TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Dugaan kejadian brutal yang melibatkan siswi SMK PGRI 37 Pondok Club di Batavia Selatan yang terjadi pada September 2023 yang terjadi pada September 2023, masih tertunda.
Kabid Humas Polres Metro Jakarta Selatan AKP Nurma Dewi mengatakan, penyidik masih mendalami kasus tersebut.
“Sudah masuk tahap sidik jari,” kata Nurma Dewi saat dihubungi, Jumat (15 November 2024).
Diberitakan sebelumnya, peristiwa dugaan brutal antar siswa SMK PGRI 37 Pondok Club Batavia Selatan menyebabkan korban JS (16) terluka parah.
Tak hanya setahun korban tak bersekolah, rentetan kekerasan yang dilakukan tujuh terduga pelaku masih terus menghantuinya.
Ibu korban, Septian, 38, mengatakan, aksi brutal dan pengeroyokan itu terjadi pada September 2023, saat anaknya baru bersekolah dua minggu.
“Anak saya beberapa kali diintimidasi karena alasan yang tidak masuk akal. Anak saya mengatakan bahwa seragam tersebut agak terlalu sederhana padahal sebenarnya tidak. Itu hanya alasan bagi mereka untuk makan.” kata Septiani saat berkunjung ke Mapolres Batavia Selatan, Kamis (14). /11/2024).
Suatu ketika, sepulang sekolah, ia menjadi korban kejahatan di Lebak Burus, Batavia Selatan.
Di sana korban kembali ditundukkan dan diserang hingga mengalami luka di beberapa bagian tubuhnya.
Pak Septiani tidak terima anaknya diserang dan melaporkan kejadian tersebut ke Mapolres Batavia pada 30 September 2023.
“Ada kesepakatan pada 30 November 2023, tapi tidak tercapai kesepakatan. Intinya orang tua tidak mau bertanggung jawab,” ujarnya.
Seiring berjalannya waktu, Septiani merasa laporan yang disampaikannya memberikan pencerahan
“Kami telepon lagi hari ini dan masih belum jelas,” ujarnya.
Sementara itu, Septian menyayangkan respon pihak sekolah terhadap perilaku mengganggu siswa yang kurang
“Saat mereka mengajukan pengaduan ke pihak sekolah, mereka melibatkan korban dan tidak menawarkan solusi,” katanya.
Richard Siahan, kuasa hukum korban, mengatakan proses penyidikan kasus tersebut tampaknya berjalan lamban.
Polisi hanya mengatakan hubungan masih berjalan, namun sejauh ini belum ada kemajuan yang terlihat, lanjutnya.
Ia memanggil polisi untuk mewaspadai aktivitas perundungan karena akan menjadi ancaman serius bagi dunia pendidikan Indonesia jika dibiarkan.
“Korban mengalami banyak kerugian. Akibat kebrutalan dan pengeroyokan, korban tidak bisa bersekolah selama setahun karena trauma, belum lagi kekerasan fisik yang membuat korban terluka,” ujarnya.
Kali sesuatu
Korban, JS, menceritakan bagaimana ia diserang secara verbal dan fisik oleh penganiayanya.
Saat itu, sepulang sekolah, ia dikepung oleh tujuh penjahat yang merupakan senior SMK PGRI 37 Pondok Amor.
“Saya baru masuk sekitar dua minggu. Mereka kelas dua atau tiga,” ujarnya.
Inisial anak laki-laki tersebut adalah PZ, DP, SA, EA, AF, NA, NR, NS
Dia bingung kenapa dia mengutuknya sebagai penjahat, padahal dia tidak merasa dirugikan.
“Entah ada apa. Katanya baju saya sopan saja, padahal biasanya saya berseragam,” ujarnya.
Dia dibacok dan diserang di taman.
“Saya dipukul, ditendang, dan dicengkeram. Saya hampir pingsan. Mereka meninju dada saya hingga saya tidak bisa bernapas,” ujarnya.
Untungnya, penyerangan tersebut dapat dihentikan oleh penjaga taman yang juga mendapat bantuan dari warga sekitar yang hadir.
“Saya masih merasa terluka jika mengingat kejadian itu,” ujarnya. (Wartakotalive.com/Feryant Hadi)
Artikel ini telah tayang di WartaKotalive.com dengan judul Insiden Dugaan Pelecehan 37 Mahasiswa PGRI Belanda oleh Mahasiswa Senior dan Polisi: Sudah Diselidiki.