Kalah dalam gugatan di Mahkamah Konstitusi, ke mana arah politik PDIP, PKB, PKS, dan Nasdem?

Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Rabu (24/4) menetapkan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai pasangan Presiden dan Wakil Presiden terpilih.

Hal ini merupakan tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi terkait sengketa Pilpres 2024.

Banyak pakar politik menilai masuknya PKP dan Nastem ke dalam pemerintahan Prabowo-Kibran akan menghasilkan koalisi baru atau konsolidasi partai politik.

Sementara PDI Perjuangan dan PKS diyakini akan menjadi oposisi atau kekuatan penyeimbang di parlemen.

Meski begitu, Wakil Ketua DKN kubu Prabowo-Kibran Ahmad Musani mengatakan partainya akan terus mengembangkan koalisi yang ada untuk membentuk pemerintahan yang kuat seiring dengan dilaksanakannya beberapa proyek besar.

Namun, politikus senior PDIP Hendravan Subratigno mengatakan keputusan mengenai masalah tersebut akan dibahas pada rapat pimpinan nasional pada Mei mendatang.

Hendrawan mengatakan, menjadi oposisi atau aliansi juga sama-sama terhormat. Akankah aliansi baru terbentuk?

Setelah Mahkamah Konstitusi pada Senin (22/04) menolak mentah-mentah perkara Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud, pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 01 dan 03 dari masing-masing partai koalisi bersiap menduduki jabatan baru.

Misalnya, Muhaimin Iskandar, Ketua Umum PKB, mengaku pernah membicarakan posisi politik partainya dengan Giya di Dewan Syura.

Ia mengatakan perdebatan internal sangat aktif dan akan berlanjut hingga satu atau dua hari ke depan.

PKP, kata Muhaimin, terbuka terhadap pertimbangan dan ikatan dengan partai politik lain.

“Segala pemikiran, pertimbangan, dan berbagai perkembangan komunikasi internal dan eksternal akan terus kami tampung,” kata pria yang akrab disapa Gaek Imin itu.

Sementara itu, Ketua Umum Nastem, Surya Balo, mengisyaratkan bergabung dengan aliansi Prabowo-Kibran, dengan mengatakan sudah waktunya untuk menutup buku lama dan membuka buku baru.

Ia juga mengatakan bahwa kita harus saling menghormati dalam berkompetisi.

“Yang kalah menghormati yang menang, terutama yang menang. Ini harus menjadi kekuatan kita,” kata Paulo.

Sementara itu, politikus senior PDIP Hendravan Subradigno mengatakan masih terlalu dini menentukan arah politik partai bergambar banteng berhidung putih itu.

Namun dia menekankan bahwa menjadi oposisi atau koalisi Prabowo-Kibron adalah hal yang “sama terhormatnya” – bahkan jika seseorang memiliki kepentingan lebih besar dalam pemerintahan.

“Itu pertanyaan awal karena hak prerogratif ada di tangan Ketua Umum dan nanti akan dibahas dalam rapat Panitia Pengurus Nasional PDIP.” Partai mana saja yang diharapkan bisa beraliansi dengan Prabowo-Kibron?

Firman Noor, pengamat politik di Lembaga Riset dan Inovasi Nasional (PRIN), mengatakan minggu-minggu mendatang akan menjadi hari yang krusial bagi partai-partai yang bersaing untuk mendapatkan pasangan Prabowo-Kibran.

Karena mereka ingin mengambil sikap untuk tetap dekat dengan koalisi pemerintah atau tetap berada di luar yang dikenal dengan istilah oposisi.

Melihat catatan PKB dan Nasdem –yang sebelumnya mengusung Anies-Muhaimin–Firman memperkirakan keduanya bakal bergabung ke pemerintahan Prabowo-Kibran.

“Nasdem dan PKP tidak punya pengalaman oposisi. Mereka sudah terbiasa di pemerintahan, jadi rujukan politiknya pasti di pemerintahan,” kata Firman kepada BBC News Indonesia.

Ahmad Atang, pakar politik Universitas Muhammadiyah Kupang, mengamini hal tersebut.

Dia mengatakan, Prabowo-Kibran membutuhkan dukungan partai politik lain untuk memperkuat pemerintahannya ke depan dan yang lebih penting untuk menguasai parlemen.

Pasalnya, posisi politik di parlemen harus dijaga bagaimanapun caranya agar program-program utama yang dijanjikan Prabowo-Kibron pada kampanye lalu bisa terlaksana tanpa hambatan.

Kemungkinan masuknya PKB dan Nasdem sangat besar, sedangkan PDIP tidak akan mendapatkannya dengan mudah, kata Ahmad Adang kepada BBC News Indonesia.

Adapun PTI Perjuangan –yang merupakan pendukung Kanjar-Mahfut– tersandera sikap lantang dan kurang ajar elite partai soal kecurangan pemilu, menurut Atang.

Sampai Megawati Soekarnoputri menentukan arah politik PDIP, besar kemungkinan ia akan mengambil peran sebagai partai oposisi, kata Firman.

Pasalnya, gerak politik Megawati saat ini mirip dengan yang dilakukannya terhadap Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2004-2014.

Jadi di antara partai yang ingin berkoalisi, PDIP lebih mempunyai bobot psikologis dibandingkan PKB dan Nasdem. Mengapa PDIP harus menjadi oposisi?

Ahmad Atang mengatakan, justru akan kontraproduktif atau merugikan partai jika PDIP masuk ke pemerintahan Prabowo-Kibran.

Di Senayan, PDIP jelas menguasai lebih banyak kursi karena mereka mengumpulkan 25 juta suara di pemilu legislatif, lebih banyak dibandingkan partai mana pun.

Selain itu, PDIP juga punya pengalaman meninggalkan kekuasaan pada masa kepemimpinan SBI.

“Saya kira lebih nyaman jadi oposisi dibandingkan PDIP [di pemerintahan] karena tidak ada nilai tambah.”

“Pada level penting terhadap pemerintahan Prabowo-Kibran, hal itu akan memberikan nilai politik tambahan bagi PDIP dan menjaga independensi serta pendekatan kritisnya.”

Firman Noor setuju.

Ia yakin sistem demokrasi yang kuat akan berjalan jika ada partai oposisi dan PDIP, menurutnya, punya banyak alasan untuk mengkritik pemenang pemilu kali ini.

Sebab, PDIP mengikuti titah tersebut langsung merasakan dampak “campur tangan” pemerintah saat pemilu.

Jadi, mereka punya alasan untuk menganggap pemilu ini sangat rumit, dan itu cukup untuk mengatakan bahwa pemerintahan yang akan dibentuk sekarang adalah pemerintahan yang bermasalah.

“Jika Anda masuk [pemerintahan], Anda akan terserap dalam kekuasaan dan melupakan alasan menjadi politisi.” Bagaimana status PDIP?

Politisi senior PDIP Hendravan Suprathigno mengatakan keputusan PDIP bergabung dengan aliansi Prabowo-Kibran atau sebaliknya merupakan hak prerogratif Presiden Jenderal Megawati Soekarnoputri.

Namun, akan dibentuk forum khusus bagi para pengurus partai untuk menyampaikan pandangannya mengenai pro dan kontra bergabung dengan pemerintah yang akan dibentuk nanti.

Namun semua itu akan dibahas dalam pertemuan Komite Eksekutif Nasional pada bulan Mei, ujarnya. Bisa dipastikan tidak ada ‘utusan’ resmi dari Prabowo-Gibran yang datang menemui Megawati.

“Kemarin Rosen Roslani datang ke rumah Bu Mega dan bilang dia utusan, tapi menurut Gerindra bukan, itu upaya pribadi.”

“Jadi Anda tidak bisa melihat apa yang ada di depan Anda dalam politik.”

“Evolusi politik berkembang seiring keluarnya Pak Jokowi dari PDIP… Saya pelan-pelan menyusun timeline dari tahun 2014, saat beliau melakukan upaya yang sangat halus untuk mengurangi ketergantungan pada PTIP hingga memutuskan untuk melakukan intervensi di Mahkamah Konstitusi,” kata Hendravan kepada kantor berita BBC.

Bagi Hendrawan, tidak masuk dalam koalisi pemerintahan bukan berarti posisi PDIP “terhormat”.

Faktanya, kata dia, peran di luar pemerintahan sangat penting untuk menjaga demokrasi yang kuat dan sehat.

Lagipula, lanjutnya, PDIP merupakan partai oposisi pada kedua periode kepemimpinan SBY.

“Tidak heran mereka menjadi oposisi.”

“Kenapa [PDIP] mau masuk kabinet? Adakah yang berpikir masuk pemerintahan karena pendekatan APBN?

Kalaupun PDIP akhirnya menentang koalisi Prabowo-Gibran, mereka tidak akan begitu saja menolak seluruh rencana pemerintah.

Jika ada kebijakan yang positif untuk kesejahteraan rakyat, maka akan didukung seperti SBY yang mengesahkan UU Jaminan Kesehatan Nasional dan UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

“Jika kami menolak semuanya, kami tidak membela kepentingan rakyat.”

Namun selain itu, lanjutnya, tidak menutup kemungkinan akan terjadi pertemuan antara Megawati, Prabowo, dan Jokowi di momen krusial.

Ia mengatakan, belum ada rencana, meski dalam jangka pendek. Siapa saja partai koalisi Prabowo-Kibran?

Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmed Musani, Wakil Ketua DKN Prabowo-Kibran, mengatakan partainya terus berupaya mengembangkan koalisi untuk memperkuat dukungan terhadap pemerintahan Prabowo-Kibran.

Inisiatif tersebut antara lain mengajak partai politik pendukung Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD untuk bergabung dalam Aliansi Indonesia Maju (KIM).

Aliansi Maju Indonesia terdiri dari beberapa partai, antara lain: Partai Gerindra, Golkar, Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Indonesia, dan Partai Bulan Bintang.

“Bagi partai koalisi, kami berharap tetap bersatu di pemerintahan Prabowo-Kibran,” kata Musani dalam konferensi pers di Jakarta.

“Aliansi ini akan terus kita kembangkan karena kita membutuhkan Indonesia yang kuat, pemerintahan yang kuat,” lanjutnya.

Ia juga mengatakan, selain menjalin kerja sama dengan pihak di luar KIM, pihaknya akan tetap mendukung pertemuan antara Prabowo dan Megawati Soekarnoputri.

Ia mengaku sedang berusaha mencari waktu yang tepat untuk pertemuan tersebut.

Menanggapi pendekatan Gerindra, Ketua Umum PAN Zulkipli Hasan mengatakan partainya tidak akan ambil pusing jika ada partai lain yang mau bergabung.

Namun persoalan tersebut baru akan dibahas setelah KPU menetapkan presiden dan wakil presiden terpilih pada Rabu (24/04).

Pengamat politik BRIN, Firman Noor, menilai tidak semua pihak harus sependapat untuk membentuk pemerintahan yang kuat dalam sistem presidensial.

Sebab jika semua partai berada dalam koalisi yang sama maka mekanisme checks and balances akan melemah sehingga membahayakan ‘kesehatan’ demokrasi Indonesia.

Oleh karena itu, dia menyarankan agar kubu Prabowo-Kibron tidak perlu mengundang parpol lain seperti yang dilakukan Presiden Jokowi.

“Akhirnya demokrasi kita hancur seperti sekarang ini, maukah kita melakukannya lagi? Saya khawatir seruan ini bisa menjadi pintu masuk kehancuran demokrasi kita.”

“Jadi harus belajar, hikmahnya adalah yang menang adalah penguasa dan yang kalah adalah lawan.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *