Laporan reporter Tribunnews.com Rina Ayu
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Ketua Satgas Arbovirosis Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI, Dr. Fadjar SM Silalahi mengatakan, memasuki musim hujan, kekhawatiran terhadap kasus DBD semakin meningkat.
Pada tahun 2024, jumlah kumulatif kasus DBD di Indonesia sampai dengan minggu ke-45 sebanyak 217.019 kasus.
“Ini rekor tertinggi sejak 2016. Tahun 2016 ada 204.000 kasus,” ujarnya saat ditemui di Jakarta, Kamis (21/11/2024).
Incidence Rate (IR) diketahui sekitar 77,55/100.000 penduduk dan terdapat 1.255 kematian dengan Case Fatality Rate (CFR) sebesar 0,58%.
Kasus DBD dilaporkan di 482 kabupaten/kota di 36 provinsi.
Sedangkan kematian akibat DBD terjadi di 259 kabupaten/kota di 32 provinsi.
Terdapat tantangan yang kita hadapi dalam pengobatan demam berdarah, antara lain: rendahnya kesadaran masyarakat terhadap tanda dan gejala awal demam berdarah, yang seringkali menyebabkan tertundanya rujukan pasien ke layanan masyarakat.
Selain itu, masih belum adanya budaya pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dengan 3M Plus dan kegiatan lain untuk mencegah penularan DBD di masyarakat.
“Banyak yang mengira PSN 3M Plus hanya menjadi tanggung jawab petugas kesehatan,” ujarnya.
Beberapa inovasi telah dilakukan pemerintah untuk menurunkan penyakit demam berdarah menuju “zero kematian akibat demam berdarah pada tahun 2030”, diantaranya saat ini 2 vaksin demam berdarah telah mendapat persetujuan edar dari Badan POM Indonesia.
Uji coba penerapan Wolbachia juga dilakukan di lima kota sebelum diperluas secara nasional, yakni Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Tangerang, Kota Bontang, dan Kota Kupang.
Indonesia telah menyusun enam strategi nasional penanganan demam berdarah, yaitu: (1) Memperkuat pengelolaan vektor yang efektif, aman dan berkelanjutan; (2) Peningkatan akses dan kualitas penanganan DBD; (3) Memperkuat surveilans demam berdarah yang komprehensif dan manajemen wabah yang bertanggung jawab; (4) Meningkatkan keterlibatan masyarakat secara berkelanjutan; (5) Memperkuat keterlibatan pemerintah, kemitraan pengelolaan kebijakan dan program; dan yang tak kalah pentingnya (6) Pengembangan kajian, intervensi, inovasi dan penelitian sebagai landasan pengelolaan kebijakan dan program berbasis bukti.