pengajuan petisi akibat buruknya pengawasan terhadap hal tersebut.
Dia mengatakan banyak sistem atau situs web pemerintah tidak menerapkan standar keamanan.
“Kenapa? Lemah, jadi tidak memenuhi standar yang ditetapkan, jadi ada perjudian di sini,” ujarnya.
Baru-baru ini, tindakan keras tersebut berupaya menangkap lebih dari seribu situs web pemerintah yang telah diretas.
“Kami sudah melakukan apa yang kami lakukan, kami menyebut 1.500.000 di antaranya dan menyuruh mereka mengembalikannya dengan akun milik orang yang memilikinya. Kami juga meminta kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk pengakuan ini, yang berarti “penghapusan”, kata Hinsa. (Jaringan Tribun/nas/riz/wly)